Jakarta, Gatra.com – Film horor “Mantra Surugana” besutan sutradara Dyan Sunu Prastowo dari Peregrine Studios terinspirasi atau diangkat dari budaya Sunda buhun alias kuno. Ini diperoleh dari naskah-naskah zaman dahulu yang masih terdokumentasikan.
Ahli Aksara Sunda Kuno atau Ahli Filologi, Ilham Nurwansyah, dalam konferensi pers peluncuran film “Mantra Surugana” menjelaskan, pada zaman dahulu, orang Sunda sudah menggunakan mantra-mantra. “Mantra itu ada di dalam dunia masyarakat Sunda pada zaman dahulu,” ujarnya.
Mantra-mantra tersebut, lanjut dia, di antaranya ditulis di daun lontar, termasuk dalam sejumlah prasasti yang juga memuat tradisi kala itu. Prasasti yang masih bisa ditemui, di antaranya Prasasti Batutulis di Bogor, Prasasti Huludayeuh di Cirebon, dan Prasasti Kawali, Ciamis.
Baca Juga: Sinopsis Film Horor Mengerikan “Mantra Surugana”
“Ketiganya punya sejarah masing-masing yang cukup panjang. Zaman Sunda kuno atau zaman Pasundan Padjadjaran, ada Kerajaan Pakuan Pajajaran itu karena ada prasastinya,” kata dia.
Ia menjelaskan, prasasti ada yang sifatnya sangkakala atau sebagai monumen peringatan. Untuk mendirikan munumen peringatan itu, tentu ada sebuah upacara dan dalam upacara itu pasti ada mantranya.
“Mantra-mantra pada masa lalu menggunakan bahasa yang sesuai dengan zamannya. Mantra-mantra Sunda kuno bercampur dengan kebudayaan Hindu, Budha, dan kepercayaan pada waktu itu,” ujar Ilham.
Selain prasasti, ada juga sejumlah naskah Sunda kuno yang juga memakai bahasa Sunda buhun atau kuno. Dalam suatu naskah terdapat kata Surugana yang saat ini diangkat menjadi film.
“Kita tidak mengada-ada, mengadaptasi dari naskah-naskah Sunda kuno. Jadi base-nya ada, core-nya ada, kita punya data untuk mengakat tema ini dari sejarah dan kebudayaan yang ada,” kata Ilham.
Lantas dari mana Surugana ini muncul, Ilham mengatakan, itu dari suatu naskah Sunda kuno yang memuat deretan nama raja Sunda dari masa ke masa pada saat itu. Dalam naskah tersebut menceritakan proses pendirian keraton.
“Ada sebuah adegan di situ, disebutkan bahwa untuk mendirikan sebuah keraton itu ada proses menguruk Rancamaya. Rancamanya sekarang masih ada, itu dahulunya kawasan Kerajaan Padjadjaran,” katanya.
Di sana terdapat sebuah upacara menguruk kawasan Rancamaya. Dari urugan itu, Ilham mengungkapkan, muncullah makhluk-makhluk jahat, di antaranya Udubasu, Kalabuat, Pulunggana, dan Surugana.
“Ini yang diusir dari situ melalui sebuah upacara dan tentunya menggunakan mantra-mantra. Jadi kita punya data yang cukup kuat sebagai fondasi [film Mantra Surugana],” ujarnya.
Adapun mantra-mantra yang digunakan memakai bahasa Sunda kuno dengan narasi yang disesuaikan untuk keperluan film. “Jadi lebih ke rekonstruksi bahasa, dari bahasa yang digunakan saat ini ke dalam bahasa Sunda kuno,” ucapnya.
Mantra Sunda dipandang sebagai dokumen dan kearifan lokal budaya Sunda. Pengamal mantra atau orang yang mengucapkan dan mengamalkannya menjadi suatu tujuan tertentu, beranggapan bahwa membaca mantra sama dengan membaca doa.
Pada dasarnya, mantra adalah ekspresi doa yang digunakan untuk suatu tujuan baik. Teks-teks Sunda klasik menyiratkan bahwa umumnya mantra digunakan untuk kebaikan, kesejahteraan, kesuburan, dan kedamaian.
Mantra digunakan untuk menolak bala dan mara bahaya dalam upacara ruwatan. Sejak zaman Sunda kuno, laku ruwatan telah dilakukan untuk membersihkan lahan dari pengaruh buruk makhluk-makhluk jahat dan pengganggu. “Tapi ada juga yang menggunakannya untuk tujuan jahat untuk mencelakakan manusia,” katanya.
Seiring berkembangnya kebudayaan Sunda, mantra bertransformasi dalam setiap zaman dan tetap eksis hingga saat ini di tengah masyarakat Sunda. Rajah, jangjawokan, dan asihan adalah sebagian bentuk lain dari ungkapan mantra yang mengikuti konteks penyesuaian zaman dan penggunaannya di masyarakat.
Baca Juga: Valentine, Peregrine Studios Luncurkan Film Horor Mengerikan “Mantra Surugana”
Mantra dalam bentuk ungkapan bahasa, istilah, dan unsur kesakralannya. Namun, selalu ada benang merah yang terbentang dari masa lalu hingga masa kini. Kajian struktur dan makna mantra telah mampu menguak eksistensi dan fungsi mantra dalam upaya mengungkap baik dan buruknya penggunaan mantra.
Mantra layak disikapi secara bijak agar pengamal dan masyarakat awam dapat hidup berdampingan, selaras dan harmonis “Mantra menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Sunda,” ujarnya.
Naskah-naskah Sunda buhun ‘kuno’ termasuk salah satu unsur budaya yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang melahirkan dan mendukungnya, yang tertulis pada daun gebang, lontar, gebang, bilahan bambu, dan kulit kayu (daluang). Secara umum isinya mengungkapkan peristiwa masa lampau yang menyiratkan aspek kehidupan masyarakat, terutama sosial dan budaya.