Jakarta, Gatra.com – Juru Kampanye Energi Trend Asia, Novita Indri Pratiwi, menilai rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk mengatasi proyek gasifikasi batubara yang mandek merupakan langkah keliru dalam transisi energi.
Novita dalam keterangan pers diterima pada Selasa (14/3), menyampaikan, sejumlah pemerhati lingkungan telah memprediksi bahwa proyek gasifikasi batubara Dimethyl Ether (DME) PT Bukit Asam di Kawasan Industri Tanjung Enim, Sumatera Selatan, yang masuk Proyek Stategis Nasional (PSN) tersebut bakal menemukan kendala.
Baca Juga: Percepat Hilirisasi, Pertamina dan Bukit Asam Kembangkan Gasifikasi Batubara
Terlebih, kata Novita, nilai manfaat proyek gasifikasi batubara tersebut tidak sebanding dengan jumlah investasi yang dikeluarkan dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Total investasi yang dibutuhkan untuk proyek tersebut mencapai US$15 miliar.
“Alih-alih mendapatkan pertambahan nilai melalui gasifikasi batubara, proyek ini justru berpotensi merugikan negara,” katanya.
Selain itu, proyek tersebut juga akan memperparah kondisi lingkungan yang sudah rusak. “Juga tampak jelas bahwa proyek ini hanya jadi dalih perpanjangan penggunaan energi kotor seperti batubara,” katanya.
Novita menyebutkan, laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA, 2020) menyatakan proyek ini tidak layak karena tidak memiliki nilai keekonomian.
Menurut data tersebut, lanjut Novita, proyek gasifikasi batubara DME ini akan menimbulkan utang baru sebesar US$2 miliar, germasuk juga akan merugikan negara sebesar US$377 juta per tahunnya atau setara Rp5,43 triliun
Nilai kerugiannya jauh lebih besar dibandingkan nilai penghematan impor LPG sebesar US$19 juta atau setara Rp273,7 miliar yang diklaim pemerintah Indonesia untuk menjustifikasi pembangunan proyek tersebut. Potensi angka kerugian ini akan bertambah karena selain PTBA ada beberapa perusahaan swasta yang juga mengerjakan proyek tersebut.
Lebih jauh dia menyampaikan, wajib pajak Indonesia juga akan membayar lebih mahal untuk energi yang lebih sedikit. Sebab, menurut kalkulasi IEEFA, total biaya produksi DME sebesar US$470 per ton hampir dua kali lipat lebih besar dari biaya produksi LPG sebesar US$365 per ton.
“Jadi bukannya membawa manfaat bagi negara, proyek hilirisasi ini justru akan memberi beban finansial besar bagi keuangan negara,” kata Novita.
Kendala kesepakatan keuangan antarpihak terlibat, seperti telah diperkirakan IEEFA, lanjut Novita, akan membuat pemerintah terpaksa turun tangan mengucurkan bantuan-bantuan. Jokowi diberitakan segera menerbitkan Peraturan Presiden agar perusahaan terlibat tidak mengalami kerugian dalam menjalankan bisnisnya.
“Hal ini makin mempertegas bahwa dari awal proyek ini tidak layak dan hanya mengutamakan kepentingan bisnis,” ujarnya.
Ia menambahkan, berbagai kemudahan dan insentif juga telah diberikan bagi perusahaan yang melakukan penambahan nilai dengan menghilirisasi batubara melalui UU Minerba dan Perppu Cipta Kerja.
“Jika kepastian subsidi ini akan diatur dalam Perpres khusus, maka hal ini menunjukkan pemerintah Indonesia tidak mampu menentukan skala prioritas di mana dana publik seharusnya bisa dialihkan untuk kebutuhan pendanaan transisi energi bersih terbarukan yang masih sangat minim,” kata Novita.
Baca juga: Bersaing di Pasar Global, BUMN Didorong Tingkatkan Ekspor dan Hilirisasi Produk
Tidak hanya secara ekonomi, proyek gasifikasi batubara juga merusak lingkungan. Laporan AEER (2020) mengungkap, jika proyek beroperasi maka akan menghasilkan emisi lima kali lebih banyak, 4,26 juta ton CO2-eq per tahun, dibandingkan proses pembuatan LPG dengan kapasitas sama, 1,4 juta ton per tahun.
“Upaya Indonesia dalam mencapai Perjanjian Paris, menekan laju emisi dan transisi energi berkeadilan akan terhambat dengan proyek nilai tambah semu seperti gasifikasi,” katanya.