Jakarta, Gatra.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Kedeputian Pencegahan dan Monitoring terus melakukan pelbagai upaya untuk mengkaji dan memetakan risiko terjadinya tindak pidana korupsi di daerah.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menjelaskan alasan masih rendahnya kemampuan mengelola keuangan dan aset dalam otonomi daerah. Hal itu disebabkan oleh lemahnya sistem yang mengakibatkan munculnya indikasi korupsi dan pelbagai pungutan yang dapat mereduksi upaya pertumbuhan perekonomian daerah.
“Dalam menumbuhkan daya saing antar-daerah, otonomi daerah seharusnya dapat meningkatkan akuntabilitas dalam penyelenggaran pemerintah daerah. Dalam kajian ini, KPK menemukan berbagai permasalahan terhadap besarnya nilai alokasi dana Transfer ke Daerah dalam belanja pemerintah daerah,” kata Ghufron dalam keterangan tertulisnya, Rabu (8/3).
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan menyampaikan, alur birokrasi dana TKD sangat berliku dengan syarat kepentingan politik anggaran yang seluruhnya memicu praktik korupsi. Seluruh dana yang dialokasikan untuk daerah harus melewati sejumlah meja yang kerap dihinggapi praktik kotor.
“Termasuk pada dana perencanaan yang diajukan pemerintah daerah terhadap Kementerian Keuangan, dapat berubah sesuai dinamika dan persetujuan DPR. Pada tahap perencanaan ini pemerintah daerah harus berjuang ke Jakarta, ke kementerian supaya masuk ke dalam usulan yang akan dibawa Kementerian Keuangan ke DPR,” kata Pahala.
KPK mengidentifikasi adanya proses transfer Dana Alokasi Khusus Fisik (DAKF) yang tidak efektif. Hal ini terjadi karena seringnya proses bisnis terhadap penilaian atau pemenuhan readiness criteria yang berulang.
Selanjutnya, penentuan lokasi prioritas (Lokpri) belum berdasarkan kriteria yang jelas, ketidakpastian, dan keterbatasan waktu dalam pengusulan DAKF dari pemerintah Daerah.
KPK juga menemukan Alokasi Dana Insentif Daerah kecil dan penggunaannya ditentukan oleh pemerintah pusat. Waktu penggunaan DID kinerja tahun berjalan pun sempit dan disalurkan menjelang akhir tahun, serta diarahkan untuk bantuan sosial. Kemudian Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang terlalu kecil sehingga tidak efektif.
Kemudian KPK mendapati pelaksanaan pengawasan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) tidak substantif, hanya bersifat administratif.