Jakarta, Gatra.com - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih telah melaporkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) ke Komisi Yudisial (KY) RI. Pelaporan itu merupakan buntut atas putusan PN Jakpus yang mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
Anggota Koalisi Kawal Pemilu Bersih, Saleh Alghifari mengatakan bahwa pihaknya memandang pengabulan gugatan tersebut telah melanggar kode etik dan perilaku hakim, sebagaimana dibuat oleh Mahkamah Agung (MA) RI dan Komisi Yudisial (KY) RI.
"Kami menyampaikan laporan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku majelis hakim PN Jakarta Pusat yang memutus penundaan Pemilu (Pemilihan Umum) melalui sengketa perbuatan melawan hukum gugatan perdata, yang menurut kami, itu melanggar kode etik dan perilaku hakim yang telah dibuat KY dan MA," ujar Saleh, dalam konferensi pers di Kantor KY, Jakarta, Senin (6/2).
Baca juga: KPI Minta Lembaga Penegak Hukum Turut Usut Perkara Putusan Tunda Pemilu 2024
Saleh mengatakan, penilaian itu berdasarkan dua poin dalam peraturan kode etik dan perilaku hakim. Pertama, berkaitan dengan profesionalitas hakim, di mana hakim harus menerapkan profesionalitasnya dalam menjalankan tugas. Kedua, berkaitan dengan keharusan hakim untuk melandaskan tindakannya dari nilai-nilai hukum dan luhur yang ada di masyarakat.
"Di mana, kita nilai dalam perkara ini, Majelis Hakim mengabaikan konstitusi pada Pasal 22E ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 yang mewajibkan Pemilu dilaksanakan lima tahun sekali secara luber dan jurdil," ujar Saleh.
Baca juga: KPI Laporkan Hakim PN Jakpus ke KY soal Putusan Penundaan Pemilu 2024
Tak hanya itu, ia juga menyoroti bagaimana seharusnya Majelis Hakim telah memeriksa petitum dalam perkara tersebut pada agenda putusan sela terkait dengan kompetensi absolut, sehingga proses peradilan akan perkara itu dinilai tak seharusnya dilanjutkan.
"Walupun tadi sudah disinggung juga soal irisan dengan teknis yudisial, dengan pertimbangan hukum, dan independensi, tapi menurut kita, ini sangat-sangat jauh melenceng. Nah ini kita wajib mencurigai, apakah di sini ada dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku," tuturnya.
Terlebih, kata Saleh, secara mekanisme segala upaya hukum yang ditempuh telah menimbulkan kerugian bagi hak-hak sejumlah pihak apabila terjadi pelanggaran hukum. Pasalnya, Saleh dan pihaknya memandang bahwa proses peradilan tersebut seharusnya diperkarakan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) ataupun Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, bukan Pengadilan Negeri.
Oleh karena, Koalisi Kawal Pemilu Bersih memandang bahwa langkah Majelis Hakim PN Jakpus yang mengabulkan gugatan Partai Prima, tidak berlandaskan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Kami telah berdiskusi dengan Ketua KY dan komisioner, bahwa ini memang perkara serius dan seharusnya menjadi prioritas KY, dan tadi sudah disampaikan bahwa kalau dibutuhkan, ini akan segera diperiksa dengan pemeriksaan bersama MA," kata Saleh dalam kesempatan tersebut.
"Kami berharap, ini juga bisa dilakukan, agar perdebatan tentang teknis yudisial tadi bisa teratasi, karena ini sangat jauh melenceng. Sebagai negara demokrasi yang kita [melaksanakan] Pemilu lima tahun sekali, sebuah azas, sebuah kewajiban digagalkan oleh satu putusan Pengadilan Negeri, menurut kita harus tindak secara serius oleh KY," sambungnya.
Untuk diketahui, pada Kamis (2/3) lalu, PN Jakpus telah mengabulkan gugatan perdata yang diajukan oleh Partai Prima terhadap KPU. Perkara ini diregister dengan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst. Dengan demikian, Majelis Hakim memutuskan untuk menghukum tergugat yang dalam hal ini adalah KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan diucapkan. KPU juga diminta untuk melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.