Oleh:
Habe Arifin
Prestasi anak NTT yang meraih juara dunia sempoa viral di mana-mana. Kabarnya dia mampu mengalahkan 7000 anak dalam kompetisi Abacus yang diikuti peserta dari seluruh dunia. Acara ini diselenggarakan jaringan kursus sempoa internasional dalam Internasional Online Abacus Olympiad.
Nama Nono, siswa SD di Kupang, akhirnya viral di mana-mana.Semua bertepuk tangan untuknya. Banyak orang berdecak kagum. Seperti oase, satu anak asal NTT dianggap bak pahlawan.
Pada saat yang sama, Indonesia sedang menghadapi problem klasik tentang rendahnya mutu pendidikan membaca dan matematika. Program penilaian pelajar internasional yang diselenggarakan negara maju OECD menempatkan Indonesia pada posisi level terbawah dari seluruh dunia. Angka PISA membaca (Programme for International Student Assessment) paling buruk dengan angka 371. Skor tahun 2018 ini sama persis dengan skor membaca anak Indonesia tahun 2000. Skor matematika 379. Keduanya berada pada level merah menyala. Skor ini akan makin buruk setelah OECD mengeluarkan hasil test-nya setelah masa pandemi terjadi. Makin buruk saja skor kompetensi anak-anak negeri ini.
Buruknya mutu pelajar di tanah air bertahun-tahun lamanya nyaris tak terdengar, tak ada yang peduli dan diabaikan. Kisah tragis tentang mutu anak Indonesia dibandingkan 79 negara di dunia cuma dianggap angin lalu. Siapa yang peduli? Tak ada jari netizen yang memviralkan duka bangsa ini. Juga para wakil negara bangsa ini. Bila perlu, bau busuk itu ditutupnya rapat-rapat.
Bangsa ini tak pernah terganggu dengan “prestasi” papan bawah anak Indonesia dalam membaca dan matematika. Laporan PISA tak pernah benar-benar dicarikan obatnya. Pemerintah justeru sibuk membangun akses agar siswa terus terhubung dengan berbagai aplikasi pendidikan. Padahal Human Capital Indeks Indonesia (HCI) tahun 2020 yang dilaporkan World Bank menunjukkan semua jenis akses belajar siswa hanya memperbesar siswa berada di lingkungan belajar tapi TIDAK “belajar” (tidak mengerti tentang materi yang diajarkan). Dalam bahasa HCI, kompetensi siswa SMA kelas 2 hanya SETARA dengan siswa kelas 6 SD. Dalam bahasa World Bank telah terjadi functionally illiterate. Dalam bahasa saya: Inilah DISFUNGSI LITERASI.
Mohon maaf saya terpaksa membandingkan dua hal ini. Sama-sama mengalami masalah, warga bangsa ini punya perlakuan berbeda antara disfungsi ereksi dengan disfungsi literasi. Jika terjadi disfungsi ereksi, sikap kita jauh lebih cepat tanggap daripada jika terjadi disfungsi membaca apalagi disfungsi matematika.
Jika “burung” itu hanya menggantung, tak bisa “bersiul,” seisi dunia serasa gelap. Harga diri lelaki jatuh. Para isteri pergi ke dukun dan dokter. Mahar Mak Erot pun meroket. Harga jamu herbal dan kopi greng melejit. Semua jalan ditempuh untuk mengembalikan simbol keperkasaan lelaki yang telah rontok.
Perlakuan sangat berbeda ketika kita terkena penyakit disfungsi literasi. Ketika anak sekolah bisa membaca tapi tak memahami artinya, kita biasa-biasa saja menanggapinya. Ketika anak kita bisa menghafal tambah kurang kali bagi, tapi tak paham konsep operasi bilangan, sikap kita acuh tak acuh. Bahkan ketika negara-negara di dunia memvonis mutu generasi bangsa kita tertinggal dari negeri konflik Palestina atau Kosovo, kita diam dan pura-pura tidak tahu.
Tak ada “herbal” yang benar-benar dibuat untuk mengembalikan keperkasaan kompetensi literasi anak Indonesia. Tak ada semacam kegentingan dan kegawatdaruratan yang mengalir dalam darah kita. Tak ada Task Forces Team untuk mengatasi kegentingan itu.
Meski vonis itu menyakitkan, siapa yang peduli. Bayangkan anak yang sekolah di jenjang SMA kelas 2 di negeri ini dikatakan hanya punya kompetensi setingkat anak SD kelas 6. Alih-alih memperbaiki keadaan, banyak dari kita justeru menyalahkan organisasi yang melakukan riset. What..?
Sekali lagi, disfungsi ereksi memang lebih seksi dibahas dan ditanggapi sebagai gawat darurat daripada disfungsi literasi. Anak yang tak mampu menguasai fungsi membaca dan matematika tak merisaukan keluarga, Pak Kades, Bu Camat, Pak Bupati, Pak Walikota, Bu Gubernur,dan Mas Menteri. Tak ada sikap kegawatdaruratan yang ditunjukkan. Semuanya: biasssaaaaa...saja.!!
Mau apalagi, memang beginilah faktanya. Disfungsi ereksi memang lebih seksi dikisahkan daripada disfungsi membaca, apalagi (sekali lagi) disfungsi matematika. Padahal keduanya sama-sama membuat dunia menjadi gelap. Cita-cita menjadi negara maju tahun 2045 dengan kemampuan PDB ke-4 dunia, dengan kompetensi SDM jauh di bawah level dunia. Entahlah, apa yang akan terjadi berijutnya. Kita sekali lagi lebih peduli dengan disfungsi ereksi. Kita abai dan cuek terhadap disfungsi literasi.
Jadi, berharap rapor merah kompetensi anak bangsa bisa viral dan menjadi perhatian seluruh elemen di negeri ini memang hanya tinggal harapan. Harapan melihat masyarakat bergerak untuk membuat obat dan mengobati jutaan anak Indonesia tetap tak boleh kendor. Satu-satunya harapan adalah harapan itu sendiri. Kita tetap berharap ada harapan bagi generasi Indonesia menjadi generasi emas 2045. Harapan itu kita ciptakan dan kita hadirkan, dengan ikhtiar sebisanya, sekuatnya, semampunya.
Karena itu, patut diapresiasi, jika ada sebagian dari elemen masyarakat yang mulai peduli dengan fenomena disfungsi literasi ini. Mereka mengobati disfungsi literasi melalui Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka) dan Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Membaca (Gernas Tastaba). Semoga ikhtiar kecil itu menjadi obat mujarab untuk mengembalikan literasi anak Indonesia menjadi semakin kuat dan perkasa.
*mantan wartawan dan penulis buku “Buku Hitam Ujian Nasional”, NU Circle