Home Info Sawit Kinerja Aneh Industri Sawit Indonesia

Kinerja Aneh Industri Sawit Indonesia

Jakarta, Gatra.com - Kening lelaki 50 tahun ini sontak mengernyit saat Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) itu menghamparkan data tentang kinerja industri sawit Indonesia 4 tahun belakangan pada acara Konfrensi Pers GAPKI di Jakarta, dua hari lalu.

Kepada orang-orang yang hadir di acara itu Ketua Umum GAPKI, Joko Supriyono bilang bahwa empat tahun terakhir produksi Crude Palm Oil cenderung melempem alias segitu-segitu saja; di angka 46 jutaan ton.

Dan selama itu pula, ekspor CPO cenderung menurun. Kalau tahun lalu ekspor minyak sawit hanya 30,803 juta ton, tahun 2021 justru masih 33,674 juta ton.

Untung saja kata Joko, walau ekspor menurun, tapi nilai ekspor justru naik. Kalau dua tahun lalu nilai ekspor di angka USD35,5 miliar, tahun lalu malah naik menjadi USD39,28 miliar.

Pertanyaan yang kemudian muncul, kenapa kening lelaki 50 tahun tadi berkerut? "Sejak 2020 kan kita sudah mandatori B30 yang membutuhkan CPO sekitar 9 juta kilo liter," ujar Gulat Medali Emas Manurung, lelaki 50 tahun tadi.

Mestinya kata Ketua Umum DPP Apaksindo ini, mandatori itu berdampak pada kinerja ekspor. Tapi faktanya justru tidak. Kinerja ekspor normal-normal saja.

Lalu dari mana sumber CPO untuk membikin ekspor itu normal saja disaat dengan berlakunya moratorium, praktis dari 2019-2022 produksi minyak sawit akan tetap stagnan.

"Pertanyaan saya, kok bisa ekspor normal saja disaat serapan di dalam negeri bertambah 9 juta kilo liter atau 15,65% dari total produksi CPO yang ada?" masih penasaran, doktor agro-ekosistem Universitas Riau ini menghitung.

Tahun ini serapan itu malah akan bertambah lantaran pemerintah telah memberlakukan mandatori B35. Untuk ini dibutuhkan 13,15 kilo liter CPO atau setara dengan 28% dari total produksi CPO yang ada.

Dalam hitungan Gulat, oleh mandatori biodiesel tadi, mestinya harga Tandan Buah Segar (TBS) terdongkrak lantaran permintaan yang semakin tinggi akibat penggunaan di dalam negeri yang meningkat.

"Oleh bertambahnya kebutuhan biodiesel di tahun ini, apakah harga TBS petani terdongkrak atau akan biasa-biasa saja, ini tentu menjadi pertanyaan kami," ujarnya.

Sebelum larangan ekspor kata Gulat, harga CPO dunia mencapai USD2.010 per metrik ton. Harga ini terjun bebas setelah larangan ekspor dicabut. Hanya di angka USD900-USD1.022 per metrik ton dan sulit beranjak naik.

"Awal tahun ini, harga CPO domestik ada di kisaran Rp11.250-Rp11.800 per kilogram. Kami mencatat, di saat produksi cenderung menurun, nilai CPO dan produk berbahan baku minyak sawit naik, tapi harga minyak sawit domestik malah anjlok pasca April 2022. Ini kan aneh," katanya.

Gulat ngotot mempertanyakan ini lantaran nasib periuk petani ada pada harga TBS nya di saat Harga Pokok Produknya yang meroket.

"HPP Juni-Desember 2022 sudah di angka Rp2.250. Sementara harga TBS hasil penetapan Dinas Perkebunan hanya berada di angka Rp1.850-Rp2.600 dan harga di kelompok petani swadaya cuma Rp1.400-Rp2.250. Artinya, kalau petani swadaya dapat harga tertinggi, itu baru hanya untuk menutupi HPP tadi," Gulat menghitung.

Sekalipun masih diwarnai rasa bingung, tetap saja Gulat berterimakasih kepada GAPKI yang selama ini telah terbuka soal data. Oleh data-data yang disajikan itu, para petani menjadi naik kelas.

"Terimakasih kepada Pak Joko yang selama kepemimpinannya telah menjadi sahabat kami para petani. Diskusi dan suplay data-data yang diberikan, sangat membantu kami. Kalau sempat GAPKI tak ada, wah...gelaplah data-data industri sawit ini," ujar Gulat.


Abdul Aziz

567