Jakarta, Gatra.com — Jalur kepemimpinan bagi perempuan masih memiliki ruang untuk meningkat. Hal tersebut merujuk studi global baru “Women in Leadership: Why Perception Outpaces the Pipeline-and What To Do About It” dari IBM Institute for Business Value (IBV) dan CHIEF.
Studi yang dilakukan terhadap 2.500 organisasi di 12 negara dan 10 industri menemukan peningkatan kecil dalam jumlah perempuan di tingkat C-suite dan Dewan Direksi (sekarang 12% untuk keduanya), dan meningkat menjadi 40% representasi perempuan dalam peran profesional junior/spesialis (37% pada tahun 2021).
Technology dan Country Leader IBM Indonesia, Cin Cin Go mengatakan, optimisme akan kemajuan telah tumbuh, namun kesetaraan gender masih terasa jauh. “Jumlah perempuan yang menduduki posisi kepemimpinan puncak masih belum pulih ke tingkat sebelum pandemi - 14% representasi perempuan di posisi wakil presiden senior (18% pada 2019) dan 16% di posisi wakil presiden (19% pada 2019),” kata Cin Cin.
Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2021 juga menunjukkan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan tercatat masih sangat kurang dengan persentase 54% sedangkan laki-laki tercatat mencapai 83%.1 Selain itu, studi IBM dan CHIEF menunjukkan kurang dari separuh (45%) organisasi yang disurvei melaporkan bahwa mereka telah melakukan peningkatan jumlah perempuan yang menduduki posisi kepemimpinan sebagai prioritas bisnis formal.
Upaya perusahaan dan organisasi di Indonesia untuk mendorong hal tersebut dapat dilihat melalui posisi Indonesia yang telah menduduki peringkat keempat negara yang memiliki pemimpin perempuan terbanyak di dunia dengan persentase sebanyak 37% menurut laporan dari Grant Thornton International.
“Batasan sosial yang menghalangi perempuan untuk dipromosikan ke posisi tinggi dalam manajemen bukan hanya fenomena di kalangan C-suite. Hal ini dimulai jauh lebih awal mulai dari peluang pertama untuk promosi ke posisi profesional dan manajerial senior,” ucap Cin Cin.
Ia merujuk data dari BPS pada 2021, dari 2,82 juta pekerja pada jabatan manajerial, 33,08% merupakan perempuan di mana jumlah tersebut meningkat 2,71% dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 30,37%. Namun, jumlah tersebut masih tertinggal dari laki-laki yang mencapai persentase sebesar 66,2%.
“Meskipun, kami senang melihat adanya kemajuan dalam representasi perempuan di tingkat C-suite dan Dewan Direksi, sangat penting bagi perusahaan untuk melakukan lebih banyak hal untuk mengisi jalur yang mengarah ke posisi-posisi penting ini,” ucap Co-Founder dan Chief Brand officer CHIEF, Lindsay Kaplan.
Ia menyebut, perempuan secara signifikan kurang terwakili di hampir semua level tenaga kerja. “Jika perusahaan memprioritaskan keragaman gender di seluruh organisasi mereka melalui kebijakan, investasi, dan budaya yang secara bermakna mendukung perempuan, kita akan melihat dampak transformatif - kesetaraan bagi semua orang di tempat kerja dan bisnis yang lebih kuat dan tangguh,” katanya.
Senior Vice President dan COO, IBM Consulting, Kelly Chambliss menyatakan, prinsip kesetaraan dan inklusi memberikan keunggulan kompetitif bagi organisasi, namun banyak perusahaan yang tidak bertindak seolah-olah kesuksesan mereka bergantung pada hal tersebut.
“Agar dapat berkembang di dunia yang berubah dengan cepat, organisasi harus memprioritaskan kemajuan perempuan - dan semua kelompok yang secara historis kurang terwakili serta mengambil tindakan untuk menantang hambatan struktural dan bias tanpa disadari,” pungkasnya.
Studi IBM dan Chief menemukan sejumlah hal:
1. Optimisme meningkat, tetapi tidak mencerminkan kenyataan
Para responden memperkirakan industri mereka akan mengalami paritas gender dalam kepemimpinan dalam 10 tahun, dibandingkan dengan tahun 2019 ketika perkiraan rata-rata industri adalah 54 tahun. Kenyataannya, dengan laju perubahan saat ini, berdasarkan data survei, paritas gender masih puluhan tahun lagi.
2. Hambatan struktural dan bias yang tidak disadari terus menghambat kemajuan perempuan
Sejak puncak pandemi, semakin banyak organisasi yang menerapkan perencanaan pengembangan karier bagi perempuan, pelatihan keragaman, dan pembentukan kelompok jaringan perempuan. Namun, bias tetap ada, misalnya, ketika ditanya apakah perempuan dengan anak yang menjadi tanggungannya berdedikasi pada pekerjaannya seperti perempuan tanpa anak, mayoritas responden menjawab ya. Inilah yang diyakini oleh para pemimpin di organisasi mereka, kecuali manajer laki-laki hanya sekitar 40% yang setuju.
3. Atribut-atribut yang dianggap penting untuk kepemimpinan juga tetap berdasarkan gender
Para responden sepakat bahwa pria lebih dihargai karena kreativitas dan berorientasi pada hasil serta berintegritas, dan mengharapkan wanita untuk bersikap strategis dan berani, namun juga berorientasi pada orang lain.
4. Pandemi terus memberikan dampak yang tidak proporsional terhadap perempuan di tempat kerja
Para responden menempatkan pandemi sebagai gangguan paling serius yang dihadapi perempuan, sebagai bentuk nyata atas dampaknya yang sangat besar dan berkepanjangan. Sr. Partner dan Wakil Presiden Strategi, Transformasi dan Kepemimpinan Pemikiran, IBM Consulting, Salima Lin menyatakan, data penelitian menunjukkan bahwa kekosongan di tengah-tengah itu nyata.
“Perubahan struktural, termasuk menata ulang jalur kepemimpinan dan deskripsi peran, meningkatkan transparansi gaji, dan menetapkan tujuan representasi, dapat membuka jalur baru bagi perempuan untuk maju ke posisi yang lebih senior,” kata Salima.
Studi juga menyajikan peta jalan untuk kemajuan berkelanjutan berdasarkan praktik-praktik kepemimpinan yang dikumpulkan dari temuan penelitian, termasuk membingkai ulang kemajuan kepemimpinan perempuan dalam bahasa hasil bisnis, menyusun strategi Anda dengan lebih tegas, menerapkan rencana aksi yang bertujuan mendorong kesetaraan gender di seluruh lini kepemimpinan, serta merancang ulang peran di tingkat atas yang sesuai untuk talenta terbaik.