Jakarta, Gatra.com - Asisten Ombudsman RI Bellinda W. Dewanty mengungkapkan bahwa pihaknya menilai, ada bentuk maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Menurut Ombudsman, ada celah dalam pelayanan tersebut yang perlu mendapatkan pengawasan lebih lanjut.
Salah satu potensi maladministrasi itu terdapat pada adanya pemberian kuota layanan fasilitas kesehatan. Di mana, Bellinda meyakini bahwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI maupun BPJS tidak pernah menerapkan pembatasan pelayanan kepada pasien BPJS.
Kuota layanan yang Ombudsman pandang sebagai salah satu potensi maladministrasi merupakan praktik pembatasan pelayanan kepada pasien BPJS di lapangan yang seharusnya tidak pernah ada.
"Ombudsman melihat bahwa ada penerapan-penerapan yang kemudian di luar dari ketentuan. Nah, kenapa bisa di luar ketentuan? Karena kalau kita lihat, adanya suatu praktik-praktik yang tidak sesuai dengan standarisasi," ujar Bellinda dalam acara diskusi virtual, Selasa (28/2).
"Standarisasi di sini, Ombudsman melihat bahwa undang-undang yang digunakan adalah Undang-undang [tentang] pelayanan publik," lanjutnya.
Baca Juga: Kelas 1,2 dan 3 BPJS Kesehatan Dihapus, Legislator: Penerapan KRIS Butuh Kajian Mendalam
Bellinda mengatakan, praktik pembatasan kuota layanan itu terjadi akibat tidak adanya standarisasi maupun regulasi tertentu, yang mengatur seperti apa pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit tipe tertentu kepada pasien tertentu pula. Hal itu termasuk jumlah pasien yang dapat dilayani ataupun mekanisme pelayanan pasien.
"Inilah, karena tidak ada standarisasi, kemudian manajemen rumah sakit menerapkan porsi supaya semua bisa terlayani dengan pembagian-pembagian yang menurut kami perlu dilakukan pengawasan lebih lanjut, melalui Kementerian Kesehatan maupun Dinas Kesehatan pada masing-masing Kabupaten/Kota," katanya.
Bellinda mengatakan, adanya pemberlakuan kuota layanan tersebut juga dapat mengakibatkan terjadinya diskriminasi dalam pemberian layanan pada pasien BPJS Kesehatan. Hal itu disebabkan oleh adanya keterbatasan akan kemampuan maupun jumlah dokter, keterbatasan kemampuan serta ketersediaan ruangan dan alat medis, ataupun perbedaan pembiayaan bagi fasilitas kesehatan.
Bellinda juga menyebut, faktor-faktor potensi maladministrasi itu berangkat dari adanya pengabaian kewajiban hukum dan penyimpangan prosedur yang dilakukan Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS).
Dalam pandangan Ombudsman, BPRS seharusnya melakukan audit secara internal dan masif untuk memastikan penyelenggaraan pelayanan publik pada masing-masing fasilitas kesehatan maupun Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) dapat berjalan dengan maksimal.
"Tetapi, masih kami temukan tidak semua provinsi memiliki BPRS. Otomatis, jika tidak memiliki BPRS sesuai dengan ketentuan, maka fungsi pengawasan, pemeriksaan, evaluasi harus dimaksimalkan oleh Dinas Kesehatan yang ada di Kabupaten/Kota, termasuk juga dari Sudin-sudin (Suku Dinas) yang ada di Kabupaten/Kota," jelasnya.
Bellinda juga menyoroti potensi maladministrasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan publik yang ada di FKRTL maupun Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Potensi maladministrasi di tingkat pelayanan publik tersebut berkaitan dengan keterbukaan informasi publik.
"Akses informasi yang tidak terdistribusi di seluruh FKTP ataupun FKRTL di Indonesia sehingga seringkali masyarakat di daerah bagian tertentu menerima informasi secara tidak utuh," kata Bellinda.
Ia menyoroti, bagaimana ketidakutuhan informasi tersebut bisa jadi berkaitan dengan pedoman merujuk suatu rumah sakit, pedoman akses informasi secara terbuka dan transparan, atau bahkan pedoman mencari tahu dokter yang dapat memberikan pelayanan secara spesialisasi.
"Bagaimana kemudian mereka mengakses informasi secara terbuka dan transparan dengan tidak adanya keterbukaan informasi publik?" ujar Bellinda.