Jakarta, Gatra.com - Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Partai Nasional Demokrat (NasDem) Nyat Kadir bingung dengan kasus proyek Meikarta yang menuai kekisruhan. Pasalnya banyak konsumen hingga sekarang tak kunjung menerima unit apartemen yang dijanjikan pihak pengembang sejak 2019 lalu.
"Model bisnis macam apa ini?" ujar Nyat Kadir dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VI DPR RI di Komplek Parlemen, Rabu (25/1).
Diketahui, sejumlah konsumen bahkan telah melunasi pembayaran unit apartemen secara penuh. Proyek pembangunan apartemen Meikarta justru mangkrak dan tidak ada kejelasan dari pihak pengembang, dalam hal ini PT Mahkota Sentosa Abadi, yang merupakan anak perusahaan Lippo Group milik James Riady.
Baca Juga: Andre Rosiade Geram Pihak Meikarta Mangkir RDPU Komisi VI DPR
"Kalau kita beli cash (tunai) barangnya kita langsung ambil. Ini gimana bisa ketipu, ada hipnotis atau gimana kira-kira?" tutur Nyat Kadir lagi.
Anggota Komisi VI Daerah Pilih (Dapil) Jawa Barat VII Daeng Muhammad mengungkapkan ihwal transaksi unit Meikarta yang dilakukan dari salah satu konsumen cum korban Meikarta.
Sambil memegang dokumen transaksi tersebut, Daeng menuturkan terdapat bukti pembayaran penuh satu unit apartemen di Meikarta seharga Rp285 juta. Transaksi itu dilakukan korban pada tahun 2017 silam saat iklan Meikarta secara masif tersebar di berbagai media promosi.
Baca Juga: Mangkir, DPR Ingatkan Manajemen Meikarta Bisa Ditahan
Secara rinci, Daeng menjelaskan korban telah membayar uang muka (DP) sebesar Rp26 juta, biaya profesi Rp2 juta, dan pelunasan unit sebesar Rp257 juta.
"Tapi masalahnya orang sudah membayar dengan cash 2017 sampai hari ini belum jelas unitnya, artinya apa yang dilakukan Meikarta adalah penipuan terhadap konsumen," ucap Daeng dalam kesempatan yang sama.
Lebih lanjut, Daeng pun heran dengan gugatan yang belakangan dilayangkan oleh pihak Meikarta dan Bank Nobu kepada para konsumen Meikarta yang melakukan unjuk rasa. Seperti diketahui, korporasi itu melakukan gugatan perdata terhadap para konsumennya ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan nilai mencapai Rp56 miliar karena dianggap mencemarkan nama baik perusahaan.