Bali, Gatra.com - Dalam proses transisi finansial yang sejalan dengan progres beberapa negara Asean, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani mengatakan Indonesia sudah punya mekanisme khusus untuk hal ini. Beberapa faktor jadi perhitungan sebagai sistem pertanggungjawaban untuk komitmen peralihan ke energi hijau.
Sri Mulyani mengatakan, proses transisi ini perlu desain khusus agar negara terus berkembang dalam hal ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Tapi, di sisi lain, juga harus memperhitungkan soal ketersediaan dan keterjangkauan sektor energi.
"Tapi, di saat yang juga bersamaan, emisi CO2 juga harus dikurangi, sesuai dengan pernyataan NDC, untuk Indonesia Enhanced NDC," ucap Sri Mulyani di acara diskusi dalam rangkaian ASEAN Chairmanship 2023, Bali, Rabu (29/3).
Salah satu tantangan untuk Indonesia adalah ketergantungan untuk bahan bakar fosil, terutama batubara. Lebih dari 60% energi di Indonesia dicampur dan dikontribusikan dengan sektor energi berbahan batubara.
"Pertanyaannya, bagaimana kita akan meningkatkan energi terbarukan dan di saat yang bersamaan mengurangi atau mempensiunkan sektor batubara," ucap Menkeu dalam diskusi dengan para stakeholder di Asean.
Hal ini sangat penting karena mempensiunkan batubara artinya pasokan energi akan berkurang. Dengan adanya perkembangan ekonomi, negara akan dihadapi dengan masalah kurangnya energi yang bisa mendukung kebutuhan ekonomi.
Untuk mendukung proses ini, Indonesia disebutkan mengadopsi sistem yang diberi nama Mekanisme Transisi Energi (MTE). Sistem ini merupakan koordinasi dan bantuan Asian Development Bank kepada Indonesia. Pendekatan yang digunakan juga lebih sistemik dan teratur.
"Penonaktifan pembangkit listrik bertenaga batubara merupakan salah satu kunci penting dalam rencana kami untuk transisi ke ekonomi rendah karbon," katanya.
Mekanisme ini akan punya dua bagian. Fasilitas pengurangan karbon akan perlahan mulai mengurangi penggunaan batubara. Sementara, fasilitas clean energy akan menghasilkan lebih banyak energi terbarukan. Kedua hal ini tentu membutuhkan pendanaan dalam jumlah banyak.
"Pendekatan yang didesain harus menjadi win-win solution, baik untuk rakyat, investor, pelaku ekonomi regional, dan tentunya untuk lingkungan," ucap Sri.
Saat ini Indonesia juga sedang menyiapkan beberapa pondasi penting. Taksonomi untuk transisi finansial menjadi hal yang penting dalam rencana ini.
"Bagaimana kami meyakinkan dan mengajak para institusi, baik dalam negeri dan secara global, untuk menyalurkan fasilitas finansial ke dalam beberapa aktivitas yang memiliki target untuk berpartisipasi dalam net zero emission," jelas Sri.
Transisi taksonomi akan memberikan kejelasan dan roadmap kepada semua perusahaan, investor, pembuat kebijakan, dan para pemangku kepentingan terkait. Semua yang terlibat akan memiliki pengetahuan atas aktivitas atau investasi, yang mana akan ditentukan sebagai transisi finansial.
"Dengan taksonomi, kita juga bisa membantu membentuk kembali kredibilitas dengan aktivitas terkait dan setiap pihak akan berada di laju dan isu yang sama. Hal ini akan menjadi platform yang baik untuk kolaborasi dan koordinasi," ujar Sri.
Proses transisi dan taksonomi ini juga harus konsisten dengan target dengan Perjanjian Paris. Sehingga transisi ke ekonomi hijau juga bisa berjalan sesuai rencana.