Jakarta, Gatra.com – Silicon Valley Bank (SVB) kolaps sehingga harus diambil alih oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) atau Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) Amerika Serikat (AS). Ini sempat mengejutkan pasar finansial pada akhir pekan lalu.
Head of Research Moduit, Manuel Adhy Purwanto, mengatakan, kondisi SVB tersebut membuat sejumlah pihak berpandangan, itu bakal menyebabkan terulangnya krisis ekonomi di Amerika Serikat (AS) seperti yang terjadi pada tahun 2008 silam.
“Mungkin pendapat kami, pada prinsipnya apa yang terjadi saat ini menurut kita itu berbeda dibanding di 2008,” katanya di Jakarta pada akhir pekan ini.
Ia berpandangan demikian karena kalau melihat runutan cerita yang terjadi pada SVB, itu lebih spesifik terkait pendanaan kepada industri startup. SVB yang berdiri sejak 1983, menjadi perbankan untuk startup teknologi yang memiliki 29 kantor di seluruh dunia dengan aset senilai US$209 miliar dan deposito sekitar US$175,4 miliar per akhir 2022.
SVB berada di peringkat 16 dalam daftar bank dengan aset terbesar di AS. Namun, 89% deposito SVB tidak memiliki jaminan. Kejatuhan SVB bermula dari rencana mereka untuk menambah modal sekitar US$2,25 miliar melalui penerbitan saham akibat kekurangan likuiditas.
Langkah tersebut direspons negatif oleh nasabah dan memicu penarikan dana besar-besaran (rush) hingga US$42 miliar. SVB pun terpaksa menjual kepemilikan obligasi senilai US$ 21 miliar yang menyebabkan kerugian hingga US$ 1,8 milliar akibat harganya saat lebih rendah.
“Ini [kasus SVB] agak spesifik segementansinya karena kalau kita lihat di 2020–2021, itu AS banyak mencetak banyak uang USD. Uang yang berlebihan itu masuk ke industri-industri teknologi seperti startup,” katnya.
Ia menduga bahwa SVB yang mendapat banyak pendanaan, kemudian tidak terserap. Terlebih lagi, startup kini mendapatkan pendanaan dari ventura capital dan investor. “Jadi enggak perlu ambil pinjaman di bank,” ujarnya.
Akhirnya, banyaknya likuiditas membuat SVB menginvestasikannya di surat berharga atau obligasi pemerintah AS yang pada saat itu return-nya tidak terlalu tinggi, yakni hanya sekitar 1,7%.
Pemerintah AS kemudian berubah haluan karena mulai merangkaknya inflasi. Bank sentral AS pun kemudian menaikkan suku bunga yang cukup agresif sehingga saat ini berada di 4,75%. Tentunya, suku bunga tinggi akan selalu berbanding terbalik dengan obligasi.
“Penyebabnya, pada saat industri startup yang saat ini mulai membutuhkan dana lebih banyak karena pendanaannya mulai berkurang, tidak seperti era saat pandemi, suplai uang itu tinggi, berarti ada kecenderungan orang melakukan penarikan dana dibanding deposisit,” ujarnya.
Rush menyabkan keringnya likuiditas SVB. Akibatnya, SVB terpaksa mencairkan obligasi. Pencairan obligasi tersebut menimbulkan kerugian yang cukup signifikan, yakni sekitar US$1,8 miliar.
“Otomatis ini menimbulkan efek berantai karena ada kerugian seperti ini, harus likuiditas lagi, ternyata ditanggapi negatif bahkan muncul beberapa investor yang menempatkan dana di Silicon Bank melakukan rush,” ujarnya.
Rush merupakan hal yang membahayakan bagi semua industri keuangan atau bank. Menurut Manuel, bank apapun kalau di-rush melebihi batas likuiditasnya pasti akan kolaps dan akhirnya harus diambil alih atau ditangani LPS.
Manuel menyampaikan, ini berbeda dengan tahun 1998 karena kalau melihat lima besar bank di AS, di antaranya JPMorgan Chase dan Citygroup, saat ini tidak terdapat korelasi.
“Karena mereka jauh lebih prudent dari sisi pengelolaannya, diversifikasinya juga jauh lebih baik, industrinya. Jadi statement kami adalah ini berbeda dengan krisis AS di 2008,” ujarnya.
Manuel juga menilai bahwa kasus SVB sampai saat ini belum menimbulkan dampak sistemik di AS. Meski demikian, ini dapat sedikit menurunkan kepercayaan investor kepada bank, khusus bank relaif kecil. “Mungkin banyak rush mereka pindahin ke bank yang lebih besar,” katanya.
Menurutnya, hal tersebut bisa diatasi selama pemerintah AS mampu menjamin aman simpanan di bank. “Mereka bisa cover, bisa memberikan ketenangan di pasar, saya pikir ini sentimennya akan mereda,” katanya.
Kesulitan Credit Suisse
Selain SVB, Credit Suisse juga mengonfirmasi bahwa pada bulan lalu kliennya telah menarik dana 110 miliar franc Swiss pada kuartal keempat dan bank menderita kerugian tahunan terbesar sejumlah 7,29 miliar franc Swiss pada tahun 2022.
Selanjutnya, kata Manuel, Credit Suisse telah melaporkan bahwa pihaknya mendapatkan dukungan pendanaan dari investor sebesar 4 miliar franc Swiss pada November. Namun Rabu (15/3/2023), pemegang saham terbesar Credit Suisse, Saudi National Bank (SNB), menyatakan, tidak dapat menambah lebih banyak uang.
“Ini karena pembatasan peraturan yang membatasi kepemilikannya di bawah 10%. Credit Suisse telah mengumumkan bahwa telah mengambil pinjaman CHF 50 miliar dari Bank Central Swiss,” katanya.
Sedangkan apakah akan ada lembaga keuangan lain yang akan menyusul seperti Credit Suisse, Manuel berpandangan, sampai sejauh ini belum. Pasalnya, pihak Bank Central Swiss telah memberikan jaminan mereka bisa menambah likuiditas ke Credit Suisse.
“Central Bank Nasional Siwss itu memberikan garansi, mereka bisa ngasih likuiditas tambahan Credit Suisse untuk bisa ambil pinjaman senilai 50 milir franc Swiss,” katanya.
Manuel menyampaian, pesan dari dua kasus bank di AS dan Swiss, Eropa itu, yakni pihak terkait harus cepat mengatasi kekhawatiran pasar karena investor bisa panik dengan kondisi yang kurang bagus.
“Selama dari pemerintahnya bisa turun tangan dan cepat memberikan solusi atau jaminan keamanan, terutama bagi investor atau deposan, itu sedikit banyak sudah memberikan ketenangan pasar,” ucapnya.
“So far kalau kita lihat dua [CVB dan Credit Suisse] ini cepat sekali tindakannya, hari ini keluar besok sudah ada tindakannya. Itu cukup bagus,” ujarnya.
Bagaimana Pengaruh terhadap Perbankan Indonesia
Dari dua persoalan yang terjadi tersebut, apakah memberikan dampak terhadap perbankan di Indonesia? Manuel mengatakan, pihaknya optimistis bahwa perbankan di Indonesia tidak seperti itu.
“Situasi perbankan kita, bank yang sudah well known di Indonesia, kita fokus ke empat bank di Indonesia, kita melihat, baik itu skala rasio likuiditasnya, pinjamannya itu sangat sehat,” kata dia.
Bahkan, kalau melihat laporan keuangan tahun lalu, semua bank besar di Indonesia membukukan laporan keuangan yang kuat, bahkan ini periodenya keputusan RUPS, bisa membagi deviden per tahunnya bisa 4–5%. Itu suatu hal yang positif buat bank-bank yang skalanya besar.
“Tapi apakah tidak ada risiko terhadap bank-bank yang relatif lebih kecil, seperti bank-bank digital, itu pasti ada eksplosur risiko yang mungkin perlu diwaspadai,” katanya.
Pasalnya, investor lebih merasa nyaman untuk menyimpan uangnya di bank besar. Itu yang efek runtutan yang perlu diwaspadai dari kedua lembaga keuangan di AS dan Swiss tersebut.
“Tapi sekali lagi, selama misalkan pemerintah kita bisa menggaransi, LPS juga bisa menggaransi bahwa mereka akan turun tangan kalau ada hal seperti ini mirip seperti dengan [LPS] di AS dan Swiss,” katanya.
Investasi di Indonesia
Pemerintah AS terus agresif menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi, ujar Manuel, telah berdampak negatif ke sektor finansial. Hal ini dapat memengaruhi kebijakan Bank Sentral The Fed ke depan.
“Ekspektasi kenaikan suku bunga The FED pada 22 Maret turun menjadi sebesar 25 basis poin dengan ekspektasi terminal rate (puncak suku bunga) di 5,25%, turun dari sebelumnya di 5,75%,” katanya.
Di satu sisi, lanjut Manuel, kolapsnya SVB berdampak negatif ke pasar saham, namun positif ke pasar obligasi. Menyikapi kondisi tersebut, investor Indonesia saat ini dapat mengambil peluang berinvestasi di obligasi pemerintah, baik melalui Reksadana Pendapatan Tetap atau membeli obligasi secara langsung, seperti obligasi retail SR018 atau obligasi Fixed Rate (FR) yang juga tersedia di platform Moduit.
Head of Marketing & Communication Moduit, Ari Prastowo, menambahkan, pihaknya telah mengurasi produk-produk investasi pilihan agar investor yang ingin berinvestasi mudah memilih sesuai tujuan investasi yang akan dicapai.
Ia menjelaskan, pihaknya tidak seperti pasar umumnya yang menyajikan seluruh produk investasi. Ini untuk memudahkan investor agar tidak bingung karena tidak harus melihat ribuan produk investasi.
“Ketika kita dihadapkan pada ribuan produk, terus kita melihat yang bagus yang mana ya, ujung-ujunya nanya juga, akhirnya gitu. Kita itu sebagai butik, yaitu sudah memilihkan produk-produk yang dikurasi,” katanya.