Muaraenim, Gatra.com - Desa Tanjung Menang, Kecamatan Rambang Niru, Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan (Sumsel), termasuk salah satu wilayah Ring 1 PLTU Sumsel 1. Sayangnya proses konstruksi proyek tersebut dinilai bakal mengancam lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat.
Tak hanya mengganggu kelestarian alam, keberadaan PLTU ini dikeluhkan warga telah merusak sumber mata air dan anak Sungai Niru, yang selama ini mengalir ke Sungai Musi. “Padahal sungai itu menjadi salah sumber kehidupan masyarakat selama ini,” kata Koordinator Posko Rumah Merdeka, Satria Darma Wijaya, beberapa waktu lalu.
Selain mengganggu ekosistem alam, pembangunan proyek tersebut juga merusak akses jalan menuju wilayah kelola masyarakat akibat aktivitas pembangunan PLTU Sumsel 1. Jika selama ini jalan akses ke perkebunan memakan waktu singkat, kini mereka harus melawati jalan lintas dan memutar ke desa lain yang memakan waktu 1 jam.
"Jalannya sudah tergenang air, aliran dari PLTU Sumsel 1. Sampai saat ini tak bisa dilintasi. Bahkan parit yang mereka buat juga sangat berbahaya dan sudah beberapa kali warga terjatuh disana saat melintas,” ungkapnya.
Menurutnya, tidak banyak masyarakat yang bisa ikut serta dalam proyek itu dan tidak memiliki dampak dalam peningkatan ekonomi bagi masyarakat di sekitar proyek. Belum juga proyek tersebut diselesaikan, masyarakat sudah merasa terbebani dengan berbagai persoalan, misalnya klaim perebutan hak-hak milik masyarakat setempat.
“Dengan rendah hati, kami masyarakat meminta Pemerintah Kabupaten Muaratnim, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, Menteri ESDM serta Menteri BUMN untuk segera turun dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, Bonifasius Ferdinandus Bangun Direktur Sumsel Bersih menyebutkan, di Provinsi Sumsel, saja saat ini terdapat 6 PLTU dengan daya 2.168 MW sedangkan kebutuhan listrik di Sumsel hanya 36,39 persen dari total daya yang dihasilkan pembangkit atau hanya 789 MW.
Artinya Sumsel, mengalami surplus daya sebesar 1.379 MW tapi pemerintah terus menambah PLTU batu bara baru seperti PLTU Sumsel 1 dan PLTU Sumsel 8.
"Kami mendesak pemerintah menghentikan proyek PLTU Sumsel 1 dan Sumsel 8 karena Sumatera sudah kelebihan daya 2.000 MW dan Sumatera Selatan saja kelebihan daya 1.300 MW," katanya.
Menurutnya, Gubernur Sumsel, mestinya mengkaji kembali proyek pembangunan PLTU, terutama PLTU mulut tambang di daerah itu yang penuh permasalahan mulai dari pembebasan lahan hingga kerusakan lingkungan. Jika memang pemerintah berkomitmen untuk mulai mengedepankan energi terbarukan, tentu tidak lagi menggunakan energi fosil apa pun jenisnya.
“Jika mengacu pada program nasional transisi energi maka Sumsel harus mulai memasukkan EBT pada rancangan pembangunan daerah bukan malah semakin rakus menghabiskan cadang batu bara,” tutur Boni.
Diketahui, saat ini tercatat ada 33 unit PLTU batu bara yang beroperasi di Sumatera, dengan total kapasitas mencapai 3.566 megawatt (mw). Namun anehnya dalam Rencana Usaha Pemenuhan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 pemerintah masih akan menambah PLTU batu bara lagi sebesar 4.000 mw.
Tercatat, total daya mampu yang dihasilkan seluruh pembangkit listrik se-Sumatera, termasuk 33 PLTU, sebesar 8.916 mw, sedangkan beban puncak hanya sekitar 6.361 mw saja. Artinya, saat ini Sumatera mengalami surplus atau kelebihan energi listrik sebesar 40 persen atau sekitar 2.555 mw.
Menanggapi hal ini, pihak Bomba Grup melalui PT Cakra Bumi Energi (CBE) selaku pelaksana proyek pihaknya telah membangun proyek sesuai AMDAL dan mengikuti prosedur. Maka itu pihaknya berani membangun conveyor batubara, kantor operasional, mess karyawan, warehouse, workshop serta laboratorium untuk kontraktor pertambangan.
CEO Bomba Grup Todotua Pasribu mengatakan, pihaknya sudah melakukan langkah awal melalui acara Ground Breaking Pembangunan Coal Processing Plant (CPP) serta fasilitas pendukung lainnya pada Januari 2023 lalu. Menurutnya, Ground Breaking ini merupakan tahapan awal untuk mendukung proyek PLTU Sumsel 1.
"Kami Bomba Grup melalui PT CBE mendapat penugasan dari negara melalui PLN untuk membangun fasilitas listrik dan pembangkit listrik hulu tambang. Nanti juga akan ada operasi penambangan untuk mensuplai bahan batu bara sebagai material pembangkit listrik Sumsel 1," kata Todotua Pasribu.
Tenaga Kerja Lokal Merana
Keberadaan megaproyek PLTU Sumsel 1 ini sangat diharapkan bisa menghidupkan perekonomian warga di ring 1. Kendati faktanya saat ini perekrutan tenaga kerja lokal masih minim dan pembangunan terus diprotes warga sekitar.
PT Guangdong Power Energy Co. Ltd (GPEC) sebagai subkontraktor yang menaungi buruh dan serikat pekerja tebang pilih dalam perekrutan. Selain itu, warga yang bekerja di tahap kontruksi ini harus dhadapkan pada ketidakjelasan kontrak dan kerja tanpa jaminan asuransi maupun pesangon.
Sapri (52), mantan pekerja Buruh Harian Lepas (BHL) selama 1,5 tahun di kontruksi PLTU Sumsel 1 ini mengaku sempat ‘peras keringat’ bekerja di proyek tersebut pada tahun 2022. Dan selama itu pula, bagi waga asli desa Tanjung Menang ini, dirinya terus bekerja demi pundi rupiah tanpa jaminan asuransi dan hak libur yang jelas.
“Saat itu berhenti karena alasan kontraktor proyek disini (PLTU 1) clear, terus ada proyek terusan di Bekasi Timur. Berhubung habis kontrak dengan PLTU, mereka pindah dan menawarkan para buruh apakah mau ikut atau berhenti,” kenangnya.
Dihadapkan pada dua pilihan tersebut, Sapri lantas memilih berhenti ketimbang harus meninggalkan desanya. Sayangnya, beberapa pekerja yang memutuskan berhenti tidak mendapatkan surat pemberhentian dan putus begitu saja dari pihak kontraktor. Walaupun mereka sadar dari awal bekerja kontrak kerja pun tidak jelas, namun banyak yang menuntut pesangon maupun THR.
“Sekitar 48 orang yang disortir mereka dan tinggal disini. Selebihnya ada yang ikut ngerjain proyek di Bekasi, kalau nggak salah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung,” ungkap Sapri.
Selama bekerja, Sapri kebagian tugas menyupir beberapa atasan yang merupakan koordinator proyek dan kerap dipanggil Mr Liu. Saat itu dirinya kerap disuruh ke Palembang untuk menyupiri orang asing tersebut dan mengurus segala keperluan proyek.
“Saat itu kesulitannya di komunikasi karena mereka memakai bahasa mandarin. Jangankan pakai bahasa Indonesia, bahasa Inggris pun mereka tidak bisa. Namun karena saya sering berinteraksi dengan mereka, jadi sering gunakan bahasa isyarat atau terjemahan dari Hp,” tuturnya.
Sapri mengaku sebenarnya upah sudah sebanding dengan jam kerja yang mereka lakukan. Hanya saja, dengan jadwal kerja 12 jam sehari, ditambah lembur maksimal 3 jam, mereka merasa sangat luar biasa lelah dan terpaksa menjalaninya.
“Jam kerja kemarin pukul 06.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB dengan hitungan Rp12.000 per jam. Kalau lewat dari jam itu, dihitung lembur per jam Rp20.000. Lembur bisa sampai pukul 22.00 WIB dan malah dihitung 3 jam. Sedihnya lagi, saat bulan puasa tidak ada pemangkasan jam kerja. Idul Fitri pun hanya libur 2 hari tanggal merah,” ungkapnya.
Bagi mereka, libur artinya tidak dapat uang. Dirinya pernah dalam satu bulan menerima upah hingga Rp6 juta dan itupun baginya sudah setengah mati lelahnya. Maka itu para pekerja sering mengakali absen, demi mencuri waktu istirahat. Apalagi pihak kontraktor tak bisa protes karena mereka bekerja tanpa terikat kontrak.
“Sebelumnya sudah pernah ada kasus kecelakaan kerja, tahun 2022 itu ada pekerja asal Prabumulih yang jatuh dari ketinggian lantai 20 ke lantai 6 tahun. Namun hanya diobati dan santunan paling Rp50 juta. Sementara orangnya sekarang cacat permanen dengan kondisi tulang tangan dan kaki patah dan mustahil bekerja lagi,” ujarnya.