Jakarta, Gatra.com - Stunting, atau gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, masih menghantui Indonesia. Bahkan, Ketua Tim Kerja Balita Direktorat Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Nida Rohmawati menyampaikan, angka stunting pada tahun 2022 silam mencapai 4.558.899 jiwa.
Angka tersebut memang menunjukkan penurunan dibanding jumlah anak penderita stunting pada 2021 dengan total 5.253.404 jiwa, dan bahkan lebih kecil dibanding angka ekspektasi stunting pada 2022 sebanyak 4.754.223 jiwa. Penurunan itu pun terjadi pada hampir semua kelompok usia balita, terkecuali pada rentang usia 12-23 bulan.
Nida memaparkan, berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada 2022 lalu, terdapat dua titik berisiko terjadinya stunting pada balita. Kedua titik itu adalah pada saat lahir dan pada saat balita mulai menjajaki usia 1 hingga 2 tahun.
"Pertama, saat lahir. Itu ada 18,5 persen bayi yang beratnya kurang dari 2500 (gram), atau bayi berat lahir rendah (BBLR) dan panjangnya kurang dari 48 cm," kata Nida Rohmawati, dalam forum Gatra Bicara bertajuk Peningkatan Gizi Untuk Ketahanan Tubuh Agar Siap Menghadapi Tantangan ke Depan, Rabu (1/2).
Dengan demikian, kata Nida, ada 18,5 persen bayi baru lahir yang memiliki risiko untuk tidak tumbuh dan berkembang secara baik. Pasalnya, bayi dengan kondisi berat lahir rendah dan panjang yang kurang juga menunjukkan bahwa modal dasar yang dimiliki bayi tersebut untuk tumbuh dan berkembang juga kurang.
"Yang paling meningkat, kita lihat, adalah pada usia setelah mulai pemberian makan pada bayi dan anak, atau makanan pendamping ASI (Air Susu Ibu), yaitu meningkat 1,6 kali lipat, yang menghasilkan, saat dia berusia 12 sampai 23 bulan, sudah jatuh dalam kondisi stunting," tuturnya.
Nida mengatakan, kondisi itulah yang pada akhirnya membuat rentang usia tersebut cenderung mengalami kenaikan angka stunting pada tahun 2022. Dengan demikian, hal itu menandakan bahwa dalam kondisi kronis, balita tersebut tidak mendapatkan asupan gizi yang cukup sejak rentang usia itu. Terutama, gizi dari protein hewani.
Pasalnya, kata Nida, protein hewani mengandung asam amino esensial, yang dapat memacu kecukupan gizi untuk pertumbuhan anak secara fisik, pertumbuhan fungsi organ, serta perkembangan kognitif atau kecerdasan otak anak.