Jakarta, Gatra.com – Komisi Yudisial (KY) memastikan akan memutuskan memilih calon hakim adhoc Hak Asasi Manusia (HAM) terbaik dari kandidat yang tersisa meski kondisi seleksi kali ini terbilang kurang ideal, salah satunya minim calon pendaftar.
“KY mesti memutuskan untuk memilih calon yang terbaik dari yang ada. Jika tidak demikian, maka kepastian dan keadilan bagi korban akan tertunda,” kata Miko Ginting, Juru Bicara KY di Jakarta, Senin (6/2).
Baca Juga: KY Sinyalir 3 Penyebab Minimnya Peserta Seleksi Calon Hakim Adhoc HAM
Ia menjelaskan, KY memutuskan demikian atas berbagai pertimbangan, di antaranya dibatasi oleh jangka waktu pelaksanaan seleksi menurut undang-undang, yaitu maksimal 6 bulan.
Terlebih, lanjut Miko, Kejaksaan telah mengajukan kasasi terhadap vonis bebas terhadap Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu yang diketok majelis hakim Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel).
“Oleh karena itu, guna menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi korban, tidak ada pilihan selain menyediakan hakim pada tingkat kasasi melalui seleksi oleh KY,” ujarnya.
Miko melanjutkan, pihaknya juga berpandangan jikapun seleksi diulang kembali, itu menjadikan KY melanggar undang-undang karena batas waktu seleksi maksimal 6 bulan.
“Apakah ada jaminan calon yang potensial sesuai harapan organisasi masyarakat sipil akan didapatkan?” ujarnya.
Ia menjelaskan, KY menerima masukan dari organisasi masyarakat sipil terkait dengan seleksi dan calon hakim adhoc HAM di MA yang telah diajukan ke DPR. “Pada prinsipnya, teman-teman organisasi masyarakat sipil mengkritik soal pemahaman dan kompetensi calon,” katanya.
Menurut Miko, KY berpandangan yang sama bahwa seleksi terhadap calon hakim adhoc HAM di MA tidak berada dalam kondisi ideal, terutama disebabkan minimnya pendaftar meskipun penjaringan sudah dilakukan semaksimal mungkin.
Pada awalnya, hanya 4 calon yang mendaftar. KY lantas membuka perpanjangan masa pendaftaran dan mendapat 15 pendaftar. Setelah seleksi administrasi, hanya 13 pendaftar yang lulus.
Kemudian, dari 13 pendaftar yang lulus seleksi administrasi, ada 3 calon yang mengundurkan diri. Dari 10 calon, pada tahap seleksi kualitas hanya 6 calon yang dinyatakan lulus ke tahap berikutnya, yaitu seleksi kesehatan, kepribadian, dan penelusuran rekam jejak.
“Selanjutnya, hanya 5 calon yang dinyatakan lolos untuk mengikuti tahap wawancara,” katanya.
Untuk itu, kritik terhadap calon ini mesti dikerangkakan dalam kerangka persoalan yang lebih besar, yaitu minimnya ketersediaan calon, terutama calon yang kompeten dan berintegritas.
Salah satu yang ditenggarai menjadi penyebab adalah syarat dalam undang-undang terkait usia minimal calon, yaitu 50 tahun. Batas usia ini menyebabkan calon-calon potensial tetapi belum sampai batas usia tersebut tidak bisa mendaftar.
Persoalan lain yang lebih struktural adalah ketidakpastian perkara yang akan ditangani. Hingga saat ini, hanya satu perkara, yaitu perkara Paniai, yang diperiksa oleh pengadilan. Itupun hanya dengan satu terdakwa yang akhirnya diputus bebas pada pengadilan tingkat pertama.
“Padahal, selama menjabat sebagai hakim adhoc HAM di MA, calon yang bersangkutan tidak bisa atau sangat terbatas untuk menjalankan profesi lain,” katanya.
Selanjutnya, persoalan lain yang kerap muncul dari para calon adalah soal insentif. Hingga saat ini, KY belum mendapatkan informasi terkait peraturan presiden tentang insentif dan fasilitas bagi hakim adhoc HAM di MA.
Baca Juga: KY Awasi Sidang Kasus HAM Berat Paniai Terdakwa Isak Sattu
“Tiga persoalan pokok di atas adalah persoalan struktural yang terdapat dalam regulasi dan proses penegakan hukum secara faktual,” ujarnya.
Miko menegaskan, meski dalam kondidi tersebut, KY tetap menerapkan mekanisme dan standard seleksi hakim adhoc HAM ini sebagaimana layaknya seleksi calon hakim agung, terutama pada aspek integritas.