Jakarta, Gatra.com - Upaya Junta Militer di Myanmar telah berlangsung selama dua tahun sejak kudeta pada 1 Februari 2021 lalu. Aktivis Rohingya sekaligus Chair of the Board Alternative ASEAN Network on Burma (ALTSEAN-Burma) Yasmin Ullah menggambarkan kondisi di Myanmar yang semakin memburuk.
"Serangan militer terus meningkat. Orang-orang semakin ditekan, organisasi kemanusiaan sulit mendapat akses ke gerakan masyarakat. Orang Rohingya bahkan digunakan sebagai 'tameng' oleh militer untuk mengatasi perlawanan masyarakat," ujarnya dalam "Media Briefing: Current Situation of The Attempted Coup and Rohingya in Myanmar" di Jakarta, Jumat (24/2).
Junta militer telah berkuasa selama dua tahun usai melakukan kudeta pemerintahan sipil. Namun, masyarakat menolak kepemimpinannya dan terus melakukan perlawanan melalui civil disobedience movement (CDM) dan Komite Pemogokan Umum atau General Strike Committees yang berperan utama dalam protes nasional.
Yasmin menuturkan bahwa banyak masyarakat sipil Rohingya yang ditahan hanya karena ia Rohingya. Bahkan, pada Desember tahun lalu, 37 perempuan Rohingya dibebaskan dari penjara setelah dua tahun ditahan. Tahanan termuda yang dibebaskan baru berumur empat tahun.
Baca Juga: Indonesia Ketua ASEAN 2023, Penuntasan Krisis Myanmar Jadi Agenda
"Dia pas dipenjara baru berusia dua tahun, kenapa anak dua tahun dipenjara? Kenapa? Inilah realitasnya," katanya.
Yasmin mengatakan adanya tekanan kepada masyarakat sipil, khususnya Rohingya, semakin intens sejak junta militer. Hal ini membuat masyarakat Rohingya memutuskan untuk keluar dari negaranya dan mengungsi.
Senada, Debbie Stothard, Koordinator ALTSEAN-Burma, menjelaskan terdapat pembatasan mobilitas bagi masyarakat sipil di Myanmar, khususnya bagi masyarakat Rohingya. Bahkan, sejak awal tahun, ia mengatakan kantor paspor ditutup sehingga masyarakat tidak bisa membuat paspor baru, atau mengurus paspor untuk kebutuhan masing-masing.
"Pembatasan ini sangat berbahaya bagi tenaga kesehatan, siswa yang akan ke luar negeri, serta masyarakat secara umum. Mereka tidak bisa pergi secara legal," katanya.
Baca Juga: Junta Myanmar Izinkan Warga Sipil Miliki Senjata Berlisensi
Debbie juga menuturkan adanya konflik bersenjata antara pasukan militer dan masyarakat sipil untuk mempertahankan wilayah. Bahkan, junta menargetkan guru dan tenaga kesehatan yang dianggap dekat dengan CDM. Ia menangkap dan membunuh beberapa dari mereka dalam tahanan.
Masyarakat sipil kemudian membentuk Pasukan Pertahanan Rakyat yang bekerja sama dengan Organisasi Perlawanan Etnis untuk melindungi masyarakat sipil dari militer. Menurut catatan Debbie, terdapat konflik yang meningkat sepanjang Februari 2022 hingga Januari 2023 dengan total 10.721 serangan antar kedua pasukan.
Perlawanan antara masyarakat sipil dengan junta memang terus terjadi. Hingga Juni 2022, junta hanya memiliki kendali atas 17% wilayah, sedangkan pasukan perlawanan memperoleh kendali efektif hingga 52% wilayah.
Namun, Debbie menyebutkan bahwa perlawanan di media sosial juga menjadi salah satu yang utama dilakukan. Masyarakat sipil terus mengupdate apa yang terjadi di Myanmar, sehingga informasi bisa menyebar. "Masyarakat sangat berusaha mencari jaringan internet, bahkan saat melakukan aksi. Orang-orang berupaya agar seluruh dunia tahu," pungkasnya.