Pekanbaru, Gatra.com - Wajah lelaki 26 tahun itu nampak murung usai keluar dari ruang audiensi Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Riau itu kemarin siang. Begitu juga dengan enam orang perwakilan peserta aksi keprihatinan yang mengikutinya; sama-sama murung.
Tak ada solusi yang didapat dalam pertemuan sekitar 20 menit dengan sejumlah pejabat perwakilan BPN Provinsi Riau; Kuncoro, Budi Jaya, Umar Pathoni --- termasuk Kepala BPN Rokan Hilir --- itu menjadi musababnya.
"Jawaban mereka normatif saja. Jadi, kita tengoklah selama bulan puasa ini, ada nggak progresnya. Kalau enggak ada, habis lebaran, mau tak mau kami akan menggelar aksi lagi dengan jumlah mahasiswa dan petani kelapa sawit yang jauh lebih besar," kata Amir Arifin Harahap kepada Gatra.com melalui sambungan telepon siang tadi.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Forum Mahasiswa Sawit (FORMASI) Indonesia ini cerita, kemarin, mereka sengaja mendatangi BPN dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau terkait lahan kebun kelapa sawit warga transmigrasi di Kabupaten Rokan Hilir (Rohil).
"Tadinya kami mau sekalian aksi ke Kantor Pusat PTPN V di jalan Rambutan, tapi urung. Kami sepakat mencari waktu lain," ujarnya.
PTPN V tersangkut-sangkut dalam persoalan ini kata Amir lantaran semua sertifikat kebun orang tua mereka adalah eks plasma PTPN V yang sudah "bercerai" puluhan tahun lalu.
"Pihak BPN bilang kalau mengurus sesuai jalur UUCK akan sangat lama. Mereka kemudian menawarkan agar kami berkordinasi saja dengan PTPN V supaya mendapat perlindungan dari PTPN V. Saran ini saya tolak mentah-mentah. Mengurusi kebun inti nya yang berada dalam kawasan hutan saja sampai sekarang enggak kelar-kelar. Boro-boro mau mengurusi kami," begitulah pemikiran Amir.
Menurut Amir, ada sekitar 6000 hektar kebun kelapa sawit warga transmigrasi di Rohil yang kini sudah berumur antara 38-42 tahun.
Kebun yang sudah bersertifikat hak milik antara 1981-1982 itu diklaim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berada di dalam kawasan hutan.
"Dulu, lahan itu pemberian pemerintah kepada warga transmigrasi melalui program Perkebunan Inti Rakyat Khusus (Pirsus) yang dititipkan kepada PTPN V.Enggak mungkin pemerintah memberikan kawasan hutan lalu mensertifikatkan. Tapi kenapa sekarang jadi kawasan hutan? Itu baru di Rohil, belum lagi yang ada di kabupaten lain yang nasibnya sama," lelaki yang sedang menyelesaikan program Magister Hukum di Universitas Islam Riau (UIR) ini berujar.
Mereka datang ke BPN kata Amir, sesungguhnya berharap agar BPN bertanggungjawab atas sertifikat yang sudah dikeluarkan.
"Tapi salah seorang pegawai BPN malah bilang begini; sesungguhnya kami sudah sangat dilecehkan oleh KLHK, sebab banyak sertifakat yang sudah kami terbitkan tapi dimasukkan dalam kawasan hutan. Kami jadi berada pada posisi serba salah," Amir menirukan omongan salah seorang pegawai BPN itu.
Terlepas dari apapun alasannya itu, menurut Amir BPN harus bertanggungjawab dan mempertanyakan kepada KLHK kenapa lahan warga transmigrasi itu diklaim berada dalam kawasan hutan.
"Jangan malah orang tua kami yang ditumbalkan. Sebab gara-gara diklaim kawasan hutan itulah orang tua kami tak bisa ikut program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang menjadi program strategis Presiden Jokowi," Amir menegaskan.
Asal tahu saja kata Amir, gara-gara persoalan klaim kawasan hutan ini jugalah sebenarnya tahun lalu, realisasi PSR di Riau nol persen, dari target 11 ribu hektar.
Memang, saat ini sudah ada Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang menjadi solusi atas klaim kawasan hutan yang ada. Tapi prosesnya panjang, berbiaya mahal dan berliku.
"Mbok jangan petanilah yang direpotkan. Lagi pula, kalau yang kayak begini kasusnya, kurang pas kalau diseret ke UUCK. Sebab ada BPN yang bisa menyelesaikan itu bersama KLHK. Orang tua kami bukan merambah hutan 40 tahun lalu," katanya.
Sebelum diterima audiensi, Amir bersama lebih dari 50 orang mahasiswa dan petani sempat juga menggelar orasi di halaman kantor BPN provinsi Riau di kawasan jalan Cut Nyak Dien Kota Pekanbaru itu.
Ini persis seperti yang mereka lakukan di halaman kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau di kawasan jalan Sudirman Pekanbaru.
Aksi ini tergolong unik lantaran anak-anak petani sawit ini ikut membantu dan bahu membahu bersama orang tua mereka dalam aksi demo itu yang diberi nama "aksi keprihatinan".
Itulah makanya selain Amir dan mahasiswa lain, ada juga di sana perwakilan anggota KUD Panca Jaya, KUD Ikhlas dan Kelompok Tani DTT Bhayangkara Rohil yang notabene eks Plasma PTPN-V.
Ada pula lelaki paruh baya yang mengusung poster bertuliskan; Pak Presiden Jokowi, kami ingin ikut program bapak melalui PSR, karena PSR yang bapak tanam 2018 lalu di kampung kami sudah panen dengan sangat produktif. Tolong kami Pak Jokowi. Mata lelaki itu berkaca-kaca
Ketua KUD Ikhlas, Irwansyah dalam orasinya mengatakan, BPN harus bertanggungjawab dan kami juga tidak pernah merambah hutan, tapi negara melalui PTPN V yang menyiapkan lahan untuk kami," katanya.
"SHM yang diterbitkan oleh BPN, mestinya menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi kami, BPN jangan buang badan," kata Ketua Kelompok Tani Bhayangkara, Priyono pula.
"Mestinya lahan itu tidak berada di dalam kawasan hutan. Sebab kawasan hutan di Riau baru ada sejak tahun 1986," kata Kepala DLHK Riau, Mamun Murod setelah menghampiri Amir dan kawan-kawan yang menggelar aksi di parkiran DLHK Riau.
Murod kemudian menerima lembar tuntutan Amir cs itu. Lelaki ini berjanji akan meneruskan tuntutan itu kepada Menteri LHK, Siti Nurbaya.
"Semua pernyataan sikap ini sangat bagus dan saya salut kepada rombongan aksi keprihatinan yang menyampaikan aspirasi dengan cara terhormat dan tertib. Dan saya meluangkan waktu untuk berdiskusi lebih lanjut," ujarnya.
Abdul Aziz