Jakarta, Gatra.com – Kaprodi DIV Mice Fakultas Pariwisata, Universitas Pancasila (UP), I Made Adhi Gunadi, menilai penghancuran rumah singgah Bung Karno atau Rumah Emak Idham di Padang, Sumatera Barat (Barat) bukan hanya merugikan sejarah, tetapi juga pariwisata.
“Sebenarnya menarik dari sisi wisata sejarah, apalagi ini termasuk sejarah Bung Karno. Tapi mungkin di situ ada dua problem,” kata Made di UP, Jakarta, Rabu (22/2).
Pertama, di satu sisi wisata sejarah ini menarik tetapi bukan jadi wisata yang disukai banyak orang, atau hanya orang-orang tertentu yang berminat pada wisata tersebut.
“Di sisi lain, ada bangunan bersejarah yang kurang tersosialiasi bahwa itu mempunyai sejarah tinggi, termasuk pemilik rumahnya sendiri. Mungkin kurang sosialiasi atau bagaimana itu terjadi,” ucapnya.
Menurutnya, persoalan soal edukasi sejarah ini, termasuk bangunan-bagunan yang mempunyai nilai sejarah, harus disosialiaiskan oleh pihak-pihak terkait, termasuk pemerhati sejarah.
“Jadi harus diselesaikan bersama, dinas harus menyosialiasikan bahwa ini mempunyai nilai sejarah,” katanya.
Begitupun dengan para ahli sejarah atau orang-orang yang mengetahui bangunan rumah Emak Idham tersebut mempunyai nilai sejarah yang sangat penting dan merupakan cagar budaya kepada publik. Dengan demikian, orang yang berwisata bukan hanya melihat bangunan tetapi sejarah dan nilai di belakangnya.
“Ini yang sekarang orang sering tidak tahu. Jadi wisatawan hanya melihat itu, contohnya melihat candi. Candi cuman bangunan lama, tetapi mereka kurang peduli sejarahnya,” ujar dia.
Menurutnya, ini salah satu kelemahan kita, kenapa akhirnya wisata sejarah ini peminatnya masih relatif sedikit, termasuk masih rendahnya antusiasme di kalangan turis domestik.
“Jadi banyak pembelajaran bagi kita sebagai akademisi, pengelola, masyarakat juga perlu meningkatkan pemahaman nilai sejarah biar orang lebih peduli,” katanya.
Ia mengungkapkan, di beberapa daerah sudah ada komunitas historia atau penyuka sejarah yang mulai bergerak untuk menyosialisasikan sejarah, misalnya di Bogor dan Jakarta.
“Mungkin di Padang belum ada. Nanti ketika komunitas itu ada, itu akan membantu usaha wisata sejarah lebih berkembang,” ujarnya.
Persoalan kedua, lanjut Made, yakni soal kepemilikan bangunan. Banyak bangunan yang menjadi cagar budaya, namun milik masyarakat sehingga pemerintah tidak bisa memaksa pemilik untuk tetap menjaga agar bangunan itu tidak diubah.
“Idealnya memang harus dibeli pemerintah, tapi mungkin kita pernah dengar anggaran pemerintah terbatas, apalagi pemda. Bangunan-bangunan itu letaknya di wilayah strategis sehingga secara nilai mungkin harganya cukup mahal,” katanya.
Karena mempunyai keterbatasan anggaran atau faktor lainnya, lanjut Made, pemerintah hanya memberikan tanda bahwa bangunan itu merupakan cagar budaya atau memiliki nilai sejarah yang penting.
“Contohnya di Condet juga kayak begitu, bangunan-bangunan bersejarah tapi milik warga, jadi bekas peninggalan Betawi tapi pemerintah enggak bisa ngapa-ngapain karena itu milik warga. Jadi DKI yang [relatif] punya duit pun agak susah untuk membeli lahan itu. Itu problem kita,” katanya.