Jakarta, Gatra.com - Kepala Center of Food, Energy and Sustainable, Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov menyebut penyaluran subsidi BBM (bahan bakar minyak) dan LPG selama ini tidak tepat sasaran. Banyak kelompok masyarakat mampu ikut menikmati subsidi pemerintah.
"Ini tidak terbantahkan," ujar Abra dalam diskusi publik Indef secara virtual, Selasa (14/2).
Abra menjelaskan, fakta itu terbukti dari data tahun 2022 di mana saat pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM terjadi peralihan konsumen BBM nonsubsidi ke BBM subsidi. Volume penjualan BBM nonsubsidi (pertamax) mengalami tren penurunan dari 49,94 juta kiloliter menjadi 26,22 juta kiloliter. Di sisi lain volume penjualan pertalite justru meningkat tajam dari 10,42 juta kiloliter menjadi 27,79 juta kiloliter.
Fenomena peralihan konsumen ke produk subsidi juga terjadi pada LPG 3 kilogram. Disparitas harga yang sangat tinggi antara subsidi dan nonsubsidi mencapai Rp14.250 per kilogram atau 77% dari harga keekonomian membuat jumlah konsumen LPG subsidi terus meningkat pesat.
"Karena pemerintah tidak punya instrumen melakukan pembatasan (penjualan BBM subsidi)," kata Abra.
Menurutnya, pembatasan penjualan BBM bersubsidi pada pertalite dan solar harus dilakukan. Bila tidak dibatasi, kata Abra dikhawatirkan peralihan konsumen ke BBM bersubsidi akan terus berlanjut pada tahun ini dan tahun-tahun mendatang.
Hal itu berpotensi terjadi penambahan kuota BBM dan LPG subsidi seperti yang terjadi di tahun 2022 lalu. Diketahui, pada tahun 2022 kuota subsidi solar naik 12,88% dan pertalite naik 27,8%.
Abra menjelaskan, berdasarkan skenario yang dilakukan Indef menunjukkan bila kuota BBM subsidi solar dan pertalite tahun 2023 jebol sebesar yang terjadi pada tahun lalu, maka diperkirakan anggaran tambahan subsidi dan kompensasi yang harus dikeluarkan pemerintah tahun ini mencapai Rp51,9 triliun. Angka itu setara defisit APBN sebesar 3,09% terhadap PDB. Padahal pemerintah menargetkan defisit APBN tahun ini di bawah 3%.
"Ini semata-mata menjadi alarm kita bersama, lonjakan kuota BBM subsidi belum tentu APBN kita bisa memadai untuk meredam defisit," ucapnya.
Upaya pembatasan penjualan pertalite dan solar melalui revisi Perpres 191 tahun 2014 dianggap Abra bukan menjadi kunci meredam potensi lonjakan kuota BBM subsidi tahun ini. Ia menekankan pemerintah harus melakukan langkah yang lebih fundamental untuk mereformasi kebijakan subsidi energi.
"Salah satunya dengan mengubah mekanisme terbuka menjadi subsidi dengan mekanisme targeted atau tertutup," imbuh Abra.