Jakarta, Gatra.com - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia menegaskan saat ini arah kebijakan pemerintah Indonesia fokus pada penciptaan nilai tambah melalui hilirisasi. Salah satu yang tengah dikejar adalah ekosistem hilirisasi nikel meskipun harus digugat oleh Uni Eropa (UE).
"Hilirisasi adalah harga mati," ujar Bahlil dalam diskusi publik Indef bertajuk "Can Indonesia Boost Investment Through Friendshoring?" secara virtual, Rabu (8/2).
Diketahui, hilirisasi nikel yang dilakukan Indonesia diprotes sejumlah negara di Uni Eropa (UE), membawa Indonesia digugat ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Pasalnya, hilirisasi nikel diawali dengan pelarangan ekspor nikel mentah (bijih nikel) sejak 2020.
Baca Juga: Hilirisasi Dianggap Sudah Modern, Mentan Targetkan Ekspor Produk Perkebunan Tembus Rp100 T
Gugatan yang dilayangkan negara-negara UE itu dinilai akibat sentimen negatif pelarangan ekspor bijih nikel yang menjadi bahan baku industri hilir di Eropa. Di sisi lain seperti diketahui pemerintah telah berjalan menciptakan ekosistem hilir nikel di dalam negeri, mulai dari pembangunan smelter hingga industri baterai kendaraan listrik.
"Ini kita lakukan secara komprehensif, bagaimana membangun ekosistem turunan nikel, agar kita menjadi salah satu negara produsen baterai terbesar di dunia," ucap Bahlil.
Menurut Bahlil, gugatan yang dilayangkan UE ke WTO menjadi tidak relevan di zaman sekarang. Negara yang sudah merdeka sepatutnya bebas menentukan arah kebijakan yang membawa perbaikan negaranya. Semua negara, harus menghargai keputusan strategi masing-masing negara.
"Ini enggak benar, dengan alasan bahwa ini terjadi monopoli pasar. Sekalipun kita dibawa ke WTO ya enggak ada masalah, itu hak mereka, tapi kita tidak akan pernah gentar melawan," tuturnya.
Baca Juga: Hilirisasi Minerba RI Tidak Mudah, Apa Sebabnya?
Bahlil menyebut upaya hilirisasi yang dilakukan pemerintah RI didapat dari mempelajari jejak negara maju. Di mana negara-negara dunia pertama dan kedua seperti Amerika, Eropa lebih dulu melakukan hilirisasi dengan revolusi industrinya. Sama halnya dengan yang Indonesia lakukan kini, larangan ekspor sejumlah bahan mentah pun dilakukan negara-negara maju saat itu.
Misalnya, Bahlil menuturkan bahwa pada Abad ke-16 Inggris melarang ekspor wool untuk meningkatkan nilai tambah produk wool di negaranya. Contoh lainnya, Amerika Serikat melarang ekspor semiconductor chip ke Tiongkok untuk mendorong industri di dalam negeri.
Baca Juga: Soal Hilirisasi Industri Sawit Berkelanjutan, Pengamat Singgung SDGs dan RUU Petani
"Kami hanya belajar pada negara yang sudah maju duluan, masa kami tidak boleh belajar dari kesuksesan bapak-bapak (negara maju)? Saya pikir apa yang dilakukan negara berkembang seperti Indonesia ini hanya menjadi bagian cara untuk menjadi negara maju," imbuh Bahlil.
Sebagai informasi, hilirisasi nikel di Indonesia menjadi panutan pemerintah. Musababnya, larangan ekspor bijih nikel sejak 2020 membawa peningkatan signifikan dari nilai ekspor produk nikel. Pada 2017 nilai ekspor nikel hanya menghasilkan US$3 miliar, kemudian dengan larangan ekspor bijih nikel dan upaya hilirisasi nilai ekspor nikel melejit hingga US$27,8 miliar dolar pada 2022. Adapun selanjutnya pemerintah akan menerapkan jejak hilirisasi yang sama pada bauksit, tembaga, timah bahkan emas.