Jakarta, Gatra.com - Penerapan lima poin konsensus negara ASEAN atas kasus di Myanmar harus direalisasikan secara serius. Program Manager Initiative for International Dialogue (IID), Safina Maulida mengatakan bahwa lima poin konsensus yang ada belum mampu menyelesaikan masalah di Myanmar.
"Kekerasan yang terjadi di Rohingya dan sipil Myanmar adalah bentuk kegagalan ASEAN dan komunitas internasional dalam menanggapi krisis yang terjadi. Perilaku negara ASEAN juga menyiratkan kebijakan non-intervensi tidak mampu bekerja secara baik dan hasilnya adalah konsensus yang tidak berfungsi sampai hari ini," ujarnya dalam "Media Briefing: Current Situation of The Attempted Coup and Rohingya in Myanmar" di Jakarta, Jumat (24/2).
Baca juga: Dua Tahun Junta Militer di Myanmar, Situasi Memburuk
Seperti diketahui, sejak 2021 lalu, negara-negara di ASEAN telah menyepakati lima poin konsensus untuk mengatasi permasalahan di Myanmar. Isi lima poin konsensus yakni pertama, kekerasan harus segera dihentikan di Myanmar dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya; kedua, dialog konstruktif antara semua pihak terkait harus dimulai untuk mencari solusi damai bagi kepentingan rakyat.
Ketiga, utusan khusus Ketua ASEAN akan memfasilitasi mediasi proses dialog; keempat, ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan; kelima, utusan khusus dan delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak terkait.
Ia mengkritik kelima poin konsensus yang disepakati tidak bekerjasama sekali. Pihak junta militer terus melakukan serangan terhadap masyarakat sipil, termasuk terus memenjarakan tahanan politik.
Selain itu, di dalam lima poin konsensus, secara spesifik penanganan atas kasus Rohingya juga tidak dijelaskan. Safina mengatakan bahwa seharusnya itu bisa diakomodir dan pencarian solusi turut dilaksanakan.
"Ini harus bisa mendorong ASEAN dan Indonesia untuk segera membenahi kerja-kerja mereka agar kegagalan berhenti sampai hari ini saja," lanjutnya.
Baca juga: Indonesia Ketua ASEAN 2023 Diminta Bersikap Tegas Atasi Kasus Myanmar
Adanya penolakan keras dari masyarakat sipil menunjukkan kegagalan kudeta junta militer. Selain itu, data menunjukkan bahwa junta militer hanya menguasai 17% wilayah, sementara masyarakat sipil mampu memegang kendali atas 52% wilayah.
Namun, pergerakan masyarakat sipil belum mampu membuat junta militer berhenti. Untuk itu, diperlukan peran dari negara ASEAN dalam upaya menyelesaikan persoalan ini.
"Pembangkamgan sipil sampai saat ini masih terjadi di Myanmar. Ini menunjukkan resistensi orang-orang. Sebagai negara tetangga, kita tidak cukup berdiam diri saja. Kita harus mengadvokasi krisis kemanusiaan di Myanmar. Kita bersama juga perlu mendorong regional action plan untuk bisa mengakhiri kekerasan di Myanmar," jelasnya.
Sementara itu, Koordinator Alternative ASEAN Network on Burma (ALTSEAN-Burma), Debbie Stothard mengatakan bahwa salah satu poin konsensus yang menyatakan untuk membuka dialog dengan seluruh pihak harus melibatkan gerakan masyarakat sipil. Selain itu, keterlibatan tahanan politik sebagai pemerintahan sebelum kudeta juga harus bisa diakomodir.
"Indonesia harus mengobrol dengan gerakan masyarakat, bagaimana caranya junta juga mau membuka komunikasi dengan mereka. Selama ini, junta gagal memenuhi lima poin konsensus dan justru melanggarnya," katanya.
Keterlibatan Indonesia sebagai Ketua ASEAN harus mampu membuat lima konsensus bisa terwujud. Untuk itu, diperlukan ketegasan dalam mengakomodir seluruh pihak dalam penyelesaian masalah ini.
Baca juga: Junta Myanmar Izinkan Warga Sipil Miliki Senjata Berlisensi
Seperti diketahui, kudeta junta militer telah terjadi selama dua tahun sejak dimulai pada 1 Februari 2021 lalu. Sejak saat itu, konflik bersenjata antara masyarakat sipil dengan militer terus terjadi dan memakan korban.
Hingga saat ini, junta militer masih berkuasa meskipun terus mendapat penolakan dari masyarakat sipil. Indonesia sebagai Ketua ASEAN diharapkan mampu segera menyelesaikan persoalan ini, mengingat pelaksanaan pemilihan umum oleh junta militer untuk melegitimasi kekuasaannya akan digelar pada Agustus mendatang.