Jakarta, Gatra.com - Lembaga riset Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengapresiasi putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengakui status Bharada E sebagai justice collaborator (JC) dan menjatuhkan pidana paling ringan di antara para pelaku lainnya, yakni 1,5 tahun penjara, pada pembacaan vonis Rabu (15/02) kemarin.
"Majelis hakim juga sepakat dengan argumen-argumen yang disampaikan dalam amicus curiae oleh ICJR dan kelompok masyarakat sipil lainnya untuk memberikan penghargaan berupa penjatuhan hukuman paling ringan di antara pelaku lainnya," ujar Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu, Kamis (16/02).
Apresiasi ICJR juga diberikan kepada jaksa penuntut umum dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang telah memperlakukan Bharada E sebagai JC dan memberikan berbagai perlakuan khusus dan perlindungan selama proses peradilan.
Baca Juga: Wamenkumham Tepis Isu Penyusunan Pidana Mati dalam KUHP Baru Disiapkan untuk Perkara Ferdy Sambo
Walaupun masih belum berkekuatan hukum tetap karena masih dimungkinkan adanya upaya hukum lanjutan, Erasmus berharap peradilan terus konsisten memberikan perlakuan dan perlindungan khusus terhadap Bharada E sebagai JC seperti selama ini.
Erasmus mengatakan putusan dan paradigma ini penting untuk penguatan sistem JC di Indonesia. "Putusan majelis hakim pada kasus Bharada E ini merupakan praktik baik bagaimana pengadilan harusnya memperlakukan JC, dan harapannya juga dapat memotivasi JC-JC yang lain untuk berani membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu tindak pidana," ujarnya.
Namun, ICJR tetap menyayangkan majelis hakim yang memutus Ferdy Sambo dengan pidana mati. Erasmus tetap berharap korban dan keluarga korban mendapatkan pemulihan dan keadilan, namun tetap percaya hukuman mati bukanlah jawaban.
"Tuntutan penjara seumur hidup dari penuntut umum semestinya sudah tepat dibanding vonis pidana mati yang dijatuhkan majelis hakim," kata Erasmus.
Baca Juga: Polri Akan Pertimbangkan Status JC Bharada E Dalam Sidang Etik Polri Nanti
ICJR memandang penggunaan pidana mati bukan menjadi cara yang tepat untuk merespons kejahatan. Sebab, dengan dijatuhkannya hukuman mati, masalah kemudian seolah-olah dianggap selesai. Padahal, kata Erasmus, ada pekerjaan rumah yang lebih penting dan mendasar untuk menyelesaikan akar masalah mengapa kejahatan tersebut masih terjadi, sedangkan fokus perhatian hanya menjadi soal menghukum berat pelaku.
Di sisi lain, aspek pemulihan korban juga dinilai minim. Erasmus menyitir Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1/2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana.
Ketentuan itu menyatakan bahwa dalam hal korban tindak pidana belum mengajukan restitusi atau ganti rugi, maka hakim memberitahukan hak korban tersebut untuk bisa mengajukannya sebelum tuntutan dibacakan oleh jaksa penuntut umum atau setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
Baca Juga: Kejagung Nyatakan Tak akan Banding Vonis Eliezer
"Hal ini sayangnya belum terjadi di ruang sidang, pun belum jelas langkah lanjutan pemulihan korban atau keluarga korban, mekansime pemulihan seperti bantuan psikososial bagi keluarga korban baiknya dapat mulai diinisiasi oleh LPSK atau institusi berwenang lainnya," terang Erasmus.
Untuk itu, ICJR merekomendasikan tiga hal: Pertama, memperkuat mekanisme perlindungan hak korban dan saksi termasuk saksi pelaku yang bekerja sama. Kedua, memperkuat mekanisme pemulihan korban dan keluarga korban terdampak tindak pidana.
"Ketiga, evaluasi dan reformasi di tubuh kepolisian merespons persoalan pengawasan dan pembenahan internal dari budaya kekerasan yang mungkin belum banyak terungkap ke publik," tutup Erasmus.