Jakarta, Gatra.com - Tenaga surya menjadi salah satu potensi sumber energi baru terbarukan yang dibutuhkan untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2060 mendatang. Peneliti Kebijakan Paramadina Public Policy Institute, Rosyid Jazuli menerangkan bahwa potensi energi surya yang besar tetap harus memperhatikan cara pengolahannya dan kondisi di lapangan untuk benar-benar bisa dimanfaatkan.
"Potensi energi surya cukup siginifkan, 6-10% dari kebutuhan nasional. Tapi pemanfaatan energi surya minim, bahkan tidak sampai 1% sejauh ini dari kapasitas yang terpasang," ujarnya dalam sebuah diskusi yang digelar secara hybrid, Kamis (9/3).
Besarnya potensi energi surya tidak serta merta membuat seluruhnya bisa diterapkan. Diperlukan waktu serta keseriusan dari pembuat kebijakan untuk bisa merealisasikannya.
Menurutnya, meskipun terdapat tren penurunan biaya baterai lithium sebagai salah satu komponen Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), biaya pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan masih jauh lebih mahal. Melimpahnya batu bara sebagai sumber energi yang murah juga menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam proses transisi energi.
Perkembangan teknologi yang semakin canggih tidak membuat pemanfaatan energi surya menjadi lebih cepat. Ia menilai tetap dibutuhkan waktu dan penyesuaian dalam penerapannya.
"Untuk teknologi yang datang dari negara maju, kita harus bayar mahal untuk itu," tegasnya.
Ia juga menyatakan bahwa sejatinya, paparan matahari di Indonesia masih tidak konsisten. Meskipun sebagai negara ekuator, tidak setiap hari ada sinar matahari sehingga kebutuhan baterai masih akan tinggi.
Rosyid menekankan bahwa poin terpenting yang harus menjadi perhatian adalah cara pemerintah menunjukkan komitmen nyata. Meskipun telah menyatakan berupaya mengurangi emisi gas rumah kaca, diperlukan bukti nyata bahwa pemerintah benar-benar serius mengatasi persoalan iklim ini.
"Tantangan kebijakan ini kita melihat komitmen pemerintah terus menumpuk. Banyak komitmen yang sebenarnya satu per satu bisa dicapai," ucapnya.
Diketahui, dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) terbaru, Indonesia berkomitmen dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% pada 2030 dengan kemampuan sendiri. Sementara, pada 2060 nanti, target NZE juga diharapkan bisa tercapai.
Rosyid juga menegaskan pentingnya peran masyarakat agar penerapan transisi energi bisa terlaksana. Kesadaran masyarakat menjadi kunci utama, terlebih dalam memahami pentingnya menjaga iklim.
"Perilaku masyarakat jadi kunci penting dalam kebijakan. Dalam konteks EBT, sayangnya di Indonesia ada persepsi kuat bahwa energi harus murah, bahkan gratis. Masyarakat perlu punya prioritas signifikan untuk kebutuhan menjaga sustainability," katanya.