Jakarta, Gatra.com - Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, telah terjadi sebanyak 215 kejadian gerakan tanah di Indonesia sejak 1 Januari hingga 24 Maret 2023. Ratusan kejadian pergerakan tanah itu bahkan tercatat telah menelan sebanyak 84 korban jiwa.
"Kita harapkan, nanti ke depan ini, kalau bisa, sedikit ataupun tidak ada lah. Kalau bisa tidak ada [kejadian lagi], tapi kalaupun ada, sedikit," kata Kepala Badan Geologi Sugeng Mujiyanto, pada Konferensi Pers secara virtual, Jumat (31/3).
Di samping jumlah pada tiga bulan pertama tahun 2023, Badan Geologi mencatat adanya penurunan jumlah gerakan tanah di sepanjang tahun 2021 dengan gerakan tanah pada 2022 lalu. Di mana, pada 2021, ada sebanyak 1.091 kejadian yang memakan total 357 korban jiwa. Sementara itu, pada 2022, tercatat ada sebanyak 1.085 kejadian dengan total korban meninggal dunia mencapai 210 orang.
Baca juga: Badan Geologi Ungkap Gunung Api Indonesia 13.543 Kali Erupsi di Sepanjang 2023
Sugeng mengatakan, gerakan tanah yang terjadi umumnya berupa longsoran, yang 60 persennya terjadi di Pulau Jawa. Ia mengatakan, Pulau Jawa merupakan lokasi yang sangat rentan akan terjadinya gerakan tanah.
Sementara itu, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Hendra Gunawan mengatakan bahwa ada faktor yang memengaruhi tingginya intensitas pergerakan tanah di Pulau Jawa dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia. Menurutnya, faktor itu terkait dengan tipologi Pulau Jawa.
"Ini tipologinya termasuk banyak bergelombang, terjal, itu satu aspek. Kemudian juga, tingkat pelapukannya, tentunya ya, dan bantuan vulkanik juga di Jawa itu banyak. Batuan vulkanik ini cukup rentan bila berinteraksi dengan curah hujan yang cukup tinggi," kata Hendra Gunawan, dalam konferensi pers virtual yang sama.
"Nah, ini bila berinteraksi, kondisi lereng, kemudian kondisi batuan, dan kondisi curah hujan, ini yang memicu terjadinya gerakan tanah," lanjutnya.
Baca juga: Korban Jiwa Bencana Tanah Longsor Natuna Bertambah Menjadi 48 Orang
Hendra juga mengatakan, banyaknya intensitas gerakan tanah yang terjadi di Jawa juga dipengaruhi oleh banyaknya jumlah penduduk. Bahkan, masyarakat di Pulau Jawa juga tinggal di daerah-daerah lereng yang memiliki potensi pergerakan tanah. Padahal, gerakan tanah dapat terjadi dengan jeda 10 hingga 30 tahun.
"Pada saat masyarakat tinggal di sana tidak ada kejadian gerakan tanah, bukan berarti, dalam 20 [atau] 30 tahun, tidak akan terjadi," tuturnya.
Hendra menambahkan, kejadian gerakan tanah itu juga diperparah dengan kondisi pemanasan global yang memicu cuaca ekstrem. Hal itu dapat secara otomatis meningkatkan curah hujan, sehingga kejadian gerakan tanah itu menjadi parah.