Yangon, Gatra.com - Myanmar yang kini dikuasai militer akan mengizinkan warga sipil dapat mengajukan izin membawa senjata api, dengan syarat bahwa warga tersebut dianggap “setia kepada negara”.
Menurut laporan media dan dokumen pemerintah yang belum diverifikasi, dikutip Reuters, Minggu (12/2). mengungkapkan adanya dokumen yang bocor, yang konon berasal dari kementerian dalam negeri, diulas oleh Reuters dan media lainnya.
“Ini menetapkan kriteria bagi mereka yang mencari lisensi senjata,” kata sumber yang mengungkapkan adanya dokumen yang bocor, yang konon berasal dari kementerian dalam negeri, diulas Reuters dan media lainnya.
Baca Juga: Junta Militer Berkuasa, Perdagangan Narkoba Meningkat, Myanmar Jadi Penghasil Opium Terbesar
Para ahli khawatir bahwa mengizinkan warga sipil untuk membawa senjata, akan memberdayakan kelompok pro-junta dan hanya akan meningkatkan kekerasan dan bentrokan hampir setiap hari antara militer, dan pasukan perlawanan bersenjata yang telah berkecamuk di seluruh negeri.
Persyaratan yang tercantum dalam dokumen tersebut termasuk ambang batas usia 18 tahun dan kebutuhan senjata yang dapat dibuktikan, sebagai tujuan keamanan, selain persyaratan loyalitas.
Reuters tidak dapat segera memverifikasi dokumen setebal 15 halaman itu, dan tidak jelas kapan undang-undang tersebut akan berlaku. Panggilan telepon ke juru bicara militer untuk meminta komentar, juga tidak dijawab.
Dokumen tersebut menetapkan anggota badan kontra-pemberontakan, milisi yang dibentuk secara resmi, dan mereka yang pensiun dari militer untuk membawa pistol, senapan, dan senapan mesin ringan selama mereka memiliki izin tersebut.
Dokumen juga menyebut bahwa pemerintah militer akan memiliki hak untuk mengimpor dan menjual senjata api dan amunisi yang dilisensikan oleh kementerian pertahanan.
Baca Juga: Junta Myanmar Perpanjang Keadaan Darurat
Jenderal tertinggi negara Asia Tenggara itu memimpin kudeta pada Februari 2021, setelah lima tahun pembagian kekuasaan yang tegang di bawah sistem politik semi-sipil yang diciptakan oleh militer.
Kelompok pemantau konflik yang berbasis di AS, Acled, mengatakan sekitar 19.000 orang tewas tahun lalu ketika tindakan keras militer terhadap protes, menyebabkan banyak orang mengangkat senjata melawan junta.
Menurut PBB, yang menuduh militer melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, sekitar 1,2 juta orang telah mengungsi akibat perselisihan itu, dan lebih dari 70.000 telah meninggalkan negara itu.