Jakarta, Gatra.com - Petani sawit yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (ASPEKPIR) dan Asosiasi petani kelapa sawit Sawitku Masa Depanku (SAMADE) bakal menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Kedutaan Besar Uni Eropa untuk Indonesia di Jakarta pada Rabu (29/3) mendatang.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat APKASINDO, Gulat Medali Emas Manurung menjelaskan, aksi yang juga didukung oleh anak-anak petani sawit dan pekerja sawit yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Sawit Indonesia (FORMASI) itu tidak hanya digelar di Kedubes Uni Eropa tadi, tapi juga di depan kantor Kementerian Luar Negeri RI.
“Habis dari dua lokasi itu kami akan bergeser ke Istana Presiden untuk mengantarkan surat petani sawit,”ujar doktor ilmu agro-ekosistem Universitas Riau ini kepada Gatra.com tadi malam.
Sebetulnya kata ayah dua anak ini, sudah lima kali petani sawit yang diwakili oleh APKASINO membuka ruang dialog dengan delegasi Uni Eropa. Bahkan Dubes Uni Eropa, Vincent Piket sudah makan asam pedas patin di Pekanbaru Riau setelah menengok kebun petani sawit.
Pada pertemuan pertama, kedua, ketiga dan ke empat kata Gulat, delegasi Uni Eropa itu selalu mengatakan bahwa regulasi mereka tidak akan menyakiti petani kecil.
“Waktu Dubes Uni Eropa dan rombongan bersilaturahmi ke Kantor Pusat DPP APKASINDO pada (10/2) lalu, ngobrolnya masih bagus. Kami malah masih mempelajari pasal demi pasal regulasi deforestasi Uni Eropa itu,” kenang Gulat.
Namun dalam pertemuan selanjutnya, yang terasa malah Uni Eropa ini ngelunjak. “Yang paling membikin petani sawit sesak nafas adalah waktu pertemuan terakhir yang difasilitasi oleh Kemenko Perekonomian pada 6 Maret 2023. Dalam pertemuan itu, delegasi Uni Eropa bilang begini; silahkan patuh kepada regulasi Eropa, maka pasar sawit akan dibuka. Ini kan sama saja dengan mengatakan; kalau tidak patuh ya jangan masuk ke Eropa,” rutuk auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini.
Sebenarnya kata Gulat, kalau regulasi Uni Eropa itu masuk akal, petani sawit Indonesia tidak keberatan, bahkan akan didukung. Tapi yang ada itu justru, UU Deforestasi Uni Eropa sangat memojokkan sawit sebagai sumber pendapatan dan masa depan keluarga petani sawit.
Asal tahu saja kata Gulat, kajian APKASINDO menunjukkan bahwa dampak aturan Deforestasi Uni Eropa itu telah berpartisipasi menekan harga TBS petani. Sekarang saja sudah anjlok dari Rp2.950/kg menjadi Rp2.100/kg.
Ekspor sawit ke Eropa berpotensi terhambat lantaran wajib menunjukkan sertifikasi bebas deforestasi dan ketelusuran lainnya.
Ini menjadi sesuatu yang sangat memberatkan petani kecil. Kewajiban ini mustahil bisa dipenuhi petani lantaran butuh lembaga sertifikasi internasional dan berbiaya mahal. Intinya; ketelusuran TBS petani harus terpetakan melalui by name, by address dan by koordinat.
"Uni Eropa mungkin lupa kalau dari 16,38 juta hektar sawit di Indonesia, sekitar 42 persennya (6,87 juta hektar) dikelola oleh petani. Ini akan menjadi sasaran empuk dari berbagai regulasi yang diterapkan tentang hulu-hilir sawit seperti yang ada pada aturan European Union Deforestation Regulation (EUDR) itu," ujar Gulat.
Lantaran itulah petani sawit Indonesia kata Gulat meminta keadilan. "Saya yakin, warga masyarakat Uni Eropa pasti tidak setuju jika dampak regulasi EUDR ini justru memberatkan petani sawit dan ini mengancam masa depan kami petani sawit," tegasnya.
Walau dijejali oleh 27 negara, Uni Eropa kata Gulat bukan importir nomor satu minyak sawit, tapi justru berada di posisi keempat atau kelima.
Tiongkok dan India malah menjadi pangsa pasar terbesar ekspor minyak sawit nasional. Ekspor CPO kedua negara ini mencapai 29% dari total nilai ekspor sawit Indonesia.
"Tapi mendiskreditkan sawit sebagai sumber penghidupan kami 17 juta petani sawit dan pekerja sawit sudah merupakan pelanggaran HAM dengan modus deforestasi. Anehnya, walau Uni Eropa sibuk mendiskreditkan minyak sawit, tapi impornya tetap stabil; di kisaran 4 juta sampai 5 juta ton per tahun," katanya.
Ketua Umum ASPEKPIR, Setiyono sependapat dengan Gulat maupun Ketua Umum SAMADE, Tolen Ketaren. Bahwa kebijakan Uni Eropa itu sangat merugikan petani dan petani tidak terima dengan lebel "Sawit sebagai tanaman beresiko tinggi.
"Tudingan semacam itu sangat menyayat hati kami. Kami hidup dan membiayai ekonomi rumah tangga kami dari sawit. Masak dibilang sawit begitu. Sebenarnya dari dulu kami sudah terus melawan Uni Eropa. Sejak mereka menghembuskan isu soal kesehatan, lingkungan hingga deporestasi. Uni Eropa itu hanya mendiskreditkan sawit saja," ujar Setiyono.
Padahal di satu sisi, kelapa sawit adalah andalan ekonomi petani. "Sebagai petani plasma, semua kriteria sudah kami ikuti. Tapi tetap saja kai kena imbasnya. Itulah makanya kami juga akan ikut turun dalam aksi nanti," tegas lelaki ini.