Jakarta, Gatra.com - Tudingan adanya motif rekayasa kasus Klitih Gedongkuning Yogyakarta sudah terlihat sejak awal proses hukum dilakukan oleh pihak kepolisian Yogyakarta. Hal itu disampaikan pihak keluarga korban saat memberikan kesaksian langsung di Jakarta, Kamis, (9/03).
Satu hal yang diakui oleh keluarga terdakwa, anak mereka memang terlibat dalam Perang Sarung. Kasus ini memang terjadi pada hari dan waktu yang berdekatan dengan peristiwa Klitih di Gedongkuning, yang menyebabkan tewasnya Daffa Adzin Albasith, remaja berusia 18 tahun, pada 3 April 2022 dinihari..
"Perang Sarung terjadi pada tanggal 3 itu hanya sekitar dua sampai tiga menit lah. Dua menit di sana, ternyata polisi Polres itu sudah ada di sana dan membubarkan dengan tembakan peringatan dua kali," tutur Subadriyah, ibu dari Hanif, salah satu terpidana kasus klithih.
Saat tawuran ini terjadi, kebetulan ada polisi yang berpatroli dan bisa langsung membubarkan anak-anak yang sempat berkumpul. Mereka ini kabur ke Selatan dan sekitar pukul 2.45 sampai sahur sudah kembali ke rumah masing-masing.
“Sabtu, tanggal 9 April 2022 itu kami kedatangan tamu mencari anak saya, mau minta keterangan hubungannya dengan Perang Sarung," tutur Subadriyah.
Kedatangan tiba-tiba ini sempat membuat keluarga panik. Subadriyah juga menambahkan bahwa pihak kepolisian itu datang ke rumahi sekitar 7-8 orang dengan tidak membawa satu surat pun.
Hal yang hampir sama juga disebutkan oleh Ibu Andyani atau Aan, orang tua dari Andi. "Tidak ada surat yang ditinggalkan dari polisi kepada kami sebagai orang tua. Jadi, hanya ada surat yang diperlihatkan, tapi karena saya agak panik waktu itu ya karena ada polisi datang, saya tidak membacanya dengan jelas. Kemudian, ketika saya mau foto juga tidak boleh," tutur Ibu Andyani.
Ibu Andyani juga menyebutkan kalau Polisi mengambil anaknya dengan mengatakan bahwa anaknya itu terlibat dalam tawuran atau Perang Sarung.
"Tetapi, ternyata, ketika sampai di sana malah anak kami diarahkan untuk mengakui bahwa dia terlibat dalam peristiwa yang berbeda, peristiwa Klitih atau penganiayaan di tempat yang berbeda, jam yang hampir sama. Jaraknya 8 kilo. (antara kedua lokasi, red)," tutur Bu Aan.
Siti Wahyuni, ibu dari Fandi juga bercerita kalau setelah dibubarkan polisi, anaknya lari ke Selatan sampai ISI Yogyakarta. Sembunyi di sana sambil menghabiskan rokok sebatang.
"Setelah itu, anak saya berboncengan dengan Mas Dimas menggunakan Scoopy. Itu langsung pulang melewati jalan Imogiri Barat untuk bertemu dengan Mas Hanif, Mas Andi dan kembali. Setelah ada sahur-sahur, anak saya diantar pulang bersama Mas Dimas ke rumah," tutur Ibu Siti.
Setelah penangkapan terjadi, pihak keluarga tidak bisa secara langsung menemui anak-anak mereka. Proses penyidikan dilakukan selama beberapa hari dan selama itu anak-anak disiksa untuk mengakui tuduhan yang tidak mereka lakukan.
"Penyiksaan terjadi dari malam sampai pagi dan anak-anak dipaksa mengaku dan menandatangani BAP yang keluar tanggal 10 April tanpa ada tanya jawab," kata Ibu Andyani .
Penyiksaan tidak hanya terjadi pada satu orang saja. Pihak keluarga menyebutkan kalau anaknya juga dipojokkan hingga tidak kuat lagi untuk menuruti keinginan polisi.
Selain itu, orang tua baru bisa bertemu anak mereka sembilan hari setelah ditangkap. Berdasarkan pengakuan salah satu terdakwa, hal ini pun ada indikasi rekayasa polisi.
"Alasan polisi saat itu covid. Tapi, kalau anak kami bilang 'Ah itu bohong ma, penyidiknya aja bilang, udah kamu nanti-nanti aja ya ketemu orang tua, biar memar-memar, babak belurnya sembuh dulu," tutur Ibu Andyani.
Kisah lain dialami Siti Wahyuni, ibu dari Fandi.
"Tanggal 13 April saya didatangi oleh pengacara tunjukan polisi yang menawarkan untuk mendampingi anak saya. Karena saya buta hukum, saya menerima saja," tutur Ibu Siti.
Bukannya mendapat kejelasan hukum, pihak keluarga justru dikagetkan setelah kuasa hukum dari polisi mendapatkan tanda tangan anaknya. Ini terjadi tanggal 16 April di Polresta Yogyakarta.
"Kejanggalan juga dirasakan pada saat rekonstruksi. Pihak keluarga menerima informasi ini pada hari Minggu pukul setengah tiga. Padahal, rekonstruksi dijadwalkan dilakukan pada senin depannya," ucap Siti Wahyuni.
Dalam proses ini pihak keluarga kembali dipersulit oleh polisi. Para terdakwa pun dibiarkan tanpa pengawasan keluarga.
"Di rekonstruksi itu saja dihalangi Polsek Kotagede dan hanya satu orang tua yang bisa melihat. Saya tidak bisa mendekat atau melihat anak saya. Tidak boleh membawa HP, tidak boleh membawa tas," tutur Ibu Siti.
Padahal, ia dan beberapa pihak keluarga sudah berada di lokasi. Para ibu tidak diperbolehkan untuk mendekat atau berada di sekitaran wilayah rekonstruksi.
"Saya saja ikut mendatangi Polsek Kotagede itu saya duduk di depan disuruh pindah disuruh pergi. Akhirnya saya menunggu di mobilnya Ibu Aan," ucap Ibu dari Fandi.
Saat rekonstruksi terjadi, keluarga tidak lagi menggunakan penguasa hukum (PH) dari polisi dan mendapat bantuan dari PKBH UGM. Namun, pihak PH pun dipersulit oleh kepolisian.