Jakarta, Gatra.com - Kepedulian dan Solidaritas. Itulah salah satu tema yang ingin dicapai dan digalakkan Insan Bumi Mandiri (IMB) dan Sekolah Highscope Indonesia. Salah satu caranya dengan berbagi cerita inspiratif tentang berbagai kehidupan anak pedalaman, di Sekolah Highscope Indonesia, Jakarta Selatan (6/2). Kegiatan ini adalah salah satu rangkaian dari Highscope’s Charity Event, sebuah program amal yang akan dilakukan oleh siswa-siswi kelas 6, 7, 8, dan 9 Highscope Indonesia.
Lewat kolaborasi dengan Highscope Indonesia ini, Insan Bumi Mandiri ingin cerita anak-anak di daerah pedalaman Indonesia bisa sampai ke kota agar meningkatkan kepedulian dan solidaritas antar sesama. Serupa dengan Insan Bumi Mandiri, Highscope Indonesia juga ingin anak didiknya dapat meningkatkan kesadaran akan masyarakat pedalaman. Mereka ingin anak didiknya sadar, meskipun masih berusia muda, mereka tetap bisa ikut membantu masyarakat di pedalaman.
Selama kegiatan berlangsung, Zulfa Faizah, CEO Insan Bumi Mandiri, menjelaskan persoalan yang dihadapi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) dibalik keindahan alamnya, kepada kurang lebih 150 siswa-siswi yang hadir. Salah satunya masalah pendidikan yang secara fasilitas masih kurang layak. Seperti sebuah sekolah yang berada di Kampung Kewitu, NTT. Dinding-dinding sekolah tersebut hanya terbuat dari anyaman bambu yang kondisinya sudah rusak parah, seng yang menjadi atap sudah penuh karat, dan lantainya hanya beralaskan tanah.
Menurut Zulfa, persoalan pendidikan di NTT tidak hanya soal fasilitas, tetapi juga soal infrastruktur menuju sekolah. "Masih banyak murid-murid yang harus mendayung perahu untuk menuju sekolah. Infrastruktur yang belum memadai memaksa mereka harus berjuang lebih keras untuk meraih mimpi," kata Zulfa dalam rilis kepada Gatra.com (11/2).
Selain bercerita tentang perjuangan anak-anak di NTT, Zulfa juga bercerita tentang anak-anak lain di Sumatra Selatan. Di antaranya adalah Aidil dan Titah yang mengalami facial cleft, sebuah kelainan yang membuat wajah tidak bisa menyatu karena terdapat beberapa celah. Titah mempunyai mimpi besar, namun terkendala biaya kuliah. Sedangkan Aidil, tidak mempunyai biaya untuk operasi wajah dan sekolah.
“Dua tahun pandemi, bisa jadi kepedulian kita terhadap orang lain menurun karena tidak berinteraksi. Dengan adanya kolaborasi ini, kami berharap anak-anak akan lebih peduli serta punya empati dan simpati kepada orang-orang di sekitar,” ucap Achi, Guru Seni Highscope Indonesia.
Sebagai bentuk kepedulian kepada teman-teman di NTT, nantinya siswa-siswi Highscope Indonesia akan melakukan penggalangan dana melalui karya seni yang akan mereka buat. Hasil dari program amal yang dinamakan Highscope’s Charity Event tersebut akan digunakan untuk membeli perlengkapan sekolah anak-anak di NTT.
“Kreativitas bukan sesuatu yang hanya bisa memuaskan karena mereka (siswa-siswi Highscope Indonesia) bisa membuat sesuatu, tetapi mereka juga harus berpikir bahwa itu bisa berguna untuk orang lain,” jawab Luluq, Guru Seni Highscope Indonesia lainnya, saat ditanya soal alasan mengapa program amal yang dilakukan menggunakan medium seni.
Antusiasme siswa-siswi Highscope Indonesia sangat luar biasa untuk membantu anak-anak di pedalaman. Bahkan, selain akan melakukan penggalangan dana, mereka juga akan mengirim surat untuk anak-anak di pedalaman NTT sebagai bentuk kepedulian.
“Saya senang sekali karena antusias mereka (siswa-siswi Highscope Indonesia) sangat luar biasa. Semoga akan ada lebih banyak orang yang terinspirasi dari kisah pergerakan Insan Bumi Mandiri memberdayakan masyarakat daerah pedalaman Indonesia. Semakin banyak orang yang terlibat, maka kebaikan juga bisa tersebar lebih luas,” ucap Zulfa saat ditemui setelah kegiatan selesai.
Bagi masyarakat umum yang juga ingin terlibat dalam membantu masyarakat NTT, hingga saat ini, Insan Bumi Mandiri masih membuka banyak kesempatan bagi para calon donatur untuk membantu saudara-saudara di NTT melalui berbagai program pemberdayaan.