Home Ekonomi Thrifting Matikan Industri Tekstil Nasional, Pemerintah Jangan Hanya Pencitraan

Thrifting Matikan Industri Tekstil Nasional, Pemerintah Jangan Hanya Pencitraan

Jakarta, Gatra.com - Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) Suroto menegaskan bahwa praktik impor pakaian dan barang bekas atau thrifting di Indonesia itu sebetulnya sudah lama terjadi dan sifatnya ilegal. Barangnya dijual secara vulgar di toko dan pasar tradisional.

 

Suroto menyebut bisnis thrifting yang kian marak ini hanya memberikan keuntungan jangka pendek bagi masyarakat konsumen, terutama kelas bawah yang daya belinya rendah, pedagang eceran dan importir ilegalnya. Hanya saja, di sisi lain praktik itu juga menimbulkan kerugian bagi kelompok masyarakat lain dan juga negara.

 

“[Thrifting] rugikan industri tekstil dalam negeri, hilangnya pendapatan negara dari pajak bea masuk, hilangkan kesempatan berkembangnya industri dalam negeri,” ujarnya kepada Gatra.com, Sabtu (18/3).

 

Menurut Suroto, pelarangan oleh pemerintah akhir-akhir ini bersifat reaktif. Pasalnya hal itu dilakukan setelah industri tekstil lokal mati. “Dan itu dilakukan karena sudah menggerus pasar para importir pakaian yang legal yang selama ini juga sudah monopolistik juga,” tegasnya.

 

Lebih lanjut, Suroto menilai ada dua kemungkinan yang terjadi dengan reaksi pemerintah saat ini. Pertama memang ingin serius mengembangkan industri tekstil dalam negeri. Kemungkinan kedua, untuk mengakomodir keluhan importir kain beberapa perusahaan yang selama ini juga telah monopolistik.

 

“Jika memang serius, langkah kebijakan penegasan pelarangan mestinya juga diimbangi dengan dorong industri kain rakyat dan terutama industri kain dan tenun tradisional,” ujarnya.

 

Suroto memandang, jika pelarangan thrifting hanya meningkatkan banjir barang impor kain dari Tiongkok yang sudah meningkat tajam dalam dekade terakhir berarti pemerintah tidak serius.

 

“Jadi menurut saya, larangan pemerintah yang sifatnya reaktif ini juga perlu kita waspadai di belakangnya ada permainan dari importir kain yang pemainya sudah monopoli,” tegasnya.

 

Pemerintah dengan pelarangan yang dilakukan, jelas Suroto, semestinya arah kebijakan dan perlindungan industri tekstil nasional juga harus jelas dan tegas. “Seperti misalnya mendorong bergairahnya industri kain dan tenun rumahan (home industry) dari hulu hingga hilirnya.” kata Suroto.

 

Pelarangan yang dilakukan oleh pemerintah ini, ungkap Suroto, tujuannya dapat dibaca dari kebijakan turunanya. Misalnya menghidupkan industri bahan baku dalam negeri seperti pertanian kapas, sutra, dan potensi bahan kain dan tenun lainya. Lalu dukungan kelembagaan dan permodalan serta pemasaranya.

 

“Tanpa itu semua maka pemerintah berarti hanya menjadi bagian dari permainan dagang saja. Tidak mendasar dan pencitraan dan lagi lagi masyarakat yang dikorbankan,” tegas Suroto.

 

105