Padang, Gatra.com - Tutupan hutan di Sumatera Barat terus menurun dari tahun ke tahun. Sepanjang tahun 2022, Sumbar bahkan disebut kehilangan 27.447 hektar atau 1,5 persen.
Angka itu berdasarkan analisis Citra Sentinel II yang dilakukan tim Geographic Information System Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, menjadi 1.717.102 hektar tahun 2022 dari total 1.744.549 hektar luasan tutupan hutan tahun 2021.
Wakil Direktur KKI Warsi, Rudi Syaf Daus menyebut, penurunan tutupan hutan di Sumbar ini disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya, diindikasikan kegiatan ilegal dalam kawasan hutan, yakni pertambangan emas tanpa izin.
Perlu komitmen yang kuat untuk menanggulangi tindakan ilegal yang mengakibatkan kehilangan tutupan hutan ini," kata Rudi yang diterima Gatra.com di Padang, Jumat (27/1).
Dia membeberkan, aktivitas ilegal yang terjadi dalam kawasan hutan itu, seperti Pertambangan Emas Ilegal (PETI) terpantau di empat kabupaten, yakni Dharmasraya seluas 2.179 hektar, Solok 1.330 hektar, Solok Selatan 2.939 hektar, dan Sijunjung 1.174 hektar.
Menurutnya, tambang emas ilegal biasanya terjadi di sungai utama atau pun sungai kecil dalam kawasan Area Penggunaan Lain (APL), hutan produksi, dan hutan lindung. Hanya saja, karena dipotret dari atas sehingga tambang dalam tanah gak diketahui.
"Dari pantauan sentinel, juga diketahui kehilangan hutan terjadi di areal yang dibuka untuk perladangan dalam skala kecil di banyak tempat," ujarnya.
Pernyataan itu juga pernah disampaikan Rainal dalam kegiatan catatan akhir tahun 2022, pada Jumat (23/12) lalu di Padang. Baginya, menjaga tutupan hutan adalah upaya meraih manfaat ekologi untuk masyarakat, seperti ketersediaan air bersih, lingkungan sejuk, dan terhindar dari bencana alam.
Lebih dari itu, menjaga tutupan hutan juga bernilai ekonomi. Seperti yang dirasakan oleh masyarakat di lanskap Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Kondisi zero deforestasi di area Perhutanan Sosial kelola masyarakat mendatangkan manfaat ekonomi melalui skema imbal jasa lingkungan.
Melalui skema ini masyarakat mendapatkan dana yang difungsikan membiayai kegiatan sosial seperti khitanan, menjadi bantuan langsung tunai (BLT) ketika pandemi, dan membiayai kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan, jelas Rudi.
Menurutnya, praktik baik dari pengalaman ini juga menjadi peluang bagi hutan yang dikelola oleh masyarakat di Sumatera Barat. Misalnya, di Lanskap Lunang Silaut Pesisir Selatan, penghitungan potensi cadangan karbon di zona lindung di 3 hutan nagari memungkinkan untuk meraih skema imbal jasa karbon.
Dia menyebut melalui kajian KKI Warsi, dari total luas area lindung seluas 2.040 ha memiliki nilai karbon benefit sebesar 377.591 tco2eq atau sebesar 102.886 ton karbon. Nilai karbon ini memiliki potensi dengan perkiraan sebesar 6 dollar per ton per hektar di pasar karbon sukarela.
Menahan laju deforestasi bukan saja salah satu bentuk komitmen Indonesia untuk memenuhi target penurunan emisi, namun menjaga tutupan hutan memiliki nilai ekonomi kepada masyarakat yang mengelolanya, terangnya.
Kepala Dinas Kehutanan Sumbar, Yozawardi juga mengakui terjadinya tutupan hutan ini. Salah satunya, akibat pembukaan jalan dan transmigrasi, perambahan pembukaan kebun, lahan, dan ilegal terbatas. Kendati begitu, di perhutanan sosial cenderung taka da penurunan tutupan.
Nanti kita juga ada program pohon asuh. Jadi setiap Aparatur Sipil Negara (ASN) akan berkontribusi untuk mengelola pohon asuh, termasuk masyarakat, atau wartawan. Satu orang nanam satu pohon, ungkapnya.