Home Info Sawit Terkait Sikap PepsiCo, Ini Kata Apkasindo

Terkait Sikap PepsiCo, Ini Kata Apkasindo

Medan, Gatra.com - Sebetulnya Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-APKASINDO) ini tak mempersoalkan siapapun mengkritisi kelapa sawit Indonesia.

"Yang penting kritikan itu benar-benar berdasar, faktual dan mengedepankan tiga dimensi; ekonomi, sosial dan lingkungan," kata Ketua Umum DPP APKASINO, Gulat Medali Emas Manurung kepada Gatra.com, saat menghadiri acara Peningkatan Kapasitas dan Penguatan Kelembagaan Petani Kelapa Sawit yang ditaja DPW APKASINDO Sumatera Utara (Sumut) di Medan, tadi sore.

Sebab sesungguhnya, tanpa dikritisipun kata lelaki 50 tahun ini, para petani sawit sudah menjaga tiga dimensi tadi melalui kearifan lokal yang selama ini terjaga.

Saking ingin menjaga tiga dimensi tadi, walau kearifan lokal itu selalu terjaga, petani sawit masih semangat menjalankan aturan main soal keberlanjutan kelapa sawit yang dibikin pemerintah; Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

"Memang, yang mengantongi sertifikat ISPO masih 0,42 persen --- 28 ribu hektar --- dari 6,8 juta hektar luas kebun kelapa sawit petani se-Indonesia. Walau masih kecil, tapi itu kan sudah upaya kami, bentuk komitmen kami menjaga keseimbangan tiga dimensi itu," ujar ayah dua anak ini.

Dan meski jumlahnya masih kecil kata Auditor ISPO ini, dari hasil penelitian yang dia lakukan dengan biaya sendiri pada dua tahun lalu, justru dimensi keberlanjutan dari aspek lingkungan (khususnya biodiversitas), perkebunan sawit rakyat malah lebih tinggi ketimbang dua dimensi yang lain.

Oleh apa yang dilakukan petani itulah kemudian doktor agro-ekosistem ini menjadi nelangsa saat menengok berita yang menyudutkan kelapa sawit Indonesia.

Perasaan Gulat semakin bergejolak setelah menengok bahwa yang menjelekkan kelapa sawit Indonesia itu justru anak bangsa sendiri.

"Komentarnya di berita yang sudah beredar itu terkesan syur sendiri. Enggak ada data kuantitatif yang diungkap, hanya qualitative," katanya.

Memang, tuduhan qualitative itu kata Gulat cuma ditujukan kepada salah satu perusahaan sawit yang ada di Indonesia.

"Tapi secara spesifik, tuduhan itu sangat tendensius menyudutkan sawit. Di industri sawit itu ada kami 17 juta petani dan pekerja sawit lho. Yang membikin saya jadi heran, kejadiannya sudah lama dan perusahaan itu beroperasi sudah 15 tahun, kok sekarang baru direcoki? Ada apa?" rutuknya.

Biar fair, Gulat mengajak Manager Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional Uli Arta Siagian untuk berdebat ilmiah tentang sawit dengan APKASINDO. Kebetulan, Uli yang berkomentar di pemberitaan itu.

"Kami tidak pada posisi ingin membela atau menyudutkan siapa-siapa. Karena kami hidup dan menggantungkan masa depan keluarga kami di sawit, jadi wajar kami membela sawit, pohon kehidupan kami” Gulat beralasan.

Lebih jauh lelaki ini menyebut, sebetulnya sudah rahasia umum kalau pekerjaan menjelek-jelekkan sawit itu ada sumber duitnya dan upaya menjelek-jelekkan itu wajar terjadi lantaran memang itulah outout dari proposal pekerjaan yang kayak begitu.

"Tapi tolong Uli Artha menengok kami petani sawit yang sudah berjibaku di tengah kebun sawit kami untuk bisa hidup dan bertahan. Mengganggu sawit sama dengan mengganggu masa depan kami petani sawit. Sekali lagi, kalau ada data-data yang didapat, sebaiknya diuji dululah secara ilmiah, jangan hanya mengandalkan narasi," pintanya.

Sebagai perusahaan kelas dunia, Gulat juga menyarankan agar PepsiCo jangan terlampau gampang terpengaruh dengan laporan pihak tertentu.

"Sebaiknya lakukan dulu uji lapangan. Ajak lintas stakeholder berdiskusi, termasuk kami petani sawit yang saat ini sudah generasi kedua," pintanya.

Kalau merunut apa yang selama ini mendera sawit, sebenarnya Gulat tak merasa aneh lagi dengan tuduhan tendensius kepada tanaman yang telah menghidupi jutaan rakyat Indonesia dan telah memberikan devisa raksasa kepada pundi-pundi negara itu.

Lagi-lagi kata Gulat, APKASINO menengok bahwa modus penjelekan ini masih sama seperti yang sudah-sudah; persaingan bisnis.

Persaingan ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak tertentu melalui proposal kegiatan. "Banyak teman saya penggiat lingkungan dan konsep yang kami bangun juga saling menjaga ketiga aspek keberlanjutan tadi," katanya.

Kalau mau jujur, dampak negatif terhadap lingkungan dari usaha tani Sunflower, Rapeseed dan Soybean (SRS), justru sangat dasyat. Laporan hasil penelitian ilmiah tentang itu sudah dimuat di journal internasional.

Sawit itu tanaman tahunan, SRS tanaman musiman. Dari dua jenis tanaman ini tidak cukup seribu lembar halaman membahas betapa lebih berkelanjutannya sawit.

"Yang menjadi pertanyaan kemudian, kenapa SRS ini enggak pernah diserang? Jawabannya ya lantaran yang semangat membiayai serangan kepada sawit itu ya dari Eropa, negeri penghasil SRS. Mereka memanfaatkan anak bangsa ini," tudingnya.

Bisa jadi kata Gulat, Uli hanya sesekali datang ke kebun sawit, atau jangan-jangan sanak familinya malah banyak yang jadi petani sawit.

"Ada baiknya sesekali Uli memikirkan dan menolong kami petani sawit ini untuk mendapatkan harga TBS yang wajar dan setara. Juga, menolong kami petani sawit yang masih terjebak dalam klaim Kawasan hutan dan memikirkan gimana caranya supaya petani bisa hijrah menjadi petani hilir," Gulat berharap.

"Jujur, kami memang tidak punya uang untuk membayar proses pertolongan itu, tapi kami akan lebih punya masa depan oleh pertolongan tadi," tambahnya.

Terlepas dari apapun itu, Gulat sangat yakin masih sangat banyak anak bangsa yang mau mengawal tanaman yang kini sudah menjadi icon bangsa itu.

"Mengganggu sawit, sama dengan mengganggu merah putih, sebab sawit itu adalah kita, Indonesia. Mari sama-sama kita menjaga sawit ini sebagai bagian dari pemersatu bangsa, aset negara, dengan cara yang lebih ilmiah dan mengedepankan tiga dimensi keberlanjutan tadi; ekonomi, sosial dan lingkungan. Jangan kita hanya bicara lingkungan dan mengabaikan dua aspek lainnya," pinta Gulat.


Abdul Aziz

1080