Wawancara Khusus
Managing Director Princeton Digital Group Indonesia
Stephanus Tumbelaka
“Data Adalah Jantung yang Harus Dijaga”
------------------
Pesatnya pertumbuhan ekonomi digital di seluruh dunia berdampak pada bisnis penyedia layanan teknologi pusat data atau data center. Ketersediaan data center saat ini menjadi keharusan bagi perusahaan atau entitas bisnis yang ingin mengembangkan bisnis. Tidak hanya oleh raksasa industri, data center kini juga dominan digunakan oleh perusahaan berbasis startup dan e-commerce. Salah satu perusahaan pengembang infrastruktur pusat data yang terkemuka adalah Princeton Digital Group (PDG). PDG telah beroperasi di sejumlah negara di Asia termasuk Cina, Singapura, India, Jepang, dan Indonesia. Saat ini perusahaan telah memiliki 20 pusat data di 14 kota di lima negara dan akan terus bertambah seiring pertumbuhan hypercaler dan perusahaan global.
Didirikan pada 2017, PDG menghimpun talenta dan expertise yang berpengalaman di bidang IT terutama dalam pengelolaan data center. Ekonomi internet Indonesia diprediksi memiliki pasar yang bertumbuh pesat. Pada 2025, ekonomi digital di Indonesia diperkirakan bernilai US$100 miliar atau 40 persen dari seluruh transaksi konsumen di tanah air. Pertumbuhan tersebut dipacu dengan bertambahnya jumlah unicorn dan decacorn di Indonesia, termasuk raksasa cloud yang membidik pasar Indonesia untuk fase pertumbuhan cloud berikutnya. Di Indonesia, PDG telah membangun lima pusat data di kota-kota besar di Jawa dan Sumatera di antaranya Jakarta (Cibitung dan Bintaro), Surabaya, Bandung, dan Pekanbaru. PDG menjadi salah satu penyedia jasa pusat data di Indonesia selain NTT (NTT Communications), Equinix (DCI), dan STT GDC (STT Telemedia Global Data Centres).
Untuk menyimak lebih jauh terkait bisnis data center PDG, wartawan Gatra Andhika Dinata mewawancarai Managing Director Princeton Digital Group (PDG) di Indonesia, Stephanus Tumbelaka. Stephanus berpengalaman di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi serta industri pusat data di Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Vice President di NTT Ltd. Dan menjabat posisi kepemimpinan di beberapa perusahaan besar lainnya seperti: DCI (Equinix), Telkomsigma (Telkom Group), dan PricewaterhouseCoopers (PwC). Sebagai pemimpin eksekutif, Stephanus bertekad memimpin perusahaan untuk menjadi perusahaan hyperscaler bereputasi dengan ekspansi tinggi. Ia juga memiliki visi membangun infrastruktur dengan kualitas terbaik di Indonesia dan Asia Pasifik secara keseluruhan. Berikut petikan wawancara dengan lelaki lulusan Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut.
Berapa investasi yang dibutuhkan untuk pembangunan data center ini?
Bikin data center itu enggak murah, mahal, kisarannya rata-rata untuk data center yang bagus sekitar US$10 juta per megawatt. Banyak perusahaan yang punya uang mereka bisa bangun, secara uang enggak masalah, secara Capex udah enggak masalah. Yang jadi masalah orangnya, punya enggak orangnya. Orang yang memang selama ini passion di industri data center, setelah sekian puluh tahun bergerak di industri data center, sudah memiliki pengalaman yang banyak. Memiliki sekelompok orang yang sudah punya banyak pengalaman dan tahu cara memperbaikinya, itu akan menjadi benefit tersendiri karena customer datang tidak harus mengulangi kesalahan yang sama. Bayangkan orang bisa punya modal besar bangun data center tapi tidak punya orang untuk mengelola. Mereka bukan tidak bisa menjalanin tapi mereka akan membuat kesalahan yang sama yang pernah kami alami di masa lampau, yaitu cost-nya yang besar dan itu tidak disadari oleh perusahaan. Jadi membangun data center relatif mudah tapi mengoperasikan data center-nya itu yang kompleks.
Apakah PDG menyasar klien atau customer tertentu?
Kalau customer intinya gini kami di PDG tidak memposisikan diri sebagai saler dan buyer, kami enggak memposisikan diri sebagai itu, tapi kami memposisikan diri sebagai mitra daripada orang tersebut. Bagaimana kami bisa memberi layanan yang baik sesuai dengan kebutuhan pelanggan atau customer dan untuk mencapai itu kita harus kerja sama, dan efeknya secara tidak langsung bagaimana kami mendukung pertumbuhan daripada business market. Apabila kami memberikan layanan yang buruk bagaimana mereka bisnisnya bisa berkembang, karena dari customer-nya mereka sendiri pasti banyak problem. Prinsipnya itu yang kami bangun di dalam PDG. Pertanyaan berikut kliennya seperti apa, kami tidak membeda-bedakan customer. Customer yang bisa melihat bahwa PDG itu bisa memberikan value pada mereka sebagai mitra membantu mereka, maka kita cocok, dan itu menjadi customer.
Apakah dimungkinkan bermitra dengan klien dari sektor pemerintahan?
Apakah itu sektor swasta atau sektor government itu menjadi tidak relevan, yang penting kamu punya services dan kamu punya confidence dan kami bisa men-deliver dengan baik dan customer kami melihat itu bisa memberikan benefit bagi mereka kita kerjakan bersama-sama. Salah satu yang menarik adalah PDG mempunyai concern yang sangat serius terhadap sustainability, terhadap green. Kita tidak bisa pungkiri bahwa data center itu menjadi industri yang menggunakan listrik secara besar. Ibaratnya data center yang saya kelola sekarang itu mungkin bisa konversi ada lima besar di Indonesia, penggunaan listrik bisa lima kalinya tergantung data center yang lain. Dengan data center yang kecil saja sudah seperti itu. Kenapa kami menggunakan listrik itu dari penyelenggara jasa listrik apakah itu PLN, penyelenggara listrik swasta, tapi kita sadar di Indonesia bahwa penggunaan listrik masih menggunakan bahan bakar batubara, bahan bakar fosil. PDG di manapun berada kami turut berkontribusi terhadap emisi karbon. Jadi, PDG sangat serius untuk merefleksikan bahwa pada saat kami membangun data center yang baru ini, kami dari awal kami mendesainnya menjadi data center yang green. Tapi bagaimana kami ujungnya bisa menggunakan listrik lebih efisien. Untuk seperti itu berarti kami mesti punya equipment yang bisa bekerja secara efisien khususnya di Negara Khatulistiwa seperti Indonesia, maka itu menjadi penting bagaimana pemilihannya, bagaimana membangun konfigurasi yang lebih efisien, itu menjadi tantangan. Dengan mengkombinasikan teman-teman kami yang ada di luar, yang ada di Indonesia itu kita kerja sama untuk bagaimana kita membangun konfigurasi dan memilih perangkat yang tepat. PDG sudah melakukan lebih daripada itu, tahun 2022 kami sudah mengeluarkan sustainability report. Tidak banyak pemain data center dunia itu mengeluarkan report tersebut. Dan PDG meskipun umurnya terhitung pendek kami sudah bikin report dan kami buka. Pada 2030 kami sudah menargetkan untuk menerapkan renewable energy, tergantung negaranya juga.
Baca juga: Eksklusif! PDG Ungkap Pentingnya Layanan Teknologi Pusat Data (Bag I)
Di tengah tantangan ancaman keamanan data bagaimana dengan kapasitas SDM dan expertise yang dimiliki PDG saat ini?
Kalau dari sisi expertise, mungkin saya bicara dari sudut pandang Indonesia. Kita harus akui bahwa Indonesia keahlian yang sangat fokus terhadap data center itu relatif masih sedikit. Teknisi kita banyak tapi yang bermain di data center dan butuh setiap waktu siap terhadap masalah kritikal, setiap masalah apapun itu bisa menjadi kritikal, dan itu penting. SDM di Indonesia masih perlu dikembangkan. Bukan berarti SDM di Indonesia tidak mumpuni. Kita lihat SDM Indonesia itu punya kemampuan tapi masih perlu ditingkatkan. Ini yang masih menjadi kekurangan. Memang yang menjadi keunggulan atau advantages dari pada PDG adalah kami berkolaborasi dengan teman-teman dari luar juga, dari berbagai negara yang kebetulan mereka lebih duluan perkembangan data centernya dari kami di Indonesia. Kombinasi itu yang ternyata sangat menarik dan memberikan suatu keunggulan bagi kita. Tapi memang sebagai bangsa kita juga berkontribusi membangun SDM lokal yang lebih baik lagi. Namun, kembali lagi kita ada di environment, di culture, kita bisa bekerja sama erat dengan tim di negara lain. Tapi saya punya kepercayaan diri, sampai saat ini masih mimpi bahwa suatu hari keunggulan yang kita bangun di Indonesia bisa berkontribusi langsung kepada negara-negara lain.
Apakah ada proteksi khusus terhadap cyber security?
Sebetulnya ini di luar konteks kami sebagai penyelenggara jasa infrastruktur data center. Kalau infrastruktur data center kami betul-betul fokus pada infrastruktur. Kebetulan kami rules-nya tidak sampai terkait dengan pertukaran data. Pertukaran data itu ada di kewenangan pelanggan kami. Kami hanya fokus ke area yang kami unggul saja, yaitu infrastruktur. Kami mencoba membangun business process itu dengan baik. Saya selalu percaya business process itu simple tapi kontrolnya tinggi. Membangun ini enggak gampang karena sesuai dengan dinamika kebutuhan bisnis dan dinamika perkembangan zaman. Secara umum, kita bisa lihat bahwa cyber security itu ada dua sisi. Sisi yang selalu dianggap menyerang, tapi sisi baiknya juga ada. Memang saya tidak tahu secara mendalam tentang cyber security dan bukan domain saya untuk membicarakan ini. Kurang lebih kalau ada orang nyerang, kalau ada kerja sama yang orang dalam itu akan lebih mudah. Untuk itu, data center selalu menegakkan aturan yang ada. Misalnya, setiap orang yang datang dari PDG harus terdaftar. Karena yang kami jaga adalah bisnisnya mereka.
Data dari konsultan Manajemen Gartner menyebut bisnis di Asia Tenggara khususnya Indonesia rawan dari ancaman data. Di sisi lain tidak semua orang punya awareness terhadap data. Apakah ini menjadi tantangan tersendiri?
Betul sekali menjadi suatu tantangan di Indonesia tapi secara umum sebetulnya penyelenggara jasa data center itu biasanya akan mendorong dirinya sendiri untuk bisa comply terhadap standar data center itu sendiri. Secara standar internasional itu sudah ada, ada beberapa. Jadi kalau terkait dengan perangkat pendukungnya, bangunannya, profesionalnya banyak mengacu pada standar kami. Kalau terkait keamanan IT kami mengacu pada ISO 27001 tentang sistem manajemen keamanan informasi dan seterusnya. Intinya ada tolok ukur apakah data center kita ini rentan enggak dari serangan teroris, terhadap sabotase. Tantangan itu juga bisa dilihat sebagai tantangan dari market itu sendiri. Jadi, dari market sendiri yang biasa datang ke pemain data center, data center ini comply enggak terhadap standar-standar yang ada. Jadi, kami memang didorong untuk mengikuti standardisasi internasional tersebut.
Selesai