Jakarta, Gatra.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan tower transmisi tahun 2016 pada PT PLN (Persero) masih berjalan. Saat ini, Kejagung masih menunggu penghitungan kerugian keuangan negara dari pihak berwenang.
“Terkait [penyidikan] tower PLN, saat ini masih berjalan. Yang jelas kita sudah berkoordinasi dengan para ahli untuk melakukan penilaian [kerugian],” kata Kuntadi, Direktur Penyidikan (Dirdik) Pidana Khusus di Kejagung, Jakarta, Senin (13/3).
Begitupun ketika ditanya soal indikasi bahwa kerugian negaranya kurang kuat, Kuntadi menyampaikan, pada prinsipnya Kejagung tidak mau salah melangkah atau sembarangan dalam menangani suatu kasus.
“Diperlukan ketelitian dan kecermatan dalam mengambil sikap,” kata Kuntadi.
Sampai dengan saat ini, Kejagung belum juga menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tower pada PT PLN (Persero) pascamenaikkannya ke tahap penyidikan pada medio tahun 2022.
Jaksa Agung ST Burhanuddin di Jakarta pada Senin (25/6/2022), menyampaikan, Kejagung mulai menyidik kasus dugan korupsi pengadaan tower transmisi PLN berdasarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-39/F.2/Fd.2/07/2022 tanggal 14 Juli 2022.
Adapun kasus posisi dalam perkara ini, yaitu PT PLN (Persero) pada tahun 2016 memiliki kegiatan pengadaan tower sebanyak 9.085 set tower dengan anggaran sejumlah Rp2,2 triliun lebih.
Dalam proses pengadaan tower transmisi PT PLN (Persero) yang melibatkan Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia (ASPATINDO) serta 14 penyedia pengadaan tower itu, diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara.
Burhanuddin menyampaikan, awalnya Kejagung menyelidiki pengadaan tower transmisi PLN tersebut. Hasilnya, penyelidik menemukan peristiwa pidana atas pengadaan tower itu.
“Adanya fakta-fakta, perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan,” ujarnya.
Adapun indikasi perbuatan pidana korupsi dalam pengadaan tower transmisi PLN ini, yakni dokumen perencanaan pengadaan tidak dibuat, menggunakan Daftar Penyedia Terseleksi (DPT) tahun 2015 dan penyempurnaannya dalam pengadaan tower. Padahal seharusnya menggunakan produk DPT yang dibuat pada tahun 2016 namun pada kenyataannya DPT 2016 tidak pernah dibuat.
Selanjutnya, PT PLN dalam proses pengadaan selalu mengakomodir permintaan dari ASPATINDO sehingga memengaruhi hasil pelelangan dan pelaksanaan pekerjaan yang dimonopoli oleh PT Bukaka, karena Direktur Operasional PT Bukaka merangkap sebagai Ketua ASPATINDO.
“PT Bukaka dan 13 penyedia tower lainnya yang tergabung dalam ASPATINDO telah melakukan pekerjaan dalam masa kontrak (Oktober 2016-Oktober 2017) dengan realisasi pekerjaan sebesar 30%,” ujarnya.