Jakarta, Gatra.com - Kalau benar-benar diamati, sebetulnya sumber malapetaka kelapa sawit itu menjadi kurang berkemampuan untuk sustainable, justru bukan dari luar negeri, tapi justru dari negeri sendiri.
Seperti yang sering dibilang oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-APKASINDO), Gulat Medali Emas Manurung, 'merayap' nya Kawasan Hutan ke kebun-kebun kelapa sawit milik petani itulah yang menjadi penghambat terbesarnya.
Dampaknya, selain tak bisa mengikuti sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), petani juga harus gigit jari lantaran tak bisa ikut Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
"Bukan European Union Deporestation Regulation (EUDR) yang jadi biang kerok. Saya yakin, kalau lima persoalan pokok petani yang akan saya urai di bawah ini terselesaikan, EUDR itu tidak akan menjadi ancaman," kata Plt Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga kepada Gatra.com jelang malam tadi.
Baca juga: Petani Sawit Bakal 'Serang Balik' Uni Eropa
Adapun langkah-langkah menyelesaikan lima persoalan pokok tadi kata magister ilmu kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) ini antara lain;
Keluarkan semua kebun kelapa sawit petani dari klaim kawasan hutan itu, khususnya kebun yang sudah tertanam sebelum tahun 2020.
"Segera, dan bekali sertifikat hak milik atas lahan sawit para petani itu dan jadikan semua lahan yang mencapai 6,88 juta hektar itu sebagai subject 'kebun kelapa sawit berkelanjutan'," ujarnya.
Sembari memberesi itu semua kata Sahat, jangan lagi ada yang namanya pembukaan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit.
"Giring dan kembangkan tata kelola "Small-Holders" layaknya Korporasi. Kalau sudah begini, tentu, lembaga keuangan akan mau menyediakan dana dengan berbunga rendah untuk menjalankan revitalisasi/replanting kebun sawit yang tidak produktif agar bisa menghasilkan 21 ton Tandan Buah Segar (TBS) per hektar per tahun," panjang lebar lelaki ini mengurai.
"Saat ini kan banyak kebun kelapa sawit petani terpuruk akibat pemakaian benih mariles itu," tambahnya.
Selanjutnya kata Sahat, pemerintah harus segera membentuk satu badan yang punya otoritas tinggi, yang bertanggungjawab langsung kepada presiden untuk menangani pertumbuhan industri kelapa sawit ini.
"Termasuk juga menangani komoditi strategis yang ada selain sawit seperti; karet, tebu, coklat, kopi. Badan ini pula yang mengelola industri hilirnya," pinta Sahat.
Semua regulasi terkait komoditas strategis itu, cukup berada di badan tadi, tidak berserak di sederet kementerian seperti yang terjadi sekarang ini.
"Biar badan ini menjadi garda terdepan menghadapi serangan sistemik dari berbagai pihak. Kementerian cukup menjadi supporting dari berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan otorita itu," katanya.
Kalau semua itu bisa segera dijalankan, Sahat yakin, para petani sawit yang beroperasi secara Korporasi akan berubah posisi menjadi subject, bukan lagi sebagai object.
"Saya berimajinasi, lima upaya yang saya urai di atas tak ubahnya seperti Panca Krida. Jika kita semua benar-benar masih sayang dan usaha berbagai komoditas dapat berkembang secara cepat, mari sama-sama kita jalankan," pintanya.
Abdul Aziz