Jakarta, Gatra.com - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyampaikan evaluasi terhadap kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Masa Sidang (MS) III Tahun Sidang 2022-2023. Salah satu hal yang menjadi poin evaluasi Formappi adalah respons DPR terhadap berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Menurut Formappi, telah terjadi berbagai permasalahan di masyarakat menjelang dan selama berlangsungnya MS III itu. Beberapa di antaranya, kata Formappi, seperti perusakan citra kepolisian oleh polisi sendiri, terjadinya kasus-kasus pembunuhan oleh anggota keluarga dekat, penculikan anak, pelecehan dan kekerasan seksual pada anak dan perempuan, serta kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng serta mahalnya harga beras.
"Terhadap persoalan-persoalan itu, DPR cenderung tidak responsif. Padahal kasus kasus tersebut ditangani oleh kementerian dan Lembaga-lembaga yang menjadi mitra kerja DPR," ujar Peneliti Formappi Taryono ketika menyampaikan evaluasi terhadap kinerja DPR di Kantor Formappi, Jakarta, Jumat (10/3).
Menurut Formappi dalam evaluasi itu, seharusnya respons DPR dapat ditunjukkan dengan memerintahkan lembaga-lembaga terkait untuk menangani kasus-kasus itu menggunakan kekuasaan DPR di bidang pengawasan.
Kendati demikian DPR justru dipandang sangat reaktif dalam menjalankan peran pengawasan terkait sejumlah kasus lain. Dalam catatan Formappi, ada beberapa kasus lawas pun mendapatkan sorotan tajam dari DPR. Beberapa di antaranya, seperti kasus pemberhentian perangkat desa secara sepihak tanpa rekomendasi tertulis dari Camat; sengketa pertanahan, mafia pertanahan, serta persoalan Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pengelolaan (HPL) yang tidak sesuai luas dan peruntukannya; konsumen pemesan Apartemen Meikarta di Bekasi; ganti rugi korban jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182; korban tragedi pertandingan sepak bola di stadion Kanjuruhan, Malang; dan pengangkatan guru yang lulus sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)
"Sikap galak DPR di hadapan penanggung jawab kasus-kasus tersebut seharusnya diapresiasi karena mereka mewakili ekspresi warga yang menjadi korban dalam kasus-kasus itu. Akan tetapi jika melihat waktu kejadian kasus-kasus ini dan respons DPR saat kasus-kasus itu terjadi, rasa-rasanya ledakan emosi anggota DPR di Masa Sidang III sudah terlambat," ucap Taryono.
"Itu bukan tidak mungkin kegarangan DPR mempersoalkan kasus-kasus lawas di Masa Sidang III tidak didorong oleh motif kemanusiaan untuk membela korban, tetapi lebih karena pertimbangan politik elektoral semata," imbuhnya.
Oleh karena itu, Formappi menilai pelaksanaan fungsi pengawasan DPR cenderung normatif dan tidak efektif. Pasalnya, dalam beberapa kasus, Formappi memandang DPR reaktif dan seakan mengambil langkah untuk membela kepentingan rakyat.
"Sayangnya respons mereka tidak muncul dari inisiatif mereka sendiri, tetapi atas perjuangan masyarakat yang mengadu ke DPR. Karena kasus-kasus itu sudah lama terjadi, DPR seharusnya sudah sejak dulu meresponnya. Ketika mereka baru bereaksi sekarang ini saat Pemilu 2024 sudah di depan mata, DPR justru terlihat seperti pahlawan kesiangan," tandas Taryono, dalam kesempatan itu.