Yogyakarta, Gatra.com - Selama beberapa hari terakhir, cuaca di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta amat terik. Keluhan tentang panasnya Yogyakarta bertebaran di media sosial. Di sisi lain, sejak Sabtu (11/3), aktivitas Gunung Merapi di perbatasan DIY dan Jawa Tengah meningkat, bahkan puluhan kali meluncurkan awan panas guguran. Apakah dua hal ini berhubungan?
Pakar iklim dan bencana dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Emilya Nurjani, menjelaskan erupsi Merapi ternyata tidak mempengaruhi cuaca di DIY. Suhu udara di wilayah DIY yang dalam beberapa hari terakhir amat panas tidak berkaitan dengan erupsi Merapi.
“Kenaikan suhu di wilayah Jogja ini bukan karena erupsi Merapi, tetapi lebih karena fenomena urban heat island yang umum terjadi di wilayah perkotaan,” tuturnya, Senin (13/3).
Saat erupsi, awan panas guguran dari erupsi Merapi mengarah ke arah barat dan menyebabkan hujan abu di daerah Magelang, Wonosobo, dan sekitarnya. Adapun Yogyakarta tidak terdampak abu vulkanik.
Dosen Departemen Geografi Lingkungan Fakultas Geografi UGM ini menyatakan, ketinggian Gunung Merapi hingga 2.900 mdpl menyebabkan awan panas terbawa angin kencang dan berubah menjadi debu vulkanik. Hal ini tidak meningkatkan suhu secara signifikan.
“Proses erupsi Merapi tidak memengaruhi suhu. Namun, aerosol yang dihasilkan mungkin akan berpengaruh dalam menaikkan maupun mengurangi suhu, tergantung angin,” ujarnya.
Kendati begitu, erupsi tersebut sempat meningkatkan suhu di tingkat lokal di kawasan Gunung Merapi dalam waktu yang tidak begitu lama. Kenaikan suhu tidak lebih dari 1-2 jam, sehingga tidak terlalu mempengaruhi suhu udara di DIY dan sekitarnya,
“Debu vulkanik dari erupsi Merapi menutupi radiasi ke bumi sehingga panas yang akan dilepaskan ke atmosfer terganggu. Kondisi itu menyebabkan peningkatan suhu, tetapi tidak lama hanya 1-2 jam dan sangat lokal,”paparnya.
Kenaikan suhu tersebut juga tidak meningkatkan potensi hujan di DIY. Guguran awan panas yang menuju arah barat tidak meningkatkan aerosol yang menjadi inti kondensasi awan, sehingga tidak menyebabkan hujan.
Emilya menuturkan, dampak peningkatan suhu akibat erupsi Gunung Merapi minim karena Indonesia merupakan negara tropis dengan lapisan troposfer atau lapisan terendah atmosfer dengan ketebalan 18 kilometer.
Hal ini membuat debu vulkanik di lapisan troposfer dapat langsung dilepaskan. Debu vulkanik tersebut tidak masuk ke lapisan stratosfer atau lapisan kedua atmosfer bumi.
Kondisi ini berbeda dengann negara-negara di Eropa yang memiliki lapisan troposfer hanya setebal 6 km. Tipisnya lapisan troposfer membuat debu vulkanik dari erupsi gunung dapat masuk ke lapisan troposfer bahkan stratosfer.
Emilya mencontohkan erupsi Gunung Eyjafjallajoekull, Islandia, pada 2010 silam. Debu vulkanik dari erupsi tersebut masuk ke lapisan stratosfer hingga berdampak pada iklim di kawasan Eropa.
“Debu vulkanik erupsi masuk sampai lapisan stratosfer dan terjerat di sana. Dampaknya masih tersa sampai sekarang di mana musim dingin di Eropa lebih parah. Begitupun saat musim panas menjadi sangat panas," ujarnya.