Jakarta, Gatra.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya mendeksak Polda Jawa Timur (Jatim) melepaskan tiga orang petani Pakel yang penangkapannya dilakukan seperti penculikan pada Jumat petang (3/2).
“Kami menuntut Polda Jawa Timur untuk membebaskan tiga orang tersebut segera. Kami meminta ATR BPN, Komnas HAM dan lembaga terkait, serius membela hak asasi manusia,” kata Habibus Shalihin dari LBH Surabaya dihubungi pada Minggu (5/2).
Ia menyampaikan, pihaknya yang merupakan bagian dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak Komnas HAM dan lembaga terkait lainnya untuk melakukan langkah-langkah terkait tindakan kriminalisasi dan anti-HAM yang dilakukan lembaga penegak hukum dan HAM.
Baca Juga: Banyak Kasus Penangkapan Petani akibat Konflik Agraria Diabaikan Selama 17 Tahun Terakhir
“Kejadian ini semakin menambah daftar panjang kekerasan pada pejuang agraria!!! Semakin menambah catatan kasus pelanggaran hak asasi,” tandasnya.
Ia menjelaskan, awalnya YLBHI menerima kabar pada Jumat (3/2), pukul 18.30 WIB atau selepas magrib, sebanyak 5 oranag petani Pakel, yakni Mulyadi (Kepala Desa), Suwarno (Kepala Dusun Durenan), Untung (Kepala Dusun Taman Glugoh), Ponari, dan Hariri (sopir), berangkat menggunakan mobil desa jenis APV putih menuju Desa Aliyan untuk menghadiri rapat Asosiasi Kepala Desa Banyuwangi.
Saat perjalanan menuju lokasi, tiba-tiba di tengah jalan, yakni di wilayah Cawang (Rogojampi Selatan) sekitaran isya atau kira-kira 19.30-an WIB kendaraan yang ditumpangi warga tersebut mendadak mengurangi kecepatannya akibat mobil hitam di depannya tiba-tiba berhenti.
Menurutnya, mobil di depan kendaraan yang ditumpangi warga Pakel tersebut sengaja berhenti dan membuat kemacetan. Kemudian, dua mobil hitam dan putih di belakang mobil yang ditumpangi warga Pakel, merangsek dan mendekat ke mobil warga sehingga mereka kaget dan tidak bisa ke mana-mana.
“Kurang lebih ada sekitar 6 orang yang tidak dikenal, kami menduga intel, meminta turun semua penumpang. Pak Mulyadi, Pak Suwarno, dan Pak Untung lalu digiring masuk ke dalam mobil yang posisinya di belakang kendaraan warga,” katanya.
Sedangkan sopir mobil warga Pakel, Hariri, diminta mengendarai mobilnya dan dikawal 4 orang. Adapun satu orang warga Pekel lainnya, Ponari, ditinggalkan di tempat kejadian.
“Penangkapan ini hampir seperti penculikan, sebab tanpa menunjukan surat penangkapan, sangat tidak profesional,” ujarnya.
Sejak awal kasus ini sudah menunjukkan ketidakprofesionalan institusi kepolisian, khususnya Polda Jatim, karena LBH Surabaya menilai:
1. Kasus tidak jelas
LBH Surabaya meniliai penangkapan tersebut terkait kasus yang tidak jelas. Pasalnya, warga dituduh menyebarkan berita bohong, tapi dalam surat pemanggilan tidak jelas berita bohong yang mana?
2. Kasus ini terjadi di wilayah konflik agraria
LBH Surabaya menyatakan bahwa seharusnya Polda Jatim belajar dari kasus sebelumnya untuk melalukan penanganan, apalagi kasus ini adalah kasus yang sangat bias. Seharusnya penuh pertimbangan tidak grusa-grusu.
“Apakah tidak ada SOP atau mengetahui surat edaran Kantor Staf Presiden soal penanganan konflik agraria,” ujarnya.
3. Warga tengah berjuang di jalur legal
Menurutnya, warga sedang melakukan upaya hukum melalui praperadilan untuk menggugat proses atau penanganan kasus yang tidak sesuai aturan dan etika. Tiba-tiba di tengah jalan mereka diadang lalu diculik, lalu ditahan di Polda Jatim.
“Ini semakin menambah daftar hitam ketidakprofesionalan polisi, dari beberapa kasus besar yang dibiarkan menguap, tetapi kasus konflik yang melibatkan petani yang berkonflik dengan perusahaan sangat terlihat gagah. Gagah di bawah, kerdil di atas,” ujarnya.
Ia menjelaskan, warga Pakel, Licin, Banyuwangi, tengah memperjuangkan haknya terkait lahan. Mereka kerap mengalami berbagai tindakan kekerasan, kriminalisasi, hingga menghuni penjara. Setidaknya 105 orang warga Pakel telah mengalami hal tersebut.
Sesuai keterangan dari laman Walhi, konflik agraria tersebut berawal pada tahun 1925, sekitar 2.956 orang warga mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran di Pakel, Licin, Banyuwangi, Jatim, kepada pemerintah kolonial Belanda.
Pemerintah Kolonial Belanda mengabulkan perizinan tersebut empat tahun kemudian, yakni pada 11 Januari 1929. Mereka diberikan hak membuka lahan kawasan hutan seluas 4.000 bahu (3.000 hektare) oleh Bupati Banyuwangi R.A.A. M Notohadi Suryo.
Namun, warga Pakel kerap mengalami tindakan kekerasan dan intimidasi dan aparat pemerintah kolonial Belanda dan Jepang. Hal serupa tetap dialami oleh warga atau petani di Pakel pasca-Indonesia merdeka.
Warga terus berjuang untuk membuka lahan sesuai izin yang telah diberikan, di antaranya pada 1960-an mereka mengajukan surat permohonan untuk bercocok tanam di kawasan sebagaimana akta 1929, yakni di hutan Sengkan Kandang dan Keseran kepada bupati Banyuwangi. Namun tidak pernah dijawab.
Pada situasi saat itu, untuk sekadar menyambung hidup?, sebagian kecil warga Pakel mulai bercocok tanam di sebuah wilayah yang masuk akta 1929, yakni Taman Glugoh. Namun, pascameletusnya Tragedi kemanusiaan 30 September 1965, mereka tidak lagi mengelola lahan karena takut dituduh sebagai anggota PKI.
Baca Juga: Konflik Agraria Terkait Akses Masyarakat Lokal dan Adat
Pada tahun 1980-an, lahan yang masuk dalam akta 1929 sebelumnya dikelola warga Pakel, tiba-tiba diklaim milik perusahan perkebunan PT BS. Padahal, jika merujuk SK Kemendagri tertanggal 13 Desember 1985, Nomor: SK.35/HGU/DA/85 PT BS disebutkan hanya mengantongi HGU atas lahan seluas 1.189,81 hektare di Kluncing dan Sangon.
Meski PT BS tidak mempunyai HGU di Desa Pakel, namun dalam praktiknya, perusahaan tersebut tetap melakukan penanaman hingga ke wilayah Desa Pakel. Fakta penting lainnya, kawasan yang masuk akta 1929 tersebut yang sebelumnya diklaim PT BS juga dikuasi oleh Perhutani.
Sejak itu, perjuangan petani Pakel kian kompleks. Namun demikian, mereka terus berjuang untuk dapat mengelola lahan yang telah diizinkan jauh sebelum Indonesia merdeka.