Home Kesehatan Darurat Penguatan Regulasi untuk Transformasi Penelitian Obat dan Alkes

Darurat Penguatan Regulasi untuk Transformasi Penelitian Obat dan Alkes

Jakarta, Gatra.com – Asosiasi Untuk Studi Obat Indonesia (IASMED) menyatakan, pentingnya penguatan regulasi untuk memastikan Indonesia mengejar ketertinggalan dalam ketersediaan obat yang berpotensi menyelamatkan pasien di Indonesia. Saat ini, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Pharmaceutical Research and Manufacturers of America (PhRMA), ada sekitar 9% obat-obatan inovatif yang beredar di Indonesia.

Hal itu menempatkan Indonesia pada peringkat terendah, di bawah Afrika Selatan jika dibandingkan dengan negara G20. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, peringkat Indonesia sama dengan Vietnam, namun tertinggal oleh Filipina, Malaysia, Thailand dan Singapura.

Hal ini menjadi perhatian bersama dalam diskusi panel yang dihadiri oleh perwakilan dari The International Pharmaceutical Manufacturers Group of Indonesia (IPMG), peneliti, Kementerian Kesehatan, dan Badan POM pada Kamis, 9 Februari 2023.

Salah satu penyebab kurangnya obat-obatan inovatif tersebut adalah karena kurang atau tidak adanya uji klinis skala global di Indonesia. Di lain pihak, berdasarkan kertas kebijakan yang diterbitkan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pada 2018 kurangnya uji klinis berdampak pada terhambatnya pertumbuhan industri farmasi nasional.

Padahal industri farmasi termasuk yang terlibat dalam pembuatan vaksin berpotensi untuk mencapai nilai sampai dengan US$125.49 miliar pada 2028 berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Firma Konsultan Manajemen Arthur D. Little.

Perwakilan IASMED dan akademisi Monash University Indonesia, dr. Grace Wangge Ph.D dalam diskusi panel tersebut menyatakan perlunya penguatan terutama terkait regulasi Menteri Kesehatan Nomor 85 tahun 2020. “Peraturan ini mengandung beberapa aspek yang menurut kami dapat disempurnakan agar proses tata kelola perizinan uji klinis lebih baik dan akuntabilitasnya terjaga. Beberapa pasal cukup berpotensi kontraproduktif, salah satunya adalah Pasal 31 ayat 2 dan Pasal 35 yang memperpanjang proses birokrasi dan administratif,” kata dr. Grace.

dr. Grace Wangge Ph.D (Doc. GBPN)

Ia menambahkan, penguatan regulasi diharapkan dapat mendukung cita-cita untuk terciptanya ekosistem riset obat, vaksin dan alat diagnostik yang mumpuni dan dalam jangka panjang akan mendukung kemandirian farmasi di Indonesia. “Kami berharap penguatan regulasi ini dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan pengobatan yang bersifat inovatif dan berpotensi untuk memperbaiki kondisi kesehatan mereka,” tutur Grace.

Selain itu, semakin banyaknya penelitian akan memberikan akses bagi para peneliti terhadap studi global yang mendorong pertukaran pemikiran dan peningkatan kapasitas sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik.

Sementara itu, Direktur Eksekutif IPMG, Inge Kusuma menyarankan adanya solusi komprehensif untuk percepatan adopsi obat-obatan baru yang dapat menyelamatkan hidup pasien, meningkatkan kualitas layanan kesehatan di Indonesia, meningkatkan produktivitas yang berkaitan dengan penyakit, serta menghemat devisa yang ditimbulkan dari orang Indonesia yang bepergian ke luar negeri untuk perawatan medis.

Solusi tersebut antara lain melalui partisipasi Indonesia dalam uji klinis skala global, multi sentra yang memenuhi standar internasional. Rekomendasi tersebut juga mendorong untuk memaksimalkan peran pemerintah sebagai regulator dan pembuat kebijakan untuk memberikan panduan pelaksanaan uji klinis terutama dalam pembuatan perjanjian dengan pihak ketiga, pengawasan dalam pelaksanaan perjanjian, dan diseminasi hasil dari pengawasan tersebut.

Hal tersebut akan memastikan uji klinis akan mendapatkan manfaat yang maksimal dan sesuai dengan regulasi yang berlaku di Indonesia serta standar internasional. Di luar penguatan tersebut, pihak peneliti yang diwakili oleh dr. Nina Dwi Putri, Sp.A (K) juga mendorong adanya kolaborasi antar pemerintah, pihak industri farmasi, peneliti, serta akademisi untuk memastikan iklim penelitian yang kondusif dan maju di Indonesia.

“Hal ini sangat diperlukan karena Indonesia sudah tertinggal kurang lebih sepuluh tahun dari negara tetangga kita di Asia Tenggara. Padahal, di sisi lain, masyarakat kita juga membutuhkan akses obat yang inovatif untuk mengatasi permasalahan kesehatan modern yang kurang lebih sama,” tutup dr. Nina.

271