Jakarta, Gatra.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa Direktur Utama (Dirut) PT Indo Elektrik, A, dalam kasus dugaan korupsi penyediaan infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Tahun 2020–2022.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana, di Jakarta, Senin (3/4), menyampaikan, penyidik memeriksa yang bersangkutan sebagai saksi.
Selain itu, Tim Jaksa Penyidik Pidsus juga memeriksa dua orang saksi lainnya, yakni Tim Project ZTE Jayapura 2, AS; dan Manager Project PT Excelcia Mitraniaga Mandiri, TA.
Baca Juga: Usut Korupsi BTS 4G, Kejagung Periksa Direktur Inti Bangun Sejahtera
“Ketiga orang saksi diperiksa terkait penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi ?tersangka AAL, GMS, YS, MA, dan IH,” katanya.
Menurutnya, pemeriksaan ketiga orang saksi tersebut dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi BTS 4G.
Dalam kasus ini, Kejagung baru mencegah dua orang bepergian ke luar negeri. Mereka yakni Direktur PT Anugerah Mega Perkasa, DT, dan JS dari swasta. Mereka dicegah ke luar negeri selama enam bulan.
“Jaksa Agung Muda Intelijen atas nama Jaksa Agung Republik Indonesia resmi menetapkan Keputusan tentang Pencegahan ke luar wilayah Indonesia terhadap 2 orang,” katanya.
Ketut menjelaskan, pencegahan JS dari pihak swasta berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-14/D/Dip.4/02/2023 tanggal 07 Februari 2023.
Adapun pencegahan terhadap Direktur PT Anugerah Mega Perkasa, DT berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-15/D/Dip.4/02/2023 tanggal 07 Februari 2023.
Kejagung mencegah JS dan DT tidak bepergian ke luar negeri selama enam bulan. Keputusan tersebut dikeluarkan guna mencegah keduanya ke luar negeri dan tetap berada di wilayah hukum Republik Indonesia.
“Demi kepentingan proses penyidikan karena dugaan keterlibatannya dalam perkara dimaksud,” ujarnya.
Ketut menyampaikan, dengan dicegahnya dua orang tersebut, maka jumlah orang yang dicegah ke luar negeri guna kepentingan proses penyidikan dalam perkara dimaksud menjadi 25 orang.
“Dalam perkara ini, Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jampidsus kembali menerima pengembalian uang dari PT Sansaine Exindo pada 24 Maret 2023 sebesar Rp36.800.000.000,” katanya.
Kejagung telah menetapkan 5 orang tersangka. Awalnya, Kejagung menetapkan 3 orang, yakni Direktur Utama (Dirut) BAKTI Kementerian Kominfo, AAL; Direktur Utama (Dirut) PT Mora Telematika Indonesia, GMS; dan Tenaga Ahli Human Development (HUDEV) Universitas Indonesia Tahun 2020, YS.
Selepas itu, Kejagung menetapkan Account Director of Integrated Account Departement PT Huawei Tech Investment, MA dan teranyar Komisaris PT Solitech Media Sinergy, IH. “Dalam perkara ini, telah ditetapkan 5 orang tersangka yaitu AAL, GMS, YS, MA, dan IH,” kata Ketut.
Kejagung telah menahan seluruh tersangka untuk mempercepat proses penyidikan. Tersangka AAL, GMS, dan YS ditahan selama 20 hari sejak 4 Januari sampai dengan 23 Januari 2023.
Kejagung menahan AAL dan YS di Rumah Tahanan (Rutan) Negara Salemba Cabang Kejagung. Sedangkan GMS ditahan di Rutan Negara Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel).
Baca Juga: Kejagung Cegah 2 Orang ke Luar Negeri terkait Korupsi BTS 4G
Sedangkan tersangka MA di Rutan Salemba Cabang Kejagung selama 20 hari, terhitung sejak 24 Januari sampai dengan 12 Februari 2023. Terakhir, tersangka IH di Rutan Negara Salemba Cabang Kejagung selama 20 hari, terhitung sejak 6 Februari sampai dengan 25 Februari 2023.
Kejagung menyangka AAL, YS, GMS, MA, dan IH melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 juncto UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Kejagung kemudian mengembangkan kasus tersebut. Hasilnya, Kejagung menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).