Jakarta, Gatra.com – Kartika Puspitasari, mantan Pekerja Migran Indonesia (PMI) menceritakan kisah tragis nan mirisnya ketika menjadi pembantu rumah tangga (PRT) di Hong Kong. Ia menceritakan pengalaman terberatnya pada Hari Perempuan Internasional 2023.
Kartika yang kini berusia 40 tahun asal Cilacap, Jawa Tengah (Jateng), dalam konferensi pers secara hybrid pada Selasa (7/3), menceritakan, setelah suaminya meninggal dunia, ia terpaksa memutuskan untuk bekerja ke luar negeri demi membiayai anak semata wayangnya dan keluarganya.
“Sebelumnya saya bekerja di Singapura, lalu ke Hong Kong. Untuk bekerja ke Hong Kong, saya mendaftar ke sebuah PT di Jakarta,” katanya membuka cerita.
Selepas itu, Kartika pun diberangkatkan oleh perusahaan penyalur tenaga kerja tersebut ke Hong Kong. Di sana, ia bekerja di sebuah keluarga. Ia bertugas mengurus 3 anak kecil dan 2 orang dewasa yang tak lain suami-istri, Tai Chi-wai dan Catherine Au Yuk-shan yang menjadi majikannya.
Tiga bulan bekerja, pasangan suami-istri tersebut masih memperlakukannya secara baik. Namun, setelah pindah ke rumah baru, majikan perempuan Catherine Au Yuk-shan berubah sikap. Dia membuang semua barang, termasuk pakaian dan dokumen milik Kartika yang dibawanya dari Indonesia.
Adapun sejumlah dokumen milik Kartika yang dibuang Catherine Au Yuk-shan adalah paspor, kontrak kerja, dan KTP Hong Kong. Catherine Au Yuk-shan mengatakan, membuangnya agar Kartika tidak bisa pulang ke Indonesia.
“Saya hanya diberi makan 3 kali dalam seminggu [sepekan] berupa bubur sisa dari rumah sakit di mana majikan saya bekerja,” katanya.
Sedangkan untuk minum, Kartika terpaksa minum air keran di toilet. Selain itu, majikan Kartika pun hanya memperbolehkannya mandi di toilet umum tanpa sabun, sampo, dan sikat gigi. Ini pun karena badan Kartika sudah sangat bau karena sebelumnya tidak diperbolehkan mandi.
“Di musim panas dan dingin, majikan menyuruh saya memakai plastik sampah sebagai pengganti baju dan saya juga disuruh memakai pampers [popok] setiap hari,” katanya.
Selain itu, majikan perempuan juga mulai sering memukuli Kartika menggunakan rantai dan kunci sepeda, sepatu, dan tangan. Dia juga menyuruhnya tidur di dapur dengan posisi duduk di kursi.
“Kaki dan tangan diikat menggunakan kantong plastik setiap hari. Dia juga memotong paksa rambut saya menjadi sangat pendek dengan alasan rambut saya bau dan ada kutunya,” ujarnya.
Kartika tak kuasa menolak karena diancam menggunakan pisau kater. Majikan perempuannya akan melukai bahkan membunuhnya jika melawan. Hampir setiap hari, badan, kepala, muka, dan punggung Kartika kerap mendapat pukulan menggunakan gantungan baju, rantai dan kunci sepeda, atau botol kaca.
“Kepala saya juga sering dibenturkan ke tembok dapur. Saya juga sering diancam akan dibunuh jika mencoba melarikan diri,” ungkapnya.
Sekitar tahun 2011, Kartika ditinggal di rumah sendirian karena majikan dan keluarganya berlibur ke Thailand selama 7 hari. Majikannya kemudian mengikat tangan dan kaki Kartika ke kursi.
“Saya juga dipakaikan plastik sampah dan pampers sebagai pengganti baju dan dipaksa memakai 5 layer masker supaya saya tidak bisa berteriak atau berbicara. Saya juga tidak diberi makan dan minum selama itu,” ungkapnya.
Ketika itu, Kartika sangat putus asa dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Selain kaki tangannya diikat ke kursi, ia juga tidak mempunyai teman yang bisa dihubungi. “Saya hanya bisa pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa,” ungkapnya.
Setelah majikannya pindah ke rumah ketiga, Kartika tetap menerima siksaan setiap harinya. Bahkan, majikannya menyuruh Kartika tidur di dalam toilet dengan posisi duduk di atas closet sembari tangan dan kaki diikat kabel plastik. “Dia juga memukuli saya dengan menyulut api,” katanya.
Selain melakukan penyiksaan secara fisik dan psikis, kedua majikan Kartika juga tidak pernah membayar gaji dan libur selama 2,3 tahun bekerja.
“Saya sangat sedih karena selama itu, saya tidak bisa menghubungi keluarga, tidak bisa ngobrol sama anak, ketika mendengar kabar keluarga, saya dikira sudah meninggal,”katanya.