Home Nasional Orang Miskin Rawan Tengkes

Orang Miskin Rawan Tengkes

Angka stunting anak di Indonesia masih tinggi. Presentasenya masih melebihi ambang batas yang ditetapkan oleh WHO. Kemiskinan jadi salah satu faktor timpangnya akses terhadap sumber makanan bergizi. 

Jakarta, Gatra.com - Stunting atau tengkes menjadi masalah kesehatan anak yang tak kunjung usai di Indonesia. Tengkes adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan balita akibat kekurangan gizi kronis, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badan di bawah standar. Hal itu dapat terjadi jika seorang anak kekurangan asupan energi protein dan infeksi berulang pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Dampaknya tak main-main, pertumbuhan fisik, kemampuan kognisi, dan produktivitas anak dapat terganggu.

Meski trennya menurun setiap tahun, tengkes di Indonesia punya jejak mengkhawatirkan. Bahkan jumlahnya terbilang tinggi dibanding negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Pada 2020, Asian Development Bank mencatat Indonesia berada di peringkat kedua terbesar dengan prevalensi tengkes anak usia di bawah lima tahun sebesar 31,8%. 

Indonesia berada tepat di bawah Timor Leste yang bercokol di peringkat satu dengan prevalensi 48,8%. Setelah Indonesia, mengekor Laos (30,2%), Kamboja (29,9%), Filipina (28,7%), Myanmar (25,2%), Vietnam (22,3%), dan Malaysia (20,9%). Adapun ketiga negara terendah adalah Brunei Darussalam (12,7%), Thailand (12,3%), dan Singapura (2,8%). 

Sepanjang 20 tahun, menurut data yang sama, terhitung sejak tahun 2000, Indonesia telah berhasil menurunkan angka prevalensi sebesar 9,7%. Dua dekade lalu, tengkes di Indonesia sebesar 41,5%. 

Baca Juga: Konsumsi Protein Hewani di Indonesia Terbilang Masih Rendah, Benarkah?

Namun, boleh dibilang, penurunan itu tidak sesiginifikan empat negara lain. Saat itu, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam memiliki prevalensi yang sangat tinggi dengan posisi berada di atas Indonesia. Kini angka prevalensi keempatnya terjun dan bertengger di bawah Indonesia. Vietnam bahkan berhasil menurunkan prevalensinya hingga 19,5% dan masuk ke dalam golongan empat negara terendah.

Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 yang baru dirilis Kementerian Kesehatan pekan lalu menunjukkan prevalansi stunting di Indonesia turun 2,8% menjadi 21,6%. Sebelumnya, pada 2021 lalu, presentasenya mencapai 24,4%. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan kesehatan masyarakat dapat dianggap kronis bila prevalensi tengkes lebih dari 20%. Dan Indonesia masih berada di posisi itu.

Pemerintah, sebagaimana termaktub di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, memiliki target nasional menurunkan prevalensi tengkes hingga 14% pada tahun 2024 mendatang. Itu artinya, target penurunan prevalensi yang mesti dicapai pada tahun 2023 dan 2024 haruslah konsisten di atas 3%.

Kurang gizi dan kurang sehat

Gizi dan kesehatan adalah dua kata kunci pencegahan tengkes. Pemenuhan gizi dan nutrisi bukan hanya ditujukan kepada bayi, tetapi juga si ibu. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan gizi dan kesehatan ibu bahkan harus dikondisikan jauh-jauh hari sebelum hamil dan melahirkan. 

Hasto memetakan dua faktor utama penyebab tengkes dapat terjadi: faktor sensitif dan spesifik. Faktor sensitif merupakan kondisi lingkungan si ibu dan bayi tinggal. Tempat tinggal kumuh, hidup berdesakan, dan air yang kotor dapat mempengaruhi kesehatannya. 

"Penyakit-penyakit menular dapat terjadi di wilayah kumuh, diare atau TBC. Ditambah jambannya kurang bagus, air bersih tidak ada," kata Hasto kepada Gatra, Jumat (20/1). 

Adapun faktor spesifik adalah kondisi saat calon ibu hendak melahirkan. Ini menyangkut pada aspek kesehatan yang lebih spesifik. Dalam catatan BKKBN, misalnya, terdapat 37% perempuan muda di Indonesia mengalami anemia. 

"Perempuan kan menstruasi sebulan sekali. Setiap bulan keluar darah sekitar 200 cc. Banyak yang tidak menyadari itu," kata Hasto. "Makannya kurang seimbang, mungkin hanya makan mie, kurang gizi, akhirnya anemia tinggi."

Baca Juga: Jika Produk Hilir Batu Bara Bebas Iuran, Pengamat: Negara Bakal Rugi Rp33,8 Triliun Per Tahun

Seorang ibu hamil yang menderita anemia, kekurangan zat besi juga kalori dan protein, akan membuat pertumbuhan janinnya terhambat. Akibatnya bisa macam-macam. Antara lain bayi bisa lahir sebelum waktunya alias prematur. Hal itu diperparah, misalnya, dengan tata laksana gizi buruk pasca bayi dilahirkan. Pemantauan tumbuh dan kembang bayi pun minim. Padahal, menurut Hasto, tengkes dapat dicegah sebelum bayi menginjak usia 23 bulan. 

"Stunting itu kan gagal tumbuh karena tidak mendapatkan gizi optimal sejak seribu hari pertama kehidupan, dari konsepsi sampai umur dua tahun. Kalau seribu hari itu tidak terbentuk dengan baik, si anak prospeknya tidak akan optimal. Tinggi badan, kecerdasan, dan umur 40 tahun sudah sakit-sakitan," kata Hasto. 

Seribu hari pertama mencakup pertumbuhan organogenesis alias pembentukan organ. Di dalamnya mencakup pertumbuhan penglihatan, pendengaran, dan emosi. Setelah lahir, perkembangannya meliputi logika, motorik, kemampuan bicara, dan kemandirian-interaksi. 

Dibayangi kemiskinan

Sustainable Development Goals (SDGs) membidik dunia bebas dari segala bentuk kekurangan gizi pada 2030. Untuk mencapai target itu tentu tak semudah membalik telapak tangan. Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menemukan bahwa akar dari malanutrisi seperti tengkes adalah kemiskinan. 

Individu miskin tak punya cukup uang untuk memenuhi kebutuhan gizi dan nutrisi di tingkat paling minimal untuk hidup sehat. "Secara umum, rendahnya konsumsi pangan secara persisten disebabkan oleh rendahnya pendapatan. Hal ini membawa pada lingkaran kemiskinan pangan dan stunting," kata Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS, Sabtu (21/1).

Badan Pusat Statistik (BPS) pun mencatat pada September 2022 jumlah penduduk miskin di Indonesia bertambah 200.000 orang dibandingkan bulan Maret 2022. Dengan begitu, jumlah orang miskin menjadi 26,36 juta orang.

Itu pun dengan patok garis kemiskinan per September 2022 sebesar Rp535.547 per kapita per bulan. Sudah jadi anggapan umum bahwa patokan BPS itu terbilang minim. Walakin, ambang batas itu sebetulnya naik 5,95% dibandingkan Maret 2022. Bahkan naik 10,16% dibandingkan September tahun sebelumnya.

Jika menggunakan asumsi satu rumah tangga beranggotakan 4,34 orang, maka kemampuan finansial rata-rata per rumah tangga berada di kisaran Rp2.324.274 per bulan. Pendapatan rumah tangga di bawah angka itu kemudian juga masuk ke dalam golongan keluarga miskin.

Lebih jauh, menurut Yusuf, stunting dan gizi buruk dapat membuat seorang individu, bahkan generasi penerusnya, terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Sebab, tengkes berpotensi mengganggu kemampuan kognitif dan produktivitas anak. Anak yang menderita tengkes akan sulit mendapat pekerjaan atau kalah bersaing di masa mendatang karena memiliki keahlian yang terbatas.

Bahkan, lebih gawat lagi, data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2018 menaksir bahwa tengkes dapat merugikan perekonomian sebesar 2-3% dari PDB per tahunnya. "Malanutrisi tidak hanya merugikan individu, tetapi juga masyarakat dan perekonomian," tutur Yusuf.

Baca Juga: Terkuak! BPS Temukan Kenaikan Harga Beras Paling Tinggi Ada Di Penggilingan

Penyebab utama tengkes adalah kemiskinan dan harga pangan. Namun, catatan IDEAS tak hanya berhenti pada kesimpulan itu. Perilaku konsumsi pangan, termasuk gaya hidup yang salah, memperparah masalah. "Ini yang menjelaskan mengapa stunting kita temui tidak hanya pada keluarga miskin saja," Yusuf menambahkan.

Perilaku konsumsi jenis pangan yang keliru, dan dalam kadar yang berlebihan, juga jadi salah satu bentuk kegagalan pasar pangan yang paling serius. Menurut Yusuf, solusi berbasis pasar mengasumsikan konsumen selalu berperilaku bijak dalam keputusan pembelian pangan, baik untuk dirinya maupun orang lain, dengan bantuan instrumen label, informasi gizi dan kampanye hidup sehat. 

Akan tetapi, seringkali hal itu tidak bekerja, terutama bagi para konsumen yang pasif dan tidak peduli. Dengan pendapatan terbatas dan tingkat pendidikan rendah, kata Yusuf, kelompok termiskin seringkali melakukan belanja pangan yang tidak bijak. 

"Sebagai misal, rumah tangga miskin memiliki pengeluaran untuk rokok yang signifikan, di atas biaya konsumsi pangan yang penting bagi diri dan keluarganya," ucap Yusuf.

Terimpit lonjakan harga pangan

Bukan hanya persoalan pendapatan yang terbatas, ihwal harga pangan yang saban hari naik menambah pelik kaum rudin.  Kepala BPS, Margo Yuwono mengatakan meningkatnya angka dan garis kemiskinan pada September 2022 sebagian besar didorong oleh kenaikan harga sejumlah komoditas makanan, yang menyumbang 74,15% peningkatan garis kemiskinan pada September 2022.

Sejumlah komoditas sumber protein hewani seperti daging dan telur, misalnya, menjadi salah dua peningkatan garis kemiskinan itu. Masalahnya, peranan protein hewani untuk pemenuhan gizi, lebih-lebih dalam pencegahan tengkes balita, merupakan hal penting.

Menurut Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso, protein hewani merupakan kata kunci untuk pencegahan stunting. "Anak-anak balita di posyandu diberi makanan tambahan bubur kacang hijau atau biskuit. Padahal masalah stunting ini kata kuncinya protein hewani," ujarnya, Selasa (24/1).

Piprim menjelaskan, di dalam tubuh anak terdapat apa yang disebut dengan mTORC, semacam sakelar yang berfungsi memicu pertumbuhan. Sensor nutrisi mTORC sangat sensitif pada kadar asam amino esensial, yang merupakan salah satu jenis nutrisi yang berperan penting dalam tumbuh kembang anak.

"Ketika asam amino esensial yang berasal dari protein hewani itu rendah, mTORC tidak akan aktif. Tetapi ketika kadar asam amino esensialnya cukup tinggi, maka sakelar ini terpicu, di-switch-on, dan pertumbuhan bisa berlangsung dengan baik, tinggi badan, otak, usus, dan sistem imun," kata Piprim.

Baca Juga: Kejar Target Stunting 14 Persen 2024, BKKBN Sarankan Prakonsepsi Jelang 1000 Hari Kehidupan Anak

Lebih lanjut, dalam catatan BPS, secara nasional kenaikan harga eceran komoditas pokok terjadi setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada awal September 2022 lalu. Keputusan pemerintah itu, menurut Margo, membuat sejumlah komponen biaya produksi pertanian dan logistik pangan melonjak.

"Kenaikan harga BBM berdampak pada kenaikan harga-harga yang harus dibayar kelompok penduduk miskin. Ini berpengaruh terhadap daya beli penduduk miskin," kata Margo dalam konferensi pers, 16 Januari 2023 lalu.

Menanggapi fenomena lonjakan harga pangan, Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi beralasan bahwa harga saat ini merupakan keseimbangan baru, yang tidak bisa dihindari seiring krisis ekonomi global. 

Sejumlah komponen biaya produksi pangan, seperti pupuk, pestisida, dan BBM mengalami kenaikan harga signifikan dalam dua tahun terakhir. "Walau tidak secara langsung sama kenaikannya, tapi ada faktor kontribusi di sana," kata Arief kepada Gatra, Jumat (27/1).

Arief mengklaim pemerintah telah berupaya agar akses pangan murah dan bergizi bisa dijangkau seluruh masyarakat. Termasuk dengan pembentukan Tim Pengendali Inflasi Nasional (TPIN), dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) untuk mengontrol harga pangan di berbagai daerah. "Ini adalah cara kami menjaga daya beli masyarakat," ucapnya.

Masalahnya, laporan Badan Pangan Dunia (FAO) pada Desember lalu justru menunjukkan bahwa Indonesia memiliki harga pangan tertinggi dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Harga ini dihitung berdasarkan kemampuan daya beli masyarakatnya. Artinya, daya beli penduduk miskin di Indonesia untuk mendapatkan sumber gizi mumpuni tergolong sangat rendah. 

FAO menaksir, dengan menghitung faktor paritas daya beli (purchasing power parity/PPP), harga pangan bergizi di Indonesia mencapai US$4,47, atau setara Rp67.000 per hari (kurs Rp14.972). Jumlah itu tergolong tinggi ketimbang negara seperti Thailand (US$4,3); Filipina (US$4,1); Vietnam (US$4); dan Malaysia (US$3,5).

Baca Juga: Meski Total Kasus Menurun, Angka Stunting di Usia Ini Meningkat di 2022

Kendati begitu, Arief memastikan Badan Pangan Nasional terus bekerja memastikan harga tak terkerek. Operasi pasar dan pengadaan pasar murah, misalnya, lazim dilakukan. Teranyar, Badan Pangan juga gencar melakukan distribusi stok pangan dari daerah surplus ke daerah defisit. Tindakan itu dianggap dapat memeratakan akses pangan murah untuk masyarakat di semua daerah. 

Adapun untuk menjamin ketersediaan stok pangan untuk stabilitas harga, Arief menyebut pemerintah juga mulai mengimplementasikan skema penguatan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP). Menurut dia, sebagai bentuk keseriusan memperkuat CPP, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 125 tentang Penyelenggaraan CPP.

Khusus masyarakat miskin, untuk menjamin akses pangan bergizi, menurut Arief, pemerintah juga telah mengucurkan skema subsidi dan bantuan sosial. Kendati stunting, kata dia, bukan hanya soal tanggung jawab pihaknya menstabilkan harga pangan. Kerja sama lintas sektor dibutuhkan untuk mencegah kasus stunting baru.

"Mulai Kemenkes, Badan Pangan Nasional, Kementerian Desa, BKKBN, juga Kemendagri diperlukan untuk eksekusi di seluruh Indonesia," imbuh Arief.

601