Jakarta, Gatra.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan gugatan uji materi terhadap pasal yang mengatur batas masa jabatan presiden dua periode. Gugatan tersebut diajukan oleh seorang guru honorer asal Riau, Herifuddin Daulay.
Sebelumnya, Daulay mengajukan gugatan terhadap Pasal 169 huruf n, Pasal 227 huruf i, dan Pasal 222 pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Anwar Usman saat membacakan amar putusan di MK, Jakarta Pusat, Selasa (28/2).
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyebut pemohon mengajukan dalil lain selain pokok permohonan yang diajukan. Dalil tersebut dianggap tidak jelas dan tidak memiliki benang merah dengan petitum pemohon sehingga dikesampingkan.
MK juga menilai permohonan ini tidak jauh berbeda dengan Putusan MK Nomor 117/PUU-XX/2022. MK menyatakan tidak atau belum memiliki alasan yang kuat untuk mengubah pendiriannya.
Baca Juga: Isu Tiga Periode Merebak, Relawan Jokowi Ulin: Tidak Ada Perpanjangan Masa Jabatan Presiden
"Oleh karena itu, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022 mutatis mutandis berlaku menjadi pertimbangan hukum dalam putusan a quo," ujar Anwar. "Artinya, norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 adalah konstitusional."
Sebelumnya, Daulay menggugat UU Nomor 7 Tahun 2017, khususnya Pasal 169 huruf n, Pasal 227 huruf i, dan Pasal 222. Ia menguji soal syarat presiden/wakil presiden hanya bisa menjabat maksimum dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
Herifuddin mengaku merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya akibat berlakunya norma Pasal 7 UUD 1945 mengenai adanya pembatasan pribadi jabatan Presiden, yang hanya boleh mendaftar dan atau terpilih untuk 2 (dua) kali masa jabatan.
"Setelah menimbang dan mempelajari keuntungan dan kerugian adanya pembatasan jabatan presiden, pemohon berkesimpulan bahwa lebih besar mudarat ketimbang manfaat dari adanya aturan pembatasan jabatan presiden," kata Herifuddin dalam gugatan yang teregister di MK sebagai perkara nomor 4/PUUXXI/2023 itu, dikutip Selasa (28/2).