Jakarta, Gatra.com – Tempat yang tidak ramai ataupun sepi, merupakan suasana yang paling cocok untuk menghabiskan waktu “me time” pada siang jelang sore hari. Tampak beberapa pengunjung sedang sibuk dengan obrolannya, di sudut lainnya, ada satu sosok sedang duduk menyendiri di pinggir Taman Mataram, Jakarta Selatan, (20/01).
Bergaya anak remaja dengan memakai celana jeans biru, sweater hoodie biru, topi hitam, masker hitam, dan sepatu sneakers. Santai bersila, fokus dengan apa yang sedang dikerjakan, seakan tidak ada di situ. Tangan kanan sibuk mengorat-oret buku gambar, ditemani sekotak crayon penuh warna di sebelah kanannya. Coretan-coretannya berbentuk mirip barisan gedung berwarna hitam, ada yang mirip bola mata, hampir semua didominasi warna hitam, hanya sedikit warna merah di pojok kanan atas. Sebuah gambar yang menarik dan spesial di sebuah taman hijau nan asri. Tak ada kata yang keluar saat disapa ataupun ditanya. Dari kejauhan, seorang pendamping dengan setia mengamati dan menemani. Menurut pendampingnya, ia, atau sebut saja si Dia, tidak suka diganggu, karena lagi ada masalah dan sedang menjalani pemeriksaan psikologi.
Kesehatan mental masih menjadi sebuah isu penting, baik itu sebelum maupun setelah terjadinya pandemi. Dikutip dari www.who.int (10/10), diperkirakan satu dari delapan orang secara global hidup dengan gangguan mental pada 2019. Kemudian pandemi Covid-19 menyerang dunia dan menimbulkan masalah baru pada kesehatan fisik dan mental. Pada Hari Kesehatan Mental Sedunia tahun lalu, WHO bersama lembaga lainnya melakukan kampanye bertema “Jadikan kesehatan mental dan kesejahteraan untuk semua sebagai prioritas global.” Sebuah hari yang diperingati sejak 10 Oktober 1992, untuk memberi semangat dalam upaya melindungi dan meningkatkan kesehatan mental. Beberapa negara mengadakan aneka macam kegiatan pada hari peringatan tersebut. Diantaranya seperti seminar, diskusi secara online maupun tatap muka, membahas manusia dan kehidupan mentalnya, melakukan donasi, hingga kegiatan seni rupa.
Seperti yang dilakukan organisasi Loudsilence Art Therapy pada perwakilan cabang di Zimbabwe, menyelenggarakan kegiatan terapi seni untuk mempromosikan pentingnya kesehatan mental dan meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental. “Melalui ekspresif art therapy, individu berkesempatan untuk mengekspresikan diri secara bebas, guna mengungkapkan perasaan yang dialami di dalam hidup,” kata Monty P. Satiadarma, seorang psikolog klinis dan akademisi Universitas Tarumanagara. Ia pun setuju, bila diibaratkan, art therapy atau terapi seni, sebagai atau semacam keran dari ungkapan hati dan pikiran atas apa yang telah terjadi.
Sebuah terapi yang metodenya menggunakan media seni, dengan cara menuangkan atau melepaskan emosi melalui proses kreatif dari individu ke dalam bentuk karya seni. Berbagai macam jenis seni yang bisa masuk dalam terapi seni, seperti musik, tari, teater, tulisan, dan rupa. Untuk terapi seni rupa itu sendiri, dibagi lagi menjadi beberapa saluran seperti patung, kerajinan keramik, tanah liat, fotografi, mewarnai, gambar-lukis, dan lainnya.
Kisah Terapi Seni Pasien TBC
Manusia telah mengenal dan menggunakan seni untuk berbagai macam kebutuhan dari sejak lama, bahkan ribuan tahun. Pembentukan terapi seni sebagai pendekatan terapi yang unik dan diterima publik baru terjadi pada pertengahan abad ke-20. Dan kemunculnya secara mandiri dan simultan dimulai di Eropa dan Amerika Serikat. Dilansir dari situs goodtherapy.org – 2016, istilah art therapy dicetuskan oleh seorang seniman Inggris, Adrian Hill, pada tahun 1942. Ia menemukan manfaat kesehatan dari menggambar dan melukis saat pemulihan penyakit TBC yang dideritanya pada 1938. Karya-karyanya tentang garis depan Perang Dunia I, dipajang di Imperial War Museum, London. Dalam jurnal dari situs ncbi.nlm.nih.gov, National Center For Biotecnology Information, berjudul “Art Therapy: An Underutilized, yet Effective Tool” – 2014, Adrian mencatatkan idenya dalam Art versus Illness pada 1945. Ia pun kemudian dipekerjakan oleh Netherene sebagai terapis seni resmi pertama pada tahun 1946 di sebuah rumah sakit jiwa negara Inggris. Atas apa yang telah dilakukan, mengantarkannya menjadi presiden Asosiasi Terapis Seni Inggris.
Pada tahun 1940-an, beberapa penulis dalam bidang kesehatan jiwa, telah menjelaskan tentang pekerjaan mereka dalam menggunakan terapi seni kepada orang-orang yang dalam perawatan. Waktu itu, tidak ada kursus formal ataupun program pelatihan terapi seni. Mereka, penyedia perawatan sering dididik dan dilatih dengan disiplin ilmu yang lain, dengan pengawasan psikiater, psikolog, atau profesional perawatan kesehatan mental lainnya. Terapi seni juga tidak bisa lepas dari nama-nama seperti Margaret Naumburg, Hanna Kwaitkowska, Florence Cane, Edith Kramer, dan Elinor Ulman.
Mereka merupakan penulis yang berpengaruh dan memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan terapi seni, menjadi bidang dan metode yang diakui pada tahun 1940-an. Contohnya, Margaret Naumburg, sosok yang sering digambarkan sebagai tokoh utama gerakan terapi seni Amerika, kerap disebut sebagai "Ibu Terapi Seni," membangun Sekolah Walden di kota kelahirannya New York, 1915. Atau Elinor Ulman yang mengeluarkan jurnal terapi seni untuk pertama kalinya, dan memprakarsai salah satu program pelatihan paling awal di Amerika Serikat. Terapi seni telah berkembang di banyak negara, tak hanya membantu bagi yang mempunyai masalah kesehatan, tapi juga yang sehat.
Menemukan Diriku Lewat Guratan-guratanku
Membuat karyanya sendiri, atau hanya jadi penikmat, seni rupa bisa memberi inspirasi dan ketenangan. Dikutip dari, rtor.org, The Resources to Recover - 2018, berjudul “Creativity and Recovery: The Mental Health Benefits of Art Therapy” ditulis oleh Mary Ann Cohen, terapi seni dapat mengatasi masalah kesehatan mental dengan mengekspresikan emosi tanpa kata-kata, memproses perasaan yang kompleks, dan menemukan kelegaan. Berbagai manfaat yang bisa dicapai dengan terapi seni, seperti pelepasan emosi, mengelola stres, menenangkan pikiran, penemuan diri, meningkatkan penghargaan dan kepercayaan diri, memberi rasa kendali atas hidup, hingga membantu dalam mengenal dan memahami diri lebih baik.
Tak hanya untuk bantuan psikologis atau tujuan klinis, terapi ini juga bermanfaat bagi mereka yang ingin menggali, dan mengembangkan diri termasuk potensinya. “Tentu bisa, seperti untuk pengembangan pendidikan kreativitas, untuk goal setting dan lain-lain. Ada mantan mahasiswa saya yang membantu keolahragaan nasional bahkan menggunakan pendekatan art therapy untuk meningkatkan motivasi atlet,” kata Monty. Tak bisa menyebutkan nama terkait kerahasiaan nama klien atau pasien, ia menambahkan bahwa art therapy telah membantu atlet dalam meraih prestasi juara. Ada juga yang sukses menjadi sarjana karena pada masa kanak-kanak pernah mengikuti kegiatan terapi tersebut. Bagi mereka yang tidak mempunyai masalah kesehatan mental, tidak ada kewajiban untuk selalu dibantu atau diarahkan terapis seni. Ada beberapa individu yang mengalami kendala verbal, dan itu bisa dibantu dengan cara mengungkapkan diri secara visual simbolik atau naratif.
Menengok jauh kebelakang, "Ibu Terapi Seni" atau Margaret Naumburg, telah melakukan pendekatan seni kepada para pelajar. Ia percaya bahwa anak-anak yang diizinkan untuk mengekspresikan diri secara kreatif dan mengikuti mata pelajaran yang diminati, akan mengalami perkembangan yang lebih baik. Dipengaruhi dengan gerakan psikoanalitik yang lazim pada saat itu, Margaret mulai melihat proses kreatif sebagai metodologi yang mirip dengan ekspresi verbal, sebagai sarana untuk menggali pikiran dan emosi yang tertekan dan tidak disadari.
Guratan-guratan Melepas Ketegangan
Tidak perlu mahir gambar-lukis atau terlebih dahulu menjadi seorang seniman untuk menjalani terapi ini. Bagi orang yang sulit mengungkapkan perasaan melalui metode konseling, terapi seni ini bisa menjadi jawaban. “Ada terapi seni dan ada juga seni sebagai kegiatan. Terapi seni berarti melibatkan diagnosa .... ada tahapan-tahapan …. menurunkan gejala-gejala yang ada pada si klien. Kalau seni sebagai berkegiatan .... sifatnya menyenangkan, membuat kita senang,” kata Mustika Yundari, M.Psi, seorang psikolog yang telah mengikuti pelatihan terapi seni. Tidak semua psikolog boleh memberi diagnosa, hanya mereka yang telah mengambil jenjang pendidikan psikologi strata-2, Psikologi Klinis. Sedangkan orang yang boleh memberikan terapi seni adalah orang berlisensi, seperti seorang psikolog yang sudah mendapat pelatihan terapi seni.
Penggunaan terapi seni dilandasi psikoanalisa, berhubungan erat dengan katarsis yang merupakan bagian dari prinsip -prinsip psikoanalisa. Sebuah kata yang berasal dari bahasa Yunani, katharsis, artinya pemurnian atau pembersihan. Katarsis merupakan cara orang mengungkapkan diri untuk meredakan rasa ketegangan emosional. Dalam saluran Youtube Monty Satiadarma dengan berjudul Fungsi Catharsis Dalam Art Therapy, ia menerangkan tentang bentuk-bentuk katarsis yang dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti marah, menangis, teriak, dan lain-lain. Seberapa besar ketegangan gejolak emosi atau psikologis seseorang, bisa diperkirakan dari seberapa kuat tangisan atau marahnya. “Terapi seni itu ada tujuannya. Misalnya ada diagnosa depresi .... kemudian kita memberikan terapi seni sebagai media untuk terapi. Ada tahapan-tahapannya, dan pada perjalanannya akan dilihat naik-turun dari gejalanya. Itu dilakukan secara terus menerus,” ujar Mustika. Untuk mengatasi segala ketegangan gejolak emosi, terapi seni menyalurkannya ke dalam wadah seperti kertas, tanah liat, patung, dan jenis seni rupa lainnya. Sebagai harapan, proses pengungkapan diri atau penyaluran gejolak emosi tidak keluar secara sembarangan, lebih terkendali atau terkontrol melalui seni rupa.
Bentuk, warna, dan komposisi tertentu dalam seni gambar atau lukis, tidak bisa langsung mengaitkan atau berasumsi bahwa pembuatnya mempunyai masalah psikologis. “Seni itu bisa membantu seseorang untuk mengenali siapa dirinya .....dan psikolog itu bukan menganalisa, dia membantu nge-lead .... memimpin .... membimbing. Karena ini gambarnya orang lain, yang mesti dilakukan adalah menanyakan gambar tersebut artinya apa buat si pembuat,” ujar Mustika. Menurutnya, ketika sebuah gambar ada bentuk bulat-bulat atau apapun, psikolog tidak bisa atau tidak boleh menginterpretasi gambar itu. Untuk mengetahuinya, psikolog tersebut yang harus bertanya pada si pembuat. Contohnya jika membuat gambar dengan warna hitam, apa artinya buat si dia? Apa arti dari yang ia kerjakan? Rasanya apa ketika menggambar? Tidak hanya hasil gambar yang diperhatikan, tetapi dari mulai mengambil alat gambar, ragu-ragu atau tidak, langsung menggambar atau tidak, semua tetap harus diperhatikan.
Setiap orang berbeda-beda dalam mengartikan atau menterjemahkan warna, bentuk, dan lainnya, sangat personal. Dan kalau tidak bisa menyimpulkan maka akan dibantu. Psikolog cantik berhijab ini menceritakan pengalamannya dengan klien yang mengalami depresi, dari yang depresi berat hingga bisa kembali sampai titik nol. “Artinya, depresinya sangat berkurang ....memang butuh waktu, misalnya selama 2 bulan tapi intens …. seminggu 2 kali.... dan itu bisa menurunkan gejala-gejala,”ungkapnya. Dan pada suatu waktu, si klien akan menyadari masalahnya, mempunyai cara untuk mengatasinya, hingga belajar mengenali bila emosi yang “itu” akan muncul.
Terapi seni memberi kesempatan orang untuk mengungkapkan dirinya secara bebas, sebagai ungkapan perasaan atas apa yang dirasakan atau pengalaman di dalam hidup. Dan tentunya mereka, klien dan pasien dibantu oleh art therapist atau terapis terapi seni dalam mengungkapkan dirinya. Dalam prosesnya memang tidaklah mudah, dan sering terjadi hambatan. “Tergantung tingkat keparahan gangguan, fasilitas terapi yang tersedia …. dan kepiawaian therapist yang bersangkutan,”kata Monty. Menurutnya, hal yang lebih baik dilakukan seorang terapis adalah tidak mendikte, tetapi memberi saran dan pilihan atau alternatif. Kemajuan individu terhadap pencapaian hasil terapi tidak bisa ditentukan atau diukur dalam jangka waktu tertentu, menyangkut berbagai macam faktor yang bisa mempengaruhinya.
Seni bisa menjadi alternatif sebagai media komunikasi bagi orang yang susah untuk berbicara, tidak semua orang mau mengungkapkan atau digali. Dalam tawaran pilihan, terapis seni tetap memberi kesempatan kepada klien untuk memilih. Misalnya tentang warna, individu tidak harus diarahkan memakai warna tertentu, tetapi bisa memilih warna yang sesuai dengannya, inilah sifat dari katarsis. Sebagai contoh, coba ingat-ingat pelajaran menggambar waktu sekolah dulu, kadang guru mengajarkan atau mengarahkan bahwa warna langit harus biru atau rumput itu hijau. Sedangkan dalam proses terapi seni berbeda, karena bisa saja seseorang menggambar rumput dengan berwarna hitam, langitnya merah, atau gunung warnanya jingga, dan seterusnya. Bisa dikatakan, gaya gambarnya mirip dengan aliran fauvisme, percampuran emosi dan imajinasi yang berhubungan erat dengan pribadi individunya. Sebuah gaya yang mirip dengan impresionisme, tetapi menolak ide dasar peniruan alam tersebut. Tidak ada lagi batasan penyesuaian antara warna asli yang apa adanya di lapangan dengan warna yang digunakan, semua tergantung dan sesuai keinginan si pembuat.
Hal penting dari katarsis adalah kejujuran orang dalam menyingkap dirinya, atas pengalaman yang pernah dijalani secara emosional dalam kehidupannya. Dalam proses pembuatan gambar atau lukisan, sebisa mungkin tanpa menggunakan perangkat canggih elektronik atau gadget. Karena proses saat pembuatan gambar atau lukisan itulah yang merupakan proses terpenting dalam terapi seni, dimana tangan menjadi jembatan dari “dunia dalam individu” ke “dunia luar.” Menurut Monty, ketika tangan sebagai anggota tubuh bersentuhan langsung dengan sarana ekspresi, maka akan mempunyai dampak langsung yang lebih baik kepada individu tersebut, dan tentunya tanpa editing perangkat elektronik.
The Starry Night Yang Menginspirasi
Berawal ketika mendapat diagnosa bipolar pada tahun 2010, wanita cantik yang bernama Vindy Ariella harus mengunjungi psikolog dan juga psikiater untuk mendapatkan obatnya. Segala macam kegiatan dicarinya untuk mengisi waktu dan melepas emosi. Sampai pada suatu waktu, lukisan The Starry Night karya Van Gogh, menyentuh dirinya untuk berkata dalam hati, “ngerasa bahwa lukisan itu kayak gue banget.” Ia pun terpesona melihat warna, gelombang-gelombangnya, serasa masuk ke dalam lukisan itu. Mengetahui Van Gogh mempunyai masalah kesehatan mental, hatinya pun berbisik lagi, “kalau dia bisa, aku mungkin juga bisa eksplorasi untuk menggambar.”
Keinginannya direalisasikan dengan “iseng-iseng” membeli buku mewarnai untuk murid taman kanak-kanak. Ia pun mulai mewarnai dengan gaya bulat-bulat, terus garis-garis, dan kemudian munculah perasaan nyaman dan nikmat. “Dan dari situ mulai menggambar sendiri ....dan keterusan tuh .... akhirnya membuat aku berpikir, koq bisa buat relaks …. tambah fokus. Selagi dalam kondisi turun kan pikiran ke mana-mana, negatif …. biasanya aku tuangkan ke seni. Misalnya, kalau aku lagi berpikir pengen bunuh diri …. tau-tau gambar yang ku buat adalah malaikat. Nah itu kan bisa mengeluarkan ekspresi aku, ” kata Vindy. Ia pun menyadari atas apa yang dirasa, ketika melihat hasil gambar tersebut adalah sesuai dengan apa yang ada dalam pikirannya.
Pernah juga membuat gambar hanya sekedar iseng, hasilnya ulet-ulet, dan disitu baru menyadari bahwa pikirannya lagi kacau. Vindy mengaku bisa kedua-duanya, tapi lebih banyak menyadari dulu dan kemudian baru dituangkan. Cara mengungkapkan dulu ke gambar, dilakukannya ketika dalam situasi seperti tidak bisa cerita kepada orang lain, atau psikolog atau psikiater yang tidak bisa standby. Kemudian bertemu Joko Kisworo, seniman lukis yang kawakan, sampai ikutan berkarya bareng di Ancol. Tidak membuang kesempatan belajar, ilmu lukis abstrak dan segala macem diserapnya, sampai ia merasa bisa eksplorasi sendirian. “Akhirnya aku belajar terapi seni, kan dulu pernah kuliah kedokteran, jadi masih nyambung deh. Dan sekarang kegiatannya juga bergerak di bidang kesehatan, aku ambil workshop-nya. Dan sekarang berbagi ilmu dengan teman-teman, khususnya yang bipolar,”ujar wanita kelahiran Februari 1991. Obat rutin masih tetap dikonsumsi, sedangkan terapi seni sebagai penunjang, dan bukan alternatif.
Dulu karyanya sering diberi tanggal, dan kalau melihat kembali, ia “merasa begini atau begitu,”seperti merasa ada yang kurang pas. Karya-karya yang dibuat belakangan ini, memilih tema yang terasa lebih bijaksana. Sebagai contoh, karya yang terakhir dengan tema Letting Go, dibuat saat ibunya baru meninggal pada tahun 2019. Semacam mengikhlaskan kepergian sang bunda, dimana sebelumnya, waktu baru-baru terjadi, masih bertemakan “kayak masih pengen menyusul.” Sebelumnya pada 2014, pernah menggambar lukisan abstrak saat berada di titik terdalam, merasa insecure karena ada merasa unsur difitnah dan paranoid. Tetapi menurutnya, karya tersebut merupakan gambar paling berhasil dan ekspresif yang pernah ia dituangkan. Lukisannya yang berjudul “Fear in Hesitation” dengan ukuran 110 x 100 cm, acrylic on canvas, terlihat indah dan sangat dalam. Karya gambar dan lukisan yang menarik lainnya bisa dinikmati lewat website pribadinya www.vindy-art.com.
Baginya, karya-karya tersebut dan dengan tema apapun adalah saksi. “Aku masih sering menggambar. Tetapi ada fenomena, apakah ini terjadi kepada orang lain atau tidak …. karena ketika aku jauh lebih stabil, jadi lebih susah untuk menggambar, dalam konteks terapi. Dulu aku gambar`pada saat sedang ruwet atau segala macam ..... kayak mengalir saja. Alhamdulillah sekarang lebih stabil .... tetapi kalau kambuh lagi yaaaa gambar lagi,” kata Vindy sambil tertawa. Merasakan ada perkembangan bagus di dalam dirinya, termasuk menyadari, bila sewaktu-waktu bipolar itu bisa kambuh, bisa kembali lagi pada titik horor.
Kesehariannya diisi dengan kegiatan yang lebih ke arah workshop, mengajar dan membantu orang yang membutuhkan. Semacam kegiatan dengan instruksi gambar, diskusi, dan lainnya. “Mereka terlihat lebih lega karena emosinya keluar ....biasanya mereka menyadari sesuatu yang baru. Ada juga yang baru menyadari bahwa dirinya senang dalam keadaan seorang diri dan berada di dalam kamarnya, tapi merasa kesepian, sekaligus takut akan keramaian juga,”ungkapnya. Kepeduliannya sangat tulus, tercermin dengan langsung “nyemplung” sekaligus menjadi founder Bipolar Care Indonesia (BCI). Sebuah komunitas yang bergerak dalam bidang kesehatan jiwa dan berdiri sejak 27 Mei 2013 di “Warung Hijau” Ancol, dekat studio Joko Kisworo. Komunitas ini menjadi wadah bagi penyintas bipolar, pendamping, dan para individu yang peduli dengan bipolar. Mereka mempunyai berbagai program seperti edukasi, memberi dukungan, dan aktivitas lainnya. Tak hanya sampai disitu, pelukis yang satu ini juga membangun Lega Healing Studio bersama adiknya. Sebuah studio seni multidisiplin yang mengedepankan proses terapeutik, lebih kepada kelompok dan bukan individual.
Vindy tidak sendiran, ada Vindy-vindy lainnya yang juga merasakan manfaat dan pengalaman atas terapi seni, malahan sampai ada yang sukses dengan seni rupanya. Salah satunya adalah Dwi Putro Mulyono Djati, atau lebih dikenal dengan pak Wi, merupakan penderita skizofrenia serta mempunyai masalah pada pendengaran dan kemampuan berbicara, tetapi mempunyai karya-karya gambar-lukisan yang luar biasa. Kisah seni rupanya berawal ketika kedapatan suka mencoret-coret tembok tetangga, dan kemudian keluarganya mendukung dengan menyediakan peralatan gambar dan lukis. Asyik dengan kegiatan menggambar-melukis selama seharian, membuat emosi pak Wik menjadi stabil, tak ada marah atau pergi yang tidak jelas lagi. Karya-karyanya telah memberikan hasil, termasuk sampai melakukan pameran lukisan. Keberhasilannya tak lepas dari peran sang adik, Nawa Tunggal, yang selalu sayang dan setia mendampinginya, bahkan sempat membuat kolaborasi pameran lukisan bertajuk Trilogi Kenyamanan di Bentara Budaya, Jakarta, pada Oktober 2022. Menengok lagi jauh ke belakang, banyak karya-karya fantastis dan indah hasil guratan tangan dari tangan para pelukis terkenal, yang di kemudian harinya baru diketahui ada kemungkinan mempunyai masalah kesehatan jiwa.
Pelukis Besar Dengan Masalah Kejiwaan
Dunia telah mendapatkan banyak warisan karya seni rupa yang mengagumkan, lahir dari tangan seniman-seniman hebat. Mereka berasal dari berbagai negara, dengan perbedaan latar belakang, perbedaan waktu, dan kisah yang berbeda pula. Tapi banyak dari kita yang tidak mengetahui bahwa karya–karya mengagumkan tersebut, berasal dari seniman dengan masalah kesehatan mental atau jiwa. Bagi awam, mungkin agak sulit untuk mengerti hubungan antara seni dan kesehatan mental. Tapi bukan hal yang tidak mungkin bahwa gangguan psikologis atau pikiran dalam situasi-kondisi tertentu, dapat membentuk individu dan membuat karya kreatif.
Mungkin, beberapa dari mereka mengalami kesulitan atau masalah pada titik-titik tertentu dalam kehidupannya. Karya-karya seni mereka unik, indah, dan mengagumkan, bisa jadi merupakan cermin atas perjalanan hidup dan kondisi psikologisnya. Berikut beberapa contoh seniman hebat dengan masalah kesehatan mental:
Vincent Van Gogh
Salah satu seniman besar yang lahir pada 30 Maret 1853 di Zundert, sebuah desa Brabant, Belanda. Anak Sulung dari 6 bersaudara, mempunyai ayah seorang pendeta, bernama Theodorus van Gogh dan ibunya, Anna Cornelia Carbentus. Awalnya, ia anak yang pendiam tanpa bakat artistik, kemudian kerja di galeri berambisi menjadi pedagang seni. Pernah melalang buana ke Perancis, Belgia, dan Inggris. Mencoba beradu nasib sebagai asisten guru, kemudian pemuka agama, tapi penunjukannya tidak diperbarui pada 1897. Ayahnya putus asa, bahkan ingin memasukkan ke rumah sakit jiwa. Kemudian ia memutuskan untuk mengikuti saran adiknya tersayang, Theo, menjadi seorang seniman. Bahkan sebenarnya, ia sendiri tidak percaya, mengetahui atau menyadari bakat itu.
Petualangan dimulai dengan berguru ke beberapa seniman, dan membuat karya lukisan, walaupun hasratnya menggambar. Evolusi dari pemula hingga menjadi seorang jagoan sangatlah cepat. Memiliki rasa yang luar biasa terhadap efek warna, berani, harmonis, dan naluri sempurna untuk memilih komposisi, sederhana tapi mudah diingat. Berambisi juga menjadi pelukis figur. Sempat tersandung hubungan dengan Sien Hoornik, seorang pelacur, akhirnya putus pada September 1883. Bereksperimen dengan teknik impresionis, postimpresionis, dan mempelajari cetakan master Jepang, sampai akhirnya mempunyai gaya sendiri yang sangat pribadi. Tahun 1888, ia menjelma menjadi seniman dewasa, pergi ke Arles, merasa yakin dengan pilihan kariernya. Hampir semua obyek dilahapnya, termasuk portrait, berkontribusi besar terhadap seni modern dengan kombinasi warna yang berani.
Jelang akhir tahun, Desember 1888, impian dan optimisme rontok oleh tanda-tanda pertama penyakitnya, mengakibatkan terjadinya insiden memotong daun telinga. Bulan April 1889, ia pergi ke Saint-Remy, masuk rumah sakit jiwa Saint-Paul-de-Mausole. Mencoba tetap berkarya walau tak maksimal, hanya bisa menggambar dan melukis di sekitar rumah sakit. Biarpun begitu, ia sukses menghasilkan karya-karya pada penghujung tahun. Seperti lukisan The Starry Night – Saint-Remy 1889, menggambarkan pemandangan malam hari di luar jendela berjeruji besi kamar rawatnya, meskipun dilukis pada siang hari melalui ingatan. Bisa jadi itu simbol, ekspresi, kesan atas apa yang dilihat dan dirasa saat isolasi, dan kemudian konflik batin itu dikeluarkan di atas kanvas. Sekarang lukisan itu yang berada di The Museum of Modern Art, New York. Atau Tree Roots – 1890, dianggap oleh beberapa ahli sebagai lukisan terakhir sebelum kematiannya.
Pada Mei 1890, pindah ke desa Auvers-sur-Oise dekat Paris, dan sempat mengunjungi Theo. Kemudian merasa kehilangan hasrat, terlihat dari suratnya untuk Theo, namun terus berkarya dan menghasilkan banyak lukisan dan gambar. Pada 27 Juli 1890, ia terluka akibat tembakan di bagian perut, dan meninggal pada pagi hari, tanggal 29 Juli 1890 di kamarnya di Auberge Ravoux, Auvers-sur-Oise. Catatan resmi menyatakan bunuh diri, tapi ada juga pemikiran bahwa kematiannya mungkin disebabkan oleh kecelakaan. Bermunculan teori, interpretasi, hingga diagnosa secara posthumously atau pasca kematian, berdasarkan atas kisah kehidupan, karya-karya, kesehatan fisik dan mental, untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Diagnosa masalah kesehatan juga ada yang bertahan dan gugur, seperti gejala manik, psikotik – skizofrenia (1922), psikosis sikloid, gangguan kepribadian, peminum berat, delirium, epilepsi fokal, somatik, malnutrisi, gangguan suasana hati, depresi, dan bipolar (Rose dan Mannheim 1938; Jamison 1993). Sebuah kisah seniman besar dengan segala lika-liku drama kehidupan, tapi yang pasti, ia meninggalkan karya-karya hebat dan memberi cara pandang yang baru tentang seni rupa. Dan saat ini, masyarakat merayakan Hari Bipolar Sedunia setiap 30 Maret, seperti tanggal kelahiran Vincent Van Gogh. (Sumber: www.vincentvangogh.org; www.ncbi.nlm.nih.gov; www.nga.gov; ibpf.org; www.vangoghmuseum.nl)
Edvard Munch
Seniman besar ini lahir pada 12 Desember 1863 di Adalsbruk, Norwegia. Antara 1889-1909, hidup nomaden di eropa, berkarya di Perancis dan Jerman, aktif melukis mulai 1880-an. Memberi pandangan baru tentang tema, subyek, cat dan media grafisnya seperti potongan kayu dan litografi. Masuk ke dunia fotografi, untuk mengenali potensi dan sebagai alat bantu untuk gambar atau lukisannya. Impresionis, orisinal dan radikal, mungkin salah satu dari segelintir seniman yang membentuk pemahaman tentang pengalaman manusia dapat diekspresikan secara visual. Memberi bentuk gambar pada kehidupan batin dan jiwa, pelopor dalam perkembangan psikologi modern. Contoh karya seperti Melancholy–1892, Despair–1892, atau The Scream–1893, ia masukkan kondisi emosi dan psikologis dirinya ke dalam lukisan.
Mengalami beberapa peristiwa traumatis seperti kematian Laura sang ibu dan Sophie kakak perempuan karena TBC, adik perempuan mempunyai masalah kesehatan mental, kematian adik laki-laki, kakek meninggal karena TBC tulang belakang, menentang ayah tentang agama dan adat , ketakutan akan terinfeksi TBC, dan masalah kesehatan paru-paru sejak kecil. Setelah kematian ayahnya, keadaan emosional makin memburuk dan menjadi peminum alkohol berat,
Tahun 1909, ia kembali menetap di Norwegia, hingga wafat di usia 80 tahun pada 23 Januari 1944. Ketika meninggal, ditemukan alat canggih berupa tangki oksigen, alat bantu pernafasan bagian mulut, kemungkinan untuk mengobati masalah paru-paru. Dibeli dari apoteker Jerman di Berlin, 1921, sekarang perangkat itu menjadi koleksi Museum Munchmuseet, Oslo. Munch tidak pernah terjangkit TBC, tetapi sepanjang hidupnya ketakutan akan penyakit itu. Hanya penyakit paru-paru biasa, bronkitis – pneumonia, yang mengakhiri hidupnya. Terlepas apakah benar atau tidak, ia menderita depresi, kecemasan, bipolar, atau mungkin skizofrenia? Beberapa sumber mengatakan, karyanya menggambarkan ungkapan suasana hati yang tertekan, kesepian, kerinduan, putus asa sepanjang hidup, obsesi terhadap kematian, dan ketakutan yang luar biasa. (Sumber: www.edvardmunch.org; www.ncbi.nlm.nih.gov; www.thecollector.com; www.munchmuseet.no; www.cambridge.org)
Francisco Jos de Goya y Lucientes
Pelukis hebat yang lahir pada 30 Maret 1746 di Fuendetodos, Provinsi Saragozza, Spanyol. Karyanya dihasilkan pada akhir abad 17 sampai awal 18, berkisar dari Baroque hingga gerakan Romantis. Pelopor dalam artistik baru dan bentuk ekspresif baru, dianggap sebagai Master dan bapak seni modern. Menghasilkan karya-karya indah seperti Third Of May 1808, The Clothed Maja, Self-Portrait With Dr. Arrieta, dan masih banyak lagi. Perjalanan karir seninya sangat lancar, luas, dinamis, terlebih mempunyai hubungan dekat dengan para bangsawan, pemerintah dan kerajaan. Saat muda, kehidupan Goya tidak terlalu bagus, sangat akrab dengan minuman dan perempuan. Kemudian menikah dengan Josefa Bayeu pada 25 Juli 1773 di Madrid.
Beberapa penulis biografi membagi perjalanan karya Goya menjadi dua periode, sebelum dan sesudah sakit. Pada November 1792, ia sakit parah di Seville, menderita sakit kepala, pusing, tinitus, gangguan pendengaran, masalah penglihatan, dan paresis lengan kanan. Gangguan mental pun mengikutinya, seperti depresi, halusinasi, hipokondria, delirium, dan mengakibatkan penurunan berat badan secara bertahap. Dan sakitnya ini berulang, hingga akhirnya ia meninggal di Bordeaux, pada 16 April 1828. Itu setelah 14 hari sebelumnya terkena serangan trombosis serebral. Berbagai pendapat, hipotesis, teori, isu, muncul mengenai penyebab sakitnya Goya, seperti penyakit kelamin sifilis, akibat obat anti sifilis, cat warna mengandung timah, hingga keracunan dari timbal atau merkuri. (Sumber: www.ncbi.nlm.nih.gov; goya.unizar.es)
Frida Kahlo
Seniman rupa wanita Meksiko yang lahir pada 6 Juli 1907 di Coyocoan, Mexico City. Mempunyai kesehatan yang buruk dengan tertular polio pada usia 6 tahun, dan harus terbaring selama 9 bulan. Keadaannya semakin parah akibat kecelakaan bus, tulang belakang dan panggul retak. Untuk mengurangi rasa sakit dan menghilangkan bosan selama di rumah sakit, ia mulai melukis dan menyelesaikan “Potret Dirinya” yang pertama. Pada 1929, memutuskan menikah dengan Diego Rivera. Perjalanan kisah hidup sebagai seniman berkembang semakin menarik, termasuk drama pernikahan, hingga perselingkuhan. Salah satu karya yang terkenal adalah The Broken Column – 1944, gambar dirinya yang telanjang dan terbelah di tengah. Kondisi fisik semakin buruk, mempunyai masalah kesehatan mental seperti depresi, gangguan stres pasca-trauma dan bipolar. Sekitar satu minggu setelah ulang tahun yang ke 47, ia meninggal dunia di Rumah Biru kesayangannya. Menurut laporan, ia meninggal karena emboli paru, tetapi ada juga dugaan karena kemungkinan bunuh diri. (Sumber:www.fridakahlo.org; www.thecollector.com)
Mark Rothko
Anak bungsu dari 4 bersaudara, lahir di Dvinsk, sekarang menjadi Daugavpils, Latvia, pada 25 September 1903. Seniman Amerika yang mempunyai nama asli Markus Yakovlevich Rothkowitz, berkemampuan 4 bahasa, yaitu Rusia, Yiddish, dan Ibrani. Bahasa Inggris dipelajarinya saat pindah ke Amerika Serikat. Dikenal juga sebagai tokoh ekspresionis abstrak, sama seperti Pollock. Memperkenalkan karya luar biasa dengan bentuk persegi panjang dan disejajarkan secara vertikal, ukuran kanvas yang besar, dan permainan warna yang indah dan dalam. Ia berjuang melawan penyakit yang dideritanya dan terutama depresi. Sampai akhirnya pada pagi hari 25 Februari 1970, ditemukan meninggal bunuh diri akibat overdosis dan sayatan silet pada tangan kanan di studionya, Manhattan, New York. (Sumber: www.nga.gov; www.markrothko.org; www.sothebys.com)
Paul Jackson Pollock
Pelukis Amerika yang cukup berpengaruh dan sebagai tokoh dalam gerakan ekspresionis abstrak. Seniman yang lahir di Cody, Wyoming, pada 28 Januari 1912, dikenal sangat tertutup, kepribadian yang mudah berubah, dan berjuang melawan kecanduan alkohol. Anak bungsu dari 5 bersaudara, mempunyai orang tua bernama Stella May McClure dan Leroy Pollock. Ayahnya merupakan seorang petani yang kelak menjadi surveyor tanah untuk pemerintah.
Pernah tinggal di Echo Park, California, dan menempuh pendidikan di SMA Los Angeles' Manual Arts pada 1928, walaupun akhirnya dikeluarkan, setelah dikeluarkan dari SMA lainnya. Sewaktu muda pun sudah mulai mengenal budaya Indian, penduduk asli Amerika, diperoleh ketika ikut sang ayah yang sedang melakukan perjalanan survei. Pada 1930, ia pindah ke New York City, mengikuti saudaranya Charles Pollock, dan mereka berdua belajar di bawah pengawasan Thomas Hart Benton di Art Students League of New York. Sudut pandang Benton tentang pedesaan Amerika memberi sedikit pengaruh terhadap karya Jackson, sedangkan pengaruh besar yang bertahan lama adalah cara penggunaan cat yang ritmis dan kuatnya kemandirian.
Sekitar 1938 – 1942, sempat bekerja dalam proyek seni pemerintah WPA. Pada waktu yang hampir bersamaan, akibat kecanduan alkohol, ia harus menjalani psikoterapi Jung dengan Dr. Joseph Henderson (1938 – 1941), dan diteruskan oleh Dr. Violet Staub de Laszlo (1941 – 1942). Henderson, seorang ekletik yang memanfaatkan spektrum teori psikoanalitik, serta Freud dan Jung. Pada akhirnya, Henderson memutuskan untuk melibatkan Jackson melalui karya seni dan memintanya untuk membuat gambar. Itulah yang menyebabkan munculnya banyak konsep Jung dalam karya-karya lukisan Jackson Pollock.
Gaya seni lukisnya berkembang pesat, seperti mulai mengenal penggunaan cat cair pada sebuah bengkel eksperimental David Alfaro Siqueiros, seorang ahli mural Meksiko di New York City, pada 1936. Ia sempat mengamati demonstrasi lukisan pasir India pada tahun 1940-an, dan teknik meneteskan cat dari muralis Meksiko. Berlanjut ke beberapa teknik pada kanvas, salah satunya penuangan cat pada awal 1940-an. Saat pindah ke Springs, mulai melukis dengan meletakkan kanvas di lantai studio, cara tersebut dikembangkan olehnya yang kemudian di sebut dengan teknik tetesan, lempar, tuang, dan percikan, termasuk mencoba cat berbahan resin sintetis. Eksperimennya lanjut dengan mengganti kuas lukisnya dengan tongkat, jarum suntik, bahkan menggunakan tangan, pergelangan tangan, hingga seluruh tubuhnya untuk melukis. Ada yang berpendapat, ia melakukan teknik campuran dari faktor-faktor yang dapat dikendalikan dan tidak dapat dikendalikan. Beberapa ilmuan seperti Taylor, Micolich dan Jonas, meneliti karya Jackson, dan menemukan beberapa karyanya memperlihatkan sifat-sifat fraktal matematika. Nama dan karya lukisannya semakin meroket dan berada di puncak ketenaran, sebagai “periode Tetes” antara 1947 – 1950.
Bosan melajang, ia memutuskan untuk menikah dengan seniman lukis Lee Krasner pada Oktober 1945. Sebulan kemudian mereka pindah tempat tinggal ke 830 Springs Fireplace Road, Springs – Long Island, NY, di mana sekarang, tempat itu dikenal sebagai Rumah dan Studio Pollock – Krasner. Ketika masih berada di puncak karir, secara tiba-tiba ia meninggalkan gaya teknik tetes, dan warna lukisannya cenderung lebih gelap, setelah 1951. Tekanan di pundaknya sebagai pelukis ditambah urusan pribadi membuatnya menjadi tambah frustasi, tertekan, dan semakin tenggelam dalam alkoholnya. Sepertinya hanya ada 2 karya lukisan yang dibuatnya pada tahun 1955, dan tahun berikutnya tidak ada sama sekali.
Di usia 44 tahun, pukul 10:15, 11 Agustus 1956, Jackson Pollock meninggal dalam kecelakaan mobil tunggal, hanya sekitar satu mil dari rumahnya. Saat itu ia mengendarai sedan kap terbuka Oldsmobile miliknya dalam keadaan di bawah pengaruh alkohol. Terdapat dua penumpang lainnya, Edith Metzger, ikut tewas dalam kecelakaan, sedangkan perempuan simpanan atau pacarnya, Ruth Kligman, berhasil selamat. Jasadnya dikebumikan di Pemakaman Green River, Springs, dan juga isterinya di kemudian hari. Untuk mengenangnya, diadakan sebuah pameran retrospektif di Museum of Modern Art (MoMA), New York City, Desember 1956. Pameran itu diadakan lagi dengan lebih besar dan komprehensif pada tahun 1967 di tempat yang sama. Pada 1998 dan 1999, karyanya mendapat penghargaan besar dalam skala pameran retrospektif di MoMA, tentunya juga di The Tate – London. Selain mengalami tekanan dan kecanduan alkohol, ada hipotesis yang mengatakan bahwa ada kemungkinan Pollock memiliki gangguan bipolar. (sumber:www.jackson-pollock.org)
Louis Wain
Seorang ilustrator Inggris yang lahir di London, Inggris, pada tahun 1860. Dan terkenal dengan tentang gambar kucing. Saat umur 24 tahun, ia menikah dengan Emily Richardson pada 1884, tapi kebahagiaan itu berakhir 2 tahun kemudian, sang istri tercinta meninggal akibat kanker. Peter, si anak kucing, menghibur dan menamani Emily sewaktu sakit dan berbaring di tempat tidur. Saat itulah, Wain pertama kali mulai menggambar Peter dan menunjukkan minatnya terhadap gambar kucing. Tak lama kemudian mengalami gangguan cara berpikir maupun perilakunya. Dan mendapat diagnosis menderita masalah kesehatan mental pada usia 57 tahun. Beberapa sumber menyebutkan lebih spesifik yaitu skizofrenia sebagai masalahnya. Kisahnya cukup menarik, sampai dibawa ke layar lebar dengan judul “The Electrical Life of Louis Wain,” yang diperankan aktor ternama, Benedict Cumberbatch. (Sumber: www.cambridge.org; ajp.psychiatryonline.org).
Membuka Jalur Ke Dunia Lain
Perjalanan hidup manusia sangat beragam, kadang bisa berjalan mulus, dan suatu waktu harus melalui jalan menanjak berliku penuh kerikil tajam, atau bahkan macet. Mungkin, hampir semua manusia pernah mengalami masa sulit, ada yang belum? Seperti kisah Joko Kisworo ketika merasakan lika-liku itu, baik sebagai manusia maupun menjadi seniman. Hingga pada suatu waktu, ia berhasil menemukan arti dan hal yang baru dari lika-liku perjalanannya. Dunianya tak hanya lukis dan gambar, tapi juga sangat perduli kepada sesama manusia dan terlibat langsung dengan masalah kesehatan jiwa. Keterlibatan itulah yang akhirnya menjadi salah satu kisah penting dalam perjalanan hidupnya.
Berawal pada 2015, seorang anak perempuan yang mempunyai gelar S-1 kedokteran, meneruskan S-2 gizi, dan juga menyelesaikan kuliah S-1 hukum, ikut terlibat dalam komunitas bipolar. Pada saat itu, Joko sudah senang membimbing dan membantu anak-anak dengan masalah kesehatan mental dalam hal seni rupa, walaupun ia sendiri tak punya masalah dengan itu. Dari awal anak perempuan itu, sebut saja Gadis, sudah memperlihatkan ada sesuatu, setiap pukul 1 malam menghubungi Joko lewat telpon. “Waktu itu masih saya pandang sebelah mata, saya jawab seadanya. Lama-lama bicaranya sudah semakin ngawur. Kelakuannya makin menjadi manipulatif, negatif, bicaranya keras .... sampai dengan mengancam,” kata seniman berambut gondrong ini. Tak berapa lama kemudian, Gadis dikeluarkan dari grup whatsapp komunitas karena takut mengganggu yang lain.
Seiring waktu berjalan, Gadis semakin memperlihatkan “ketidak beresannya.” Dan Joko pun mengambil inisiatif untuk mengajak ngobrol biasa, seperti konseling atau sharing dengan anak-anak yang lain. Dan ternyata sang ibu telah meninggal saat melahirkannya, dan bapaknya sedang sakit di Pekanbaru, Sumatera. Menurutnya, Gadis juga mengalami kesulitan dalam dua kuliah sekaligus pada dua universitas di Sulawesi Selatan. “Waktu itu anaknya cerdas .... dia masuk lewat beasiswa, dulu dari pesantren. Kecerdasannya di atas rata-rata, 3 kali kuliah selalu beasiswa. Ambil kuliah dan selesai. Saya sendiri yang mengurus ke sana, setelah menjadi anak angkat. Dari obrolan awal terlihat cerdas, kenapa jadi begini?” ungkap Joko. Kian hari semakin error, akhirnya kesempatan datang untuk berkenalan dengan orang tuanya, yang kemudian menitipkan Gadis kepada Joko Kisworo.
Sekitar 2015-2016, ia memberi saran kepada Gadis untuk mendapatkan pertolongan psikolog, atau secara medis. Sempat dijalankan tapi biayanya sangat mahal di sana. Tak kehabisan akal, perupa itu mencoba observasi sendiri, mencari berbagai informasi, termasuk ke teman-teman BCI. “Setelah dari psikolog, disarankan ke psikiater .... dalam hati saya, ini pasti ada yang serius. Saat dibawa ke psikiater di sana, biayanya mahal sekali, obatnya sekitar 3 juta, untuk 2 sampai 3 minggu. Saya masih hafal nama obat-obatnya, dan tahu itu untuk bipolar,”kenang pria kelahiran 1971. Setelah itu, Gadis mulai bisa tenang, sempat bekerja menjadi wartawan di sebuah media. Metode terapi menggambar atau melukis juga diberikan, setiap pagi diberikan catatan untuk melakukan apa saja melalui whatsapp. Aktivitasnya menjadi lebih baik dan terarah, salat subuh pagi, diikuti kegiatan berikutnya, dan kadang sampai lembur juga. Seperti sudah menemukan ritme terbaiknya.
Pada suatu waktu, “ketidak beresan” itu datang lagi. Bisa jadi karena tidak disiplin minum obat, karena obat tersebut harus diminum pada waktu yang sama pada setiap harinya. Mungkin juga karena sibuk kerja sampai lupa minum obat, atau menemukan masalah baru di tempat kerja. Tugas menggambar pun telah ditinggalkan. Akhirnya ia berhenti kerja karena ada suatu persoalan yang membuat tidak kerasan, dan mendapat pesangon.
Situasi dan kondisi menjadi lebih kompleks, tentang hubungan dengan saudara, kemudian sang ayah meninggal pada 2018, belum lagi obat yang cukup mahal hingga jutaan. Teringat akan permintaan titip dari almarhum, Joko pun langsung segera menjalankannya. “Dari pada sekitar 8 juta di sana, lebih baik dibawa ke Jakarta saja ... di sini kost 1 – 2 juta, obat menggunakan BPJS. Karena saya seniman, yaaaa hidup seadanya dan dia mau nurut. Sampai sekarang tinggal di rumah, ikut dari tahun 2017,”kata Zoro alias Joko Kisworo. Hidupnya bukan hanya untuk masalah itu, ia pun masih mempunyai tanggung jawab besar atas keluarga tercinta, anak-isterinya.
Sempat kost di jakarta, tapi kemudian ikut pulang ke rumah, tempat kelahiran Joko di Desa Sambirejo, Bringin, Kabupaten Semarang. Ternyata Gadis juga senang, sampai masuk ke dalam kartu keluarga, dan menjadi satu keluarga. Akhirnya, Gadis menikah dengan seorang pria asal Jakarta, seseorang yang mau memahami dengan keadaannya. Perjuangan Zoro tidak hanya sampai di situ, ia juga harus memberi pemahaman kepada suaminya.
Kedekatannya dengan masalah kesehatan mental adalah bukan hal yang baru. Tidak mempunyai masalah itu, tapi peduli, bahkan sampai mempelajari dan mengamati keadaan di sekitarnya. Rasa peduli yang tinggi membuatnya terjun menjadi aktivis kesehatan mental, sebagai relawan, caregiver, hingga pembimbing dalam bidang seni rupa. Sejak 2011 sudah peduli dengan kesehatan mental, seperti menjadi pendamping dalam “Exhibition 1001 painting Persons Skizorenia “ di Pasar Seni Ancol Jakarta, membantu teman-teman Bipolar Care Indonesia (BCI), bersama Nawa Tunggal membentuk Kedai Art Brut Indonesia – 2013 (menampung karya penyandang gangguan mental), dan sebagainya hingga saat ini. Pada suatu waktu, di sebuah titik kehidupan, ia akhirnya dihadapkan kepada sebuah pengalaman untuk mengenal lebih dekat dengan situasi-kondisi “dunia lain,” dari seseorang dengan bipolar.
Mode: Off – On – Off
Sebenarnya, rasa ingin tahu akan masalah kejiwaan telah dimulai sekitar 2008 – 2010. Mengeksplorasi dan mempelajari karya maupun riwayat para seniman dunia seperti Jackson Pollock hingga Vincent Van Gogh. Sampai mendapat pemikiran bahwa seniman mempunyai atau bersinggungan dengan kegiatan yang berada di dalam lingkaran kejiwaan. “Pasar seni jadi laboratorium ku, kan banyak seniman kan ..... yang aku pelajari gak ada di sini. Jangan-jangan malah multipolar ….hahaha..... Aku sebagai seniman murni… bekerja di wilayah itu, di ranah orang yang bipolar. Imajinasinya meletup-letup, kan begitu kalau aku kerja,”ungkap Joko sambil tertawa. Ketika mengerjakan lukisan kartasisnya, tidak ada kata berhenti, kalau sedang “on” bisa kerja sehari semalam tanpa tidur, menimbulkan rasa asyik.
Mendapatkan inspirasi ketika bekerja di wilayah anak-anak bipolar, mungkin lebih ekstrim lagi, masuk ke wilayah pemikiran mereka. Seniman gondrong ini memang terbiasa mengasuh anak-anak itu, seperti berada di dalam atmosfer bipolar. “Gila nih, seandainya aku kayak mereka .... karya ku bisa gila, sangat berbeda dan mengalir sangat kuat. Vindy banyak menginspirasi karya ku. Aku pernah minta dia membuat sebuah gambar, pertama tidak direspon, tapi dua hari kemudian merespon dengan hal yang berbeda. Imajinasi yang meletup-letup,”ujarnya. Joko merasa menjadi bipolar atau seperti orang gila saat sedang berkarya, tak perduli dengan sekelilingnya, pertanyaan orang pun hanya dijawab seadanya atau tidak sama sekali. Baginya, mereka lagi di dunia nyata, dan dia sedang di “dunia lain.”
Tidak ada rasa lelah ketika “masuk ke dalam dunia bipolar,” tetapi baru terasa “rontok” setelah kembali ke dunia nyata. Setelah keluar, ia mengulas apa yang terjadi pada dirinya. Mencoba mengerti dan merasakan, apa yang dirasakan teman-teman dengan bipolar saat dalam kondisi naik atau turun. Namun ada yang spesial, ia mempunyai semacam “remote” atau sakelar untuk menyalakan atau mematikan transformasi itu. Ketika “mode on” akan muncul emosi yang meledak-ledak.
Ilmu Bahagia Dan Katarsis
Berbagai macam bentuk katarsis bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Dan seni rupa dapat menjadi pilihan untuk pengungkapan diri agar tidak keluar secara sembarangan dan terkendali. Seperti Joko Kisworo, meluapkan kartasis-nya dengan tinta hitam di atas kertas atau karton (biasanya untuk membuat nasi kotak) yang jumlahnya ribuan, sekitar 20 ribuan. “Jangankan orang awam, bahkan seniman saja kadang sering bertanya-tanya saya mau membuat apa. Karya sampai numpuk …. kadang melingkar waktu buat katarsis,”ujar Joko. Karya-karya itu disuguhkan dalam pameran tunggalnya bertajuk “Begja – Bahagia Melalui Katarsis” pada bulan Juli-Agustus 2022 di Galeri Nasional, Jakarta. Kertas atau karton yang masing-masing berukuran 8cm x 11cm, dipajang secara vertikal, dan hampir memenuhi tembok ruang pamer 1 dan 2, Gedung B. Ruang pamer 3, terpampang lukisan gigantik perjalanan Begja-nya.
Setiap orang, tidak selalu lancar dalam membuat karya, ada kalanya tersendat, atau bahkan berhenti. Dalam situasi seperti itu, ia pun memutuskan untuk rehat melukis sejenak, sambil mencari informasi mengenai masalahnya di internet dan buku. Pengalamannya tentang membaca buku psikologi yang mahal harganya itu, cukup menarik dan lucu. “Aku harus bolak-balik ke toko buku untuk nyuri-nyuri baca. Kalau baca kelamaan, taruh dulu bukunya kembali ….pura-pura pindah ke bagian buku lain, Nanti beberapa waktu kemudian, balik lagi untuk meneruskan … hahaha .... Setelah ketemu jawaban, happy, langsung pulang, dan kembali melukis dengan lancar …hehehe,”ungkap Joko dengan logat Jawa sambil tertawa. Lapak toko buku bekas Pasar Senen tak lepas dari jadi sasarannya. Berselancar di dunia maya juga menjadi pilihan, itu kalau pusing gara-gara ketemu buku berbahasa asing. Sifatnya selalu penasaran dan gigih mencari informasi bila ada masalah.
Di antara katarsis yang dominan hitam di atas putih, nyempil beberapa yang berwarna tersebar di beberapa tempat. Sebuah eksperimen sekitar 2018, membuatnya sadar, terus berpikir, dan menimbulkan pertanyan. Kenapa hanya warna hitam? Ada apa dengan aku? Pencarian jawaban pun segera dilakukan. Dan kalau sudah mengerti dan juga jenuh, ia memberanikan diri untuk mencoba hal baru seperti warna kuning, merah, dan lainnya. “Bahkan warna putih pernah dicoba, gak ada masalah. Tapi koq lucu yaaaa warna merah. Akhirnya mikir … kayaknya gak enak warna-warni .... lagian yang namanya keputusan itu hitam di atas putih deh.... hahaha,” kata Joko. Alat gambarnya juga unik, kuas diganti dengan bambu, diambil dari tirai bambu rumahnya yang dipreteli atau dicopot satu per satu. Tidak semua eksperimen dieksekusi hingga tuntas, mungkin perlu adanya kompromi dari beberapa faktor yang harus disetujui oleh dirinya sendiri.
Perjalanan seri katarsis yang berliku, seperti 70 karya berukuran 13.5 cm x 36.5 cm dengan material akrilik, tinta cina di atas kertas. Dibuat dari 2008 hingga sekitar 2013 yang jumlahnya sekitar 2500, dan menumpuk di studio. Tahun 2015, bencana banjir melanda Jakarta, termasuk kawasan Ancol. dan studionya. Dan 70 karya yang ikut dipajang secara vertikal dalam pamerannya adalah sisa yang terselamatkan. Sedangkan katarsis dari kertas karton yang berjumlah 20 ribuan dibuat dari tahun 2017 dan yang terakhir pada 2022. “Ketika aku mau menggores di dunia yang benar, rasa itu sulit diterjemahkan. Gini deh .... kita kan punya kecerdasan, akhirnya menjadi banyak pertimbangan, seperti komposisi .... jadinya malah gak jalan,” ujar Zoro dengan wajah berpikir. Bisa terlihat dalam karya katarsis kertas karton pada era awal, dikelompokkan menjadi satu bagian membentuk tanda palang merah. Menurutnya, karya itu tampak kaku dan proses pengerjaan juga lambat. Tetapi berubah menjadi cepat dan sangat bebas merdeka, ketika masuk ke dalam “dunia lain.”
Ribuan bisa diselesaikan dalam waktu 2 jam, baru sadar kalau badan lelah berkeringat, ketika remote itu kembali turn off, balik ke dunia nyata. “Aku heran ketika semua selesai dan memang terjadi dengan begitu saja. Walaupun beban yang ada di dalam pikiran tetap ada, tetapi menjadi ringan. Aku mampu melakukan itu, dan itu sebabnya aku selalu dekat dengan mereka, karena mereka adalah inspirasi ku dan di dunia ku. Banyak orang tidak percaya, tapi terserah saja, karena aku memang melakukan itu .... aku yang punya rasa ini,”ungkap Joko. Salah satu kurator Begja – Bahagia Melalui Katarsis, Prof. DR. Chryshnanda Dwilaksana, MSi, telah mengenal secara pribadi, dan sering mendengar tentang proses pengerjaan karya yang bukan terjadi sehari-dua hari itu. Menurutnya, apa yang dibuat merupakan cuilan-cuilan jiwa yang dilepaskan, tanpa memikirkan akan menjadi apa.
Simbol kebahagiaan atas kesadaran untuk mampu bisa menikmati dan mensyukuri hidup dan kehidupan. Chryshnanda melihat semangat Joko untuk mengekspresikan dan memanifestasikan ajaran Begja dari Ki Ageng Suryomentaram, tentang kebahagiaan dari jiwa yang merdeka dan memerdekakan, melalui katarsis sebagai ungkapan jiwa dalam wujud rupa. “Kesulitannya adalah bagaimana memahami apa yang dia mau. Bisa bervariasi, multi tafsir, multi interpretasi ... sehingga yang ditunjukkan bukan hanya satu atau dua maksud. Tetapi bisa dinikmati semua orang dengan tafsiran atau pendapatnya masing-masing,”kata kurator yang juga seorang Polisi berbintang dua. Menurutnya, bila manusia memahami seni sebagai bentuk pilar peradaban, maka nyali untuk berkarya adalah sesuatu yang perlu disemangati dan ditumbuh kembangkan.
Ada beberapa tulisan atau pendapat yang mencoba untuk membuat suatu analogi atau perbandingan mengenai para seniman. Baik itu seniman dari mancanegara maupun dari Indonesia yang berskala internasional. “Mempertanyakan kenapa A disamakan dengan B …. C ..... kalau saya tidak menyamakan gaya, bentuk atau rupa fisiknya. Tapi yang saya lihat adalah prinsip keseniannya dan cara berpikirnya,”ujar Chryshnanda yang juga seorang pelukis. Jiwa harus dimerdekakan, bebaskan dirimu untuk melakukan kebaikan dan perbaikan. Walaupun mungkin seumur hidup tidak berhasil, tetapi efeknya bisa menjadi inspirasi.
Ajaran Kawruh Begja bermula ketika Ki Ageng Suryomentaram (KAS) memilih keluar dari tembok istana dan menjadi masyarakat biasa, untuk mencari kebahagiaan dalam hidup yang sebenarnya. Dalam kehidupan sehari-hari, beliau melakukan pengamatan dan percobaan yang dilakukan terhadap dirinya sendiri. Seorang putra dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Bendoro Raden Ayu Retnomandojo, lahir pada kelahiran 20 Mei 1892. Seorang peneliti asal Perancis, Marcel Bonneff, dalam buku, Ki Ageng Suryomentaraman: Javanese Prince and Philosopher (1892-1962) (1993: 55), memberi gambaran tentang bagaimana riwayat, perjalanan hidup, hingga KAS bisa mencapai sebuah “kebahagiaan” yang kuncinya ada pada olah rasa atau jiwa. Kebahagiaan sejati adalah hidup yang sewajarnya, tidak kekurangan dan tidak berlebihan. Hidup sewajarnya itu dirumuskan dengan istilah NEMSA (6-SA), yaitu: sakepenake, sabutuhe, saperlune, sacukupe, samesthine, sabenere.
Dalam karya Joko Kisworo bagian ketiga yang ukurannya mirip microbus, 6 m x 3m, menggunakan judul karya dengan idiom bahasa Jawa. Terkait rumus NEMSA (6-SA), empat judul lukisan tersebut adalah Sak Enake, Sak Cukupe, Sak Butuhe, dan Sak Perlune. Sebenarnya ada lima, namun ada satu yang tidak dipajang dalam pameran itu. Warna-warna yang sangat unik, dengan kebebasan guratan pisau palet, kuas, cipratan, maupun lelehan cat.“Sebuah usaha dari seorang seniman dalam melepaskan atau pemurnian jiwanya dari tantangan-tantangan atau desakan kehidupan dia … sebagai mahluk sosial dan apa yang dia hadapi pada masyarakat itu sendiri. Itu kan pengalaman yang terus menerus … menjadikan seri tersendiri dari karyanya yang ribuan. Karya yg besar sesuai ajaran-ajaran yang dia ambil dari Ki Ageng Suryamentaram, termasuk penggunaan judul-judulnya,”kata Aisul Yanto, pelukis, founder Austumus Kultur dan pembina Balai Budaja Jakarta. Menurutnya, ada dua bentuk katarsis yang disuguhkan. Pertama, seri katarsis yang jumlahnya ribuan, bagian dari salah satu cara yang dipraktekkan kepada para anak asuhnya. Dengan sepenuh hati berdasarkan cinta kasih terhadap sesama, dengan menjunjung harkat dan martabat kemanusiaan. Kedua, kegiatan pengasuhan ini merupakan bentuk lain dari katarsis hidupnya dalam mencari Begja Kamulyan, keberuntungan dan kemuliaan bagi kehidupan dan sesama.
Banyak karya yang dibuatnya dengan metode normal, dan ok banget. Gatra pernah melihat langsung saat menyambangi di studionya, Pasar Seni Ancol, sekitar November 2021. Tapi tidak menurut Joko, ada rasa tidak puas, merasa hasilnya buruk, dan kurang maksimal. Apakah karyanya hanya bagus bagi mata orang awam? Sepertinya tidak, buktinya banyak yang terjual, bahkan beberapa galeri meminta hal seperti itu. “Tetap dibeli orang, walaupun sebenarnya tidak ada niatan untuk menjual. Kalau studio di Ancol kan kayak gitu, dijembreng (dipajang seadanya). Terus ada bule Amerika lihat, dan mereka langsung memilih ..... this one! ...Dalam hatiku bertanya …. koq wong gelem tuku (kenapa orang mau membeli),” ungkap Joko . Baginya, karya yang dipamerkan dengan proses transformasi adalah karya yang paling bagus, karya dengan rasa kemerdekaan. Sedangkan karya lainnya tetap menarik, tapi hanya sebatas karya realistis saja, di mana komposisinya terkontrol, warnanya penuh dan terukur.
Rata-rata proses pengerjaannya cukup singkat, 1 hingga 2 malam, tapi ada juga yang sampai 1 – 2 minggu, seperti karya “hijau” yang tidak dipajang. Menurut Joko, ketika ide datang harus dikerjakan secepatnya, kalau berlama-lama akan menjadi basi. “Saat membuat karya yang sebesar ini, aku gak bisa mengontrol komposisi, karena membuatnya di bawah dan tempat juga terbatas … jadinya main feeling. Dan baru bisa melihat setelah dipajang di tembok .... ternyata komposisinya bisa pas. Feeling yang bermain saat masuk ke dunia itu,”ungkap Joko. Cara mengerjakannya mirip Jackson Pollock, melukis dengan menaruh kanvas di bawah atau lantai. Proses awal membutuhkan waktu berbulan-bulan, tentang pemilihan konsep Begja Bahagia. Ternyata ada keterikatan emosional saat mempelajari ilmu tersebut. Tentang cara bagaimana mudahnya untuk bahagia tetapi kadang orang abai, bahwa sebenarnya bahagia itu mudah dan sederhana. Dan diekspresikannya dengan karya berjudul “Sakbutuh 'e,” artinya dalam hidup bukan keinginan yang dikejar, tapi kebutuhan hidup, dan itu hanya seperlunya.
Ada satu hal yang menarik dari seniman ini, yaitu tentang warna hijau. Dirinya sering merasa tidak sukses mewujudkan dimensi hijau, walaupun inspirasi itu datang saat blusukan. Mengaku suka warna yang benar-benar hijau, apalagi ketika pergi ke pegunungan. “Entah kenapa dengan hijau. sudah beberapa kali mencoba. Ingin menghasilkan warna hijau cerah yang matang ..... akhirnya jadi warna-warna coklat tua, kan fondasi dari hijau kan, kadang merah, kuning, biru .....akhirnya kecampur, lepas lagi hijaunya,” ujarnya. Mencoba mendapatkan hijau pada lukisan besar ke 5 yang tidak dipajang, namun belum memuaskan. Dan itu menjadi pertanyaan lagi buatnya, mungkin ada trauma dengan hijau. Dulu banyak hutan jati di kampungnya, merasa sangat bahagia melihat hijau di mana-mana. Dan sekarang pemandangan itu sudah tidak ada, gundul dan menjadi sulit air.
Seorang psikolog klinis dan juga pelukis, Monty mengenal Joko sebagai seorang seniman visual kreatif dan banyak mengungkapkan ekspresi seni dalam bentuk lukisan abstrak komposisional yang memiliki kandungan ekspresi yang kuat. “Selama ini beliau membuat lukisan satu persatu, tetapi kebetulan ada hal yang menggugah untuk mengungkapkan diri dari waktu ke waktu berupa rangkaian ungkapkan pikiran dan perasaan yang kemudian disusun dalam bentuk goresan2 (notasi gejolak psikologis) pada sejumlah layer proyeksi seukuran kartu nama,”ujar Monty. Kalau Joko merunut, hal tersebut kemungkinan menjadi bentuk jurnal rangkaian perjalanan emosional dari saat ke saat pada suatu rentang waktu tertentu.
Seputar Pendidikan Terapi Seni
Perkembangan terapi seni yang cukup pesat tak bisa lepas dari sumber daya manusia, maupun tempat menimba ilmunya. Di beberapa tempat seperti di belahan eropa, Inggris, dan Amerika Serikat, sudah sangat maju karena mereka telah berjalan lebih dulu. Untuk kawasan asia, ada beberapa tempat pendidikan tinggi yang mempunyai jurusan khusus terapi seni, dan terapi seni sebagai mata kuliah. Contohnya seperti Universitas CHA yang berlokasi di Gyeonggi-do, Korea Selatan, mempunyai program pascasarjana terapi seni. Menyediakan pendidikan pengobatan terpadu seperti teori terapi seni, teknik aplikasi, psikologi, dan kedokteran yang diperlukan untuk bidang klinis. Selain itu, mereka juga memberikan pendidikan sistematis untuk ahli terapi seni klinis. Kampus ini aktif dalam pertukaran internasional, bekerja sama dengan universitas dan lembaga pelatihan klinis terbaik di 17 negara termasuk Amerika Serikat. Kelebihan lainnya adalah mempunyai klinik terapi seni klinis di Rumah Sakit CHA.
Untuk kawasan Asia Tenggara, LASALLE College of the Arts yang terletak di Singapura, menjadi program pascasarjana terapi seni pertama yang ada di Asia Tenggara. program MA Art Therapy. Perguruan tinggi yang berdiri sejak 1984, memberikan program pelatihan intensif berbasis praktik yang menekankan pembelajaran pengalaman melalui pembuatan seni, refleksi dan penelitian. Program pelatihan telah sesuai dengan ANZACATA, sebuah asosiasi yang mewakili terapis seni kreatif di Australia, Selandia Baru, dan kawasan Asia – Pasifik. Sebuah tempat pendidikan dan tempat mempersiapkan para lulusan untuk menjadi profesional Terapis Seni Terdaftar (AThR). Lembaga pendidikan ini mendapat dukungan dari Kementerian Pendidikan Singapura. LASALLE, rencana ke depan akan menjadi bagian dari University of the Arts Singapore yang baru, dan pembukaan penerimaan tingkat pertama dilaksanakan pada tahun 2024.
Di tanah air, perkembangan terapi seni sudah semakin baik namun belum maksimal, termasuk dalam bidang pendidikan sebagai program khusus dalam perguruan tinggi. Walaupun dalam situasi seperti itu, forum-forum diskusi atau workshop-nya sudah bermunculan. “Setahu saya belum terlalu berkembang sebagai program khusus di perguruan tinggi, kecuali menjadi bagian program tertentu seperti di Universitas Tarumanagara, untuk S2-Psikologi klinis. Mungkin pemerintah belum banyak memahami hal ini, walau beberapa anggota kami ada yang aktif di pemerintahan …. sebagai praktisi kesehatan di rumah sakit,”ungkap Monty. Walaupun angin segar dari pendidikan tinggi belum begitu segar, namun pelatihan-pelatihan terapi seni yang berbasis komunitas sudah cukup menggeliat. Contohnya seperti Indonesian Art Therapy Community (IATC), beranggotakan para tenaga profesional kesehatan, terutama psikolog klinis dan psikiater, dengan jenjang pendidikan minimal S-2. Mereka memperoleh pelatihan khusus dasar 36 jam dan pelatihan tambahan lain untuk mengatasi gangguan khusus. Para anggota yang telah menyelesaikan pelatihan akan terakreditasi di bawah Himpunan Psikologi Indonesia dan Ikatan Psikologi Klinis. Dan masih ada beberapa komunitas lainnya, termasuk yang spesifik, artinya berdiri dan bergerak atas dasar kesamaan diagnosa.
Perupa Juga Penyusur Jiwa
Pernahkah kita menyadari bahwa sebenarnya dari kecil hingga pendidikan menengah, sudah dikenalkan dengan namanya menggambar. Dan biasanya menjadi salah satu pelajaran favorit para pelajar, selain seni musik dan olahraga. Termasuk Monty Prawiratirta Satiadarma, seorang psikolog klinis yang juga pakar dalam terapi seni, dan sekaligus pelukis. Dari kecil sudah mencintai beragam seni, terutama menggambar dan melukis. Bahkan mendalami seni lukis batik secara otodidak bersama beberapa rekan yang waktu dulu dari Mini Gallery Yogya. Karya-karyanya sangat menarik, seperti hewan, tanaman/tumbuhan, lanskap pedesaan, lanskap pegunungan, lanskap kota dari kejauhan, dan lanskap salah satu sudut di dalam kota yang sepi. Dan itu semua bisa dinikmati dalam galeri pada situs pribadinya.
Perjalanan hidupnya senantiasa diwarnai dengan gambar dan lukisan, hingga saat ini, menjalani aktivitas sebagai psikolog klinis, tenaga pengajar dan konseling. Alumni tahun 1976 dari SMA Kolese Kanisius Jakarta ini, melanjutkan pendidikan tinggi ke Fakultas Psikologi Universitas Indonesia hingga meraih doktorandus pada 1982. Hatinya tergelitik terapi seni ketika sedang berlatih menangani pasien sewaktu menjalani pendidikan S-1. Waktu itu ada salah satu pasien anak yang enggan bicara, tapi akhirnya mau berinteraksi dengan baik dan bercerita banyak setelah melihat gambar, atau dengan bantuan visual. Sempat terbersit mendalami art psychology, tapi rasa penasaran akan terapi seni membuatnya memilih melanjutkan S-2 Art Therapy di Emporia State University, Kansas, Amerika Serikat.
Kebetulan kampus tersebut mempunyai hubungan erat dengan Menninger Foundation, sebuah lembaga psikiatri terkemuka di Amerika. Di mana koordinator programnya adalah Robert E Ault, president ke 2 dari American Art Therapy Association, dan Monty merasa beruntung bisa mendapat supervisi langsung darinya. Bahkan seusai menyelesaikan tesis pada 1986, Robert mengajaknya untuk magang di Yayasan Menninger, Topeka, Kansas. Ketika orang-orang sulit masuk ke yayasan yang sangat kompetitif tersebut, Monty malah mendapat kehormatan diajak masuk program magang. Bahkan sempat mencicipi kerja di Emporia Hospital dan Topeka Memorial Hospital, Kansas. Entah doyan atau hobi belajar, ia kembali masuk kampus mengambil S-2 bidang Psychology Marriage Family Child Counseling di College Of Notre Dame/Notre Dame de Namur University, Belmont, California. Di sana tak hanya kuliah, tapi juga mengikuti pelatihan di East Palo Alto Community Center, California.
Sewaktu magang di Yayasan Menninger, Monty bertemu dengan Dr. Tetsuro Takahashi, seorang psikiater yang memberi rekomendasinya untuk menimba ilmu di Jepang. Atas rekomendasi itulah, ia terbang ke negara sakura demi mendalami terapi seni di Mikuni Hill Hospital – Osaka, di bawah pengawasan Dr. Syuzo Naka, juga pada Chiba Mental Hospital dengan Dr. Tsuneo Semba. Kedua psikiater tersebut banyak menggunakan kegiatan seni dalam treatment di rumah sakit yang mereka kelola. Dua gelar strata 2 tidak membuatnya berhenti menggali ilmu, terbukti dengan berhasil lulus S-3 bidang Hypnotherapy dari American Institute Of Hypnotherapy di Irvine, California, pada 2000. Setelah mengembara mencari ilmu di luar negeri, pria yang gemar belajar ini akhirnya kembali ke tanah air. Dan masuk lagi ke kampus untuk meraih gelar S-3 yang kedua pada tahun 2006, dalam bidang Psikologi di Universitas Indonesia. Pada 1994, ia menjadi salah satu pelopor berdirinya Fakultas Psikologi berdiri di Universitas Tarumanagara, dan sampai saat ini masih setia memberi kuliah di kampus.
Dunia pendidikan, kesehatan jiwa, dan seni rupa telah menyatu menjadi bagian perjalanan hidup yang tak terpisahkan. Banyak mahasiswa yang telah dibimbing dan dibekali dengan art therapy. Bahkan beberapa dari mereka berhasil meniti karier dalam bidang psikologi dengan cemerlang, khususnya terapi seni. Beberapa waktu yang lalu, tim-nya ikut membantu korban gempa di Lombok dan Palu, dengan pendekatan art therapy untuk mengatasi gejala depresi. Seperti lukisanya, hidupnya pun penuh warna, ia pernah ikut membantu keolahragaan nasional hingga mendampingi para atlet dalam olimpiade, Asian Games, dan Sea Games, periode 1990 – 2000. Dalam keorganisasian, aktif dalam berbagai asosiasi internasional, dan masih menjadi salah seorang konselor dari Internasional Academic Forum yang bermarkas di Nagoya, Jepang. Di tanah air, menjadi anggota dan salah seorang pengurus Himpunan Psikologi Jakarta. Selain itu, ia juga masih aktif dalam mempresentasikan karya ilmiah dalam pertemuan internasional, dan memberi ceramah publik atau lokakarya di dalam negeri.
Minatnya terhadap art therapy telah tumbuh sejak kuliah sekitar tahun 80-an, dan masih menggunakan pendekatan tersebut ketika memberi bantuan psikologis untuk masyarakat. “Harapan saya mungkin tidak terlalu muluk …. hanya sekedar bisa memanfaatkan keterampilan ini untuk membantu banyak orang yang membutuhkan, khususnya dalam menghadapi masalah psikologis,” kata pria yang mempunyai gelar Spsi, MS/AT, MFCC, DCH, Dr, Psikolog. Menurutnya, setiap gambar atau lukisan mempunyai cerita atau catatan tersendiri di balik proses pembuatannya. Dan catatan-catatan itu merupakan kisah perjalanan hidup yang dapat membantu dalam mengingat, mencerna, menghayati akan pengalaman masa lalu, sebagai alat untuk menentukan langkah berikutnya di masa depan.
Berbagai manfaat dapat diperoleh dari terapi seni, baik untuk kesehatan jiwa, menggali potensi, hingga menuai hasil dari karya seni itu sendiri. Apalagi gambar-lukisan ekspresionis terapi seni sudah diakui, dikenal, dan cukup laku di pasaran. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh pihak-pihak terkait mengenai kesehatan jiwa, terutama dalam memberi edukasi kepada masyarakat dan mengikis stigma negatif terhadap orang dengan masalah kesehatan jiwa. Dukungan teman, kerabat, lingkungan, dan keluarga sangatlah penting bagi individu dengan masalah psikologis, untuk membantu mereka dalam menjalani hidup yang lebih baik.