Home Info Sawit Masuk 'Gelanggang' Usai Beberes

Masuk 'Gelanggang' Usai Beberes

Jakarta, Gatra.com – Tiga tahun belakangan menjadi pertaruhan bagi Holding Perkebunan Nusantara untuk mendapatkan kepercayaan lebih dari pemegang saham. Dan, pertaruhan itu rupanya berujung mulus.

Ini tidak terlepas dari usaha manajemen yang dikomandani oleh Mohammad Abdul Ghani mendongkrak performa dan kondisi keuangan Holding.

Maklum, pada 2019, meski revenue perusahaan berada di kisaran angka Rp34 triliun, tapi Bottom Line nya justru minus di angka Rp2,5 triliun.

“Namun, pada 2021, revenue kita naik dari Rp34 triliun menjadi Rp53 triliun. Yang luar biasanya lagi, Bottom Line kita meroket ke angka Rp4,6 triliun dari minus Rp2,5 triliun tadi,” cerita Direktur Pemasaran Holding PTPN, Dwi Sutoro kepada Gatra.com dalam bincang-bincang melalui fasilitas zoom, Rabu pekan lalu.

Pada tahun ketiga, persisnya 2022, layaknya perusahaan lain, ujar Dwi, Holding PTPN mendapatkan tantangan yang luar biasa; larangan ekspor.

Direktur Pemasaran Holding PTPN, Dwi Sutoro (lima dari kiri) saat berkunjung ke fasilitas tanki storage CPO yang dikelola oleh PTPN 6 di Talang Duku, Jambi. Foto: (GATRA/Ist)

Tak ayal, larangan ekspor itu membuat semua perusahaan gelagapan. Soalnya, produksi minyak sawit nasional mencapai 50 juta ton, sementara kebutuhan dalam negeri hanya sekitar 18-20 juta ton. Ini berarti, 32 juta ton lagi harus diekspor.

Baca juga: Menanti 'Tiket' di Hari Valentine

Tapi lantaran tak bisa diekspor, minyak sawit sebanyak itu akhirnya menumpuk di tangka-tangki timbun, tak bisa jadi duit.

“Alhamdulillah, walau kondisi saat itu “menyeramkan”, tetapi kita masih bisa survive dan bahkan bisa menaikkan revenue dari Rp53 triliun menjadi Rp56 triliun. Bottom Line kita malah naik lagi menjadi Rp5,5 tirliun,” kata Dwi sumringah.

Peningkatan itu kata Sarjana Teknik Kimia Institut Tekonologi Bandung (ITB) ini, tidak lepas dari peningkatan produksi minyak sawit Holding PTPN.

Semula produksi minyak sawit Holding PTPN hanya berada pada kisaran 2,3 juta ton, lalu meningkat menjadi 2,6 juta ton.

Produktivitas ini tidak lepas pula dari upaya perusahaan untuk selalu melakukan benchmarking di sejumlah kebun.

Dwi mencontohkan PTPN III dan PTPN V. Kondisinya sekarang sudah comparable dan malah lebih baik dari sederet benchmark perusahaan swasta yang selama ini produktivitasnya disebut-sebut. Produktivitas PTPN III dan PTPN V sudah mencapai 6 ton CPO per hektar per tahun.

Dwi mengakui, secara global rata-rata produktivitas CPO per hektar perusahaan masih di bawah produktivitas perusahaan yang jadi benchmark di Indonesia; di angka 5 ton.

Itu terjadi lantaran masih banyak opportunity di Kalimantan dan Sulawesi dengan produktivitas yang masih di angka 3,5 ton CPO per hektar per tahun.

Challenge dan opportunity masih banyak. Namun, kondisi tadi menjadi signal kepada kita bahwa apa yang kita lakukan dalam dua tahun terakhir adalah on the right track,” ujar Dwi.

Pencapaian ini pun membuat pemerintah – sebagai pemegang saham penuh Holding PTPN – memberikan kepercayaan tinggi kepada. Perusahaan yang menaungi sekitar 600 ribu hektar perkebunan kelapa sawit ini pun kini merambah industri hilir.

Dan oleh pencapaian dan kepercayaan penuh dari pemerintah itu pulalah yang membuat Holding PTPN memutuskan untuk berpartisipasi lebih di Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Patut dicatat, PTPN merupakan salah satu pendiri GAPKI pada 27 Februari 1981.

Kata Dwi, sudah sepantasnya jika kini PTPN ingin kembali ke rumah yang didirikannya. Dan, bersama pengusaha lain di bidang kelapa sawit yang tergabung ke dalam GAPKI, PTPN pun ingin membesarkan organisasi itu.

PTPN juga ingin menjadi bagian dari komunitas kelapa sawit di Indonesia dan dunia. Terlebih lagi, Indonesia adalah penghasil 70 persen minyak sawit dunia.

“Sewindu terakhir, PTPN memang enggak begitu greget di GAPKI, meski PTPN adalah pendiri. Itu lantaran kita memang sedang fokus untuk Going Consent Continuity Sustainability dari Company. Kami benar-benar sedang fokus melakukan perbaikan ke dalam,” ujar Dwi.

Secara kuantitas, keberadaan PTPN hanya sekitar delapan persen dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Namun, dengan melakukan perbaikan sistem, bisnis, dan tata kelola, suka tidak suka, ujar Dwi, PTPN kini sudah mewarnai industri sawit di Indonesia.

“Apa yang kita lakukan tiga tahun terakhir, enggak hanya soal perbaikan financial performa, tetapi juga operational indicator. Memang belum sempurna. Namun, yang terjadi pada tiga tahun terakhir, mendapatkan apresiasi dari pemerintah sebagai pemegang saham PTPN,” tutur Dwi. 

Menurut Dwi, bicara sawit tentu tak bisa lepas dari percaturan edible oil yang ada di dunia. Competitiveness semua produk sawit tidak melulu dibandingkan dengan sawit, tetapi harus dibandingkan dengan edible oil lain yang nantinya diturunkan menjadi bahan makanan maupun energi.

“GAPKI harus memainkan peran ini untuk ke depan terus dikembangkan,” ujarnya.


Abdul Aziz

347