Home Ekonomi Negara Rugi Rp19 Triliun per Tahun, Asosiasi Ungkap Modus Impor Tekstil dan Pakaian Bekas Ilegal

Negara Rugi Rp19 Triliun per Tahun, Asosiasi Ungkap Modus Impor Tekstil dan Pakaian Bekas Ilegal

Jakarta, Gatra.com -  Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta membeberkan sejumlah modus importir tekstil dan pakaian bekas ilegal di Indonesia. Salah satunya yaitu melalui praktik impor borongan.

Redma menyebut belakangan ini praktik impor borongan kembali marak terjadi. Padahal, menurut dia sekitar tahun 2017-2018 Menteri Keuangan Sri Mulyani membentuk Satgas Penertiban Impor Berisiko Tinggi (PIBT) untuk menghapus impor borongan. Namun, pembentukan Satgas PIBT dianggap tidak memberikan dampak nyata penghentian praktik impor borongan saat ini.

"Sekarang ternyata juga marak lagi impor borongan, jelas-jelas di depan mata. Tapi tidak ada penanganan dari Bea Cukai," ujar Redma dalam diskusi bersama Menkop UKM dan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jumat (31/3).

Baca juga: Asosiasi Tekstil Dukung Pemerintah Tindak Tegas Importir Pakaian Bekas Ilegal, Menkop UKM: Sudah Tepat

Redma menyebut, penawaran jasa impor borongan bahkan kini sudah dilakukan secara terbuka di marketplace. Padahal impor borongan merupakan praktik ilegal. Sejumlah perusahaan, kata dia menawarkan jasa impor ilegal kepada perorangan meskipun orang tersebut tidak memiliki izin impor.

"Mereka menawarkan pilihan jasa impor resmi maupun borongan. Kalau tidak punya izin impor, bahkan mereka bisa urus izin impor itu. Ini perusahaan super hebat bisa memfasilitasi impor borongan secara terbuka," jelasnya.

Selain impor borongan, modus penyelundupan tekstil dan pakaian bekas impor lainnya yaitu melalui rembesan kawasan berikat dan gudang berikat. Di sisi lain, praktik penyalahgunaan persetujuan impor Angka Pengenal Impor Produsen (API-P), kata Redma juga menjadi sorotan para pelaku usaha lokal.

Baca juga: Kemenkop UKM Terus Upayakan Solusi Tangani Praktik Impor Pakaian Bekas Ilegal

Secara resmi, prosedur impor seharusnya dimulai dari importir (perusahaan) meminta persetujuan impor dari Kementerian Perdagangan (Kemendag). Untuk mengeluarkan surat izin itu, Kemendag harus meminta rekomendasi dari Kementerian Perindustrian. Setelah itu baru persetujuan impor diterbitkan Kemendag dan kemudian diurus oleh importir ke Bea Cukai.

"Tapi ada penyalahgunaan izin impor API-P, artinya banyak perusahaan bodong dapat izin impor API-P. Sebagian besar oknum importir mempunyai banyak perusahaan bodong untuk mendapatkan persetujuan impor dari Kemendag. Harusnya kan izin impor API-P itu hanya dipakai sendiri," jelasnya.

Adapun Redma menyebut bahwa pasokan produk tekstil dan pakaian bekas ilegal saat ini mencapai 30% atau mencapai 320.000 ton per tahun. Ia menghitung, bila volume produk impor ilegal sebanyak 320.000 ton itu dikenakan PPN 11%, PPh 2,5%, Bea MAsuk 20%, dan BMTP 25% seperti halnya produk impor legal, maka negara telah kehilangan potensi pajak hingga Rp19 triliun per tahun.

Volume produk impor ilegal sebesar 320.000 ton itu pun, kata Redma bila dikonversi ke dalam satuan kontainer jumlahnya mencapai 16.000 kontainer per tahun atau 1.333 kontainer per bulan.

"Ini sebetulnya kalau 320.000 ton bisa kita produksi secara lokal, ini bisa menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 500.000 orang ditambah 1,5 juta tenaga kerja tidak langsung. Jadi kita sekarang kehilangan potensi tenaga kerja itu," imbuh Redma.

619