Sleman, Gatra.com - Pakar pembangunan sosial dan kesejahteraan Fakultas Ilmu Politik dan Sosial (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjuddin Noer Effendi, menyatakan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menempatkan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai provinsi termiskin di se-Jawa perlu diperdebatkan.
Sebelumnya BPS menyebutkan angka kemiskinan di DIY mencapai 11,49 persen. "Angka kemiskinan yang dirilis BPS acap kali mengundang banyak reaksi. Meski BPS selalu merilis hasil survei susenas secara berkala," katanya lewat pernyataan tertulis, Selasa (31/1).
Tadjuddin menjelaskan penetapan penduduk miskin oleh BPS adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
“Di DIY sendiri garis kemiskinan Rp 551.342 per bulan. Pengeluarannya lebih tinggi dibanding Jawa Barat dan Jawa Tengah. Saya kira penetapan garis kemiskinan ada persoalan. Katanya angka kemiskinan tinggi, namun pengeluarannya tertinggi di atas Jabar dan Jateng,” imbuhnya.
Dari sisi tingkat ketimpangan pengeluaran atau rasio gini, DIY tertinggi di Indonesia yakni 0,439. Sementara dari angka harapan hidup, DIY menempati peringkat pertama di Indonesia dengan usia rata-rata penduduk 75 tahun.
Tidak hanya itu, nilai indeks pembangunan manusia DIY berada di posisi kedua setelah Provinsi DKI Jakarta. “Dari data IPM kok bisa termiskin, ada yang perlu kita koreksi. Lalu ada soal indeks kebahagiaan, DIY tertinggi kedua setelah Jawa Timur terkait indeks kepuasan hidup, perasaan, dan makna hidup,” paparnya.
Sedangkan dari jumlah penduduk lansia, diakui Tadjuddin, DIY tertinggi diikuti Jawa Timur dan Jawa Tengah. “Persentase lansianya 4,2 persen dari jumlah penduduk DIY,” katanya.
Meski angka pengeluaran setiap keluarga masih menjadi tolak ukur internasional untuk menentukan angka kemiskinan, metodologi penentuan garis kemiskinan di DIY oleh BPS menurutnya perlu diperdebatkan.
“Sehingga sering kali kemiskinan ditetapkan dengan membandingkan nilai konsumsi seseorang dibanding dengan orang lain,” katanya.
Selain menyoroti persoalan metodologi, Tadjuddin juga menyarankan pemerintah untuk memikirkan penanganan dan pengentasan angka kemiskinan di Indonesia.
“Karena sekali lagi terlalu banyak keterlibatan lembaga dalam penanganan kemiskinan. Terlalu banyak orang untuk intervensi dan hal itu cukup sulit diawasi dan barangkali kemiskinan itu juga menjadi komoditi,” katanya.
Sementara peneliti studi kependudukan UGM Bambang Hudayana menuturkan untuk menurunkan angka kemiskinan DIY tidak bisa dilakukan dengan program jangka pendek. Namun sebaliknya, diperlukan program untuk jangka menengah, jangka panjang, dan berkelanjutan.
“Program yang berkelanjutan adalah yang berbasis pada partisipasi dan inovasi desa serta melibatkan kelompok-kelompok swadaya dalam masyarakat,” katanya.
Dari hasil penelitiannya, orang miskin umumnya sulit keluar dari belenggu kemiskinan karena mengalami keterbatasan pada aset tanah, modal material, modal sosial, dan life skill, yang tidak ditangani dengan baik.
Sementara program pengentasan kemiskinan selama ini, menurut Bambang, belum tepat sasaran. Hal ini karena berbagai program bantuan tersebut masih mengedepankan program pro poor. Menurutnya, program pro job yang bersifat partisipatoris perlu diutamakan.
“Pro job secara partisipatoris diarahkan untuk memperkuat ekonomi desa dan membuka lapangan kerja,” paparnya.
Selain itu, pemerintah menurutnya perlu mendorong penguatan usaha tani di mana petani memiliki akses pada tanah kas desa, Sultan Ground, dan peran lembaga semacam Perhutani dan koperasi.
“Orang miskin juga sebaiknya diberi kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan di desa termasuk dalam Dana Desa,” katanya.