Jakarta, Gatra.com - Kasus pengungsi yang datang ke Indonesia sudah berlangsung sejal 2009 lalu. Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna mengatakan bahwa potensi kedatangan pengungsi ke Indonesia masih terus akan berlanjut, sehingga diperlukan aturan jelas yang mengaturnya.
"Ada banyak kekosongan masalah dalam penanganan pengungsi luar negeri (PPLN), terutama dari Rohingya. Di Aceh, belum ada satuan tugas (satgas) PPLN, tidak terjadi penanganan yang efisien. Selalu seperti pertama kali menangani, padahal sudah 26 kali gelombang pengungsi sejak 2009," ujarnya dalam "Media Briefing: Current Situation of The Attempted Coup and Rohingya in Myanmar" di Jakarta, Jumat (24/2).
Menurut Husna, di Aceh, saat ini terdapat 537 pengungsi Rohingya yang tersebar di tiga titik, yakni Aceh Besar, Pidi, serta Lhok Sumawe. Terakhir, pada Kamis (16/2) lalu, pengungsi Rohingya kembali datang ke Aceh dan 1/3 diantaranya merupakan anak-anak.
Husna mengatakan bahwa hak-hak pengungsi sebagai manusia tidak bisa terpenuhi seluruhnya. Para pengungsi ditampung di tempat pengungsian, namun tidak bisa kemana-mana maupun melakukan pekerjaan atau mendapat pendidikan formal.
Baca Juga: Pengungsi Rohingya Terdampar, SUAKA: Tidak Ada Pendanaan dari Pemerintah
Husna mendorong pemerintah untuk segera menyusun aturan turunan dari Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri, salah satunya melalu Peraturan Daerah. Sebab, masih banyak celah kosong yang justru bisa merugikan pengungsi maupun masyarakat sendiri.
“Perpres Nomor 125 itu belum cukup untuk penanganan pengungsi. Isinya masih terlalu umum dan belum menjawab semua permasalahan di lapangan,” katanya.
Husna menuturkan bahwa pihaknya telah mengusulkan draft aturan daerah mengenai hal ini. Terlebih, situasi saat ini menunjukkan mulai adanya penolakan dari masyarakat terhadap pengungsi. Padahal, pengungsi telah mengalami masa berat dan harus segera ditolong.
"Harus ada emergency respons. Dalam draft aturan yang kami usulkan, salah satunya terkait penemuan, siapa yang akan bertanggungjawab jika ada penemuan pengungsi di laut. Ini untuk meminimalisir kriminalisasi kepada nelayan yang biasanya pertama menemukan perahu pengungsi di laut," terangnya.
Baca Juga: Selamatkan Pengungsi Rohingnya, Langkah Indonesia Dipuji AS
Husna menegaskan sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat sekitar terkait siapa pengungsi dan apa yang harus dilakukan sangat diperlukan. Ini akan berdampak pada penerimaan masyarakat terhadap pengungsi itu sendiri.
Husna juga menerangkan bahwa pertanggung jawaban tempat penampungan bagi pengungsi di Aceh harus jelas. Pemerintah daerah tidak lagi saling menuding dan melempar tanggung jawab, melainkan telah diatur sesuai dengan wewenang masing-masing.
"Contoh kasus terakhir, pengungsi di kantor camat, kemudian dioper ke kantor bupati. Mereka terombang-ambing ke tempat penampungan. Aturan ini juga terkait anggaran sehingga tidak ada masalah bagaimana pengelolaannya. Perlu transparansi dalam penanganan pengungsi," lanjutnya.
Husna mengaku bahwa saat ini, draft yang sudah disiapkan masih belum ditindaklanjuti pemerintah daerah. Untuk itu, ia mendorong seluruh pihak segera melakukan review terhadap aturan yang diusulkan, sehingga bisa segera diterapkan.
"Begitu tidak ada aturan, bisa masuk kejahatan. Peraturan menjamin hak asasi manusia. Untuk banyak kasus yang melingkupi PPLN, kita berharap semoga Kemenkopolhukam segera mendesak pemerintah Aceh membentuk Satgas PPLN. Kita perlu satu pegangan, satu kesepahaman dalam PPLN," katanya.