Jakarta, Gatra.com - Isu kawasan Timur Tengah masih sering digunakan untuk menarik simpati masyarakat Indonesia. Pengamat politik internasional Dina Sulaiman mengatakan, narasi Suriah sudah dipakai selama 12 tahun, tepatnya sejak 2012-2023. Padahal, masih banyak yang tidak tahu kondisi sebenarnya di Suriah.
"Situasi di Arabnya sudah membaik. Kemarin, bahkan Presiden Assad sudah datang ke Uni Emirat Arab, disambut dengan upacara militer, merekanya sendiri sudah berbaikan, tapi di sini masih narasi sektarian masih disebarluaskan," tutur dalam acara Paramadina Democracy Forum (PDF) Seri ke-9, di Jakarta pada Selasa (21/3).
Dina menyebutkan, salah satu kunci terpenting untuk melawan radikalisme dan terorisme adalah dengan memahami kondisi geopolitik di negara itu. Ia bercerita, anak-anak muda yang pergi ke Suriah, bergabung dengan kelompok-kelompok teror itu merasa mereka sedang berjuang dan berbuat baik.
"Seandainya mereka paham geopolitik, apa yang sebenarnya yang terjadi di Suriah bahwa di sana sebenarnya ada agenda penggulingan rezim. Bahwa di situ ada pertarungan wilayah, pertarungan jalur pipa gas," ucap Dina.
Dua gas yang dimaksud, satu dari arah Qatar ke Eropa, dan satunya dari Iran mau ke Eropa. Permasalahan menjadi besar karena satu pipa dikuasai Amerika Serikat. Sedangkan, yang menuju atau dari Iran dikuasai oleh China dan Rusia. Suriah dalam posisi ini berpihak pada Rusia.
"Dan, kenapa Rusia juga berkepentingan dengan pipa gas ini, karena kalau dari Qatar atau pipa gas yang dikuasai oleh Amerika Serikat ini masuk ke Eropa, Rusia tidak punya defining position lagi," tutur Dina lagi.
Hal ini menjadi penting karena kedaulatan pangan dan energi menjadi alasan Rusia bisa bertahan menghadapi perang dan embargo. Posisi Eropa di dunia internasional juga mulai goyah karena mereka tidak punya ketahanan energi sehingga memaksa mereka mengimpor gas dari Amerika dengan harga yang sangat mahal.
Persoalannya dengan Indonesia adalah melihat adanya perubahan poros kekuatan di dunia yang mulai bergeser. Terutama, dengan kemunculan China yang justru berhasil menjadi mediator antara Iran dan Saudi.