Washington, D.C, Gatra.com - Amerika Serikat (AS) mengatakan bahwa pembakaran Alquran oleh aktivis sayap kanan adalah tindakan yang “menjijikan” dan mungkin merupakan sikap untuk mengganggu persatuan di NATO, karena Turki kembali mempertanyakan tawaran keanggotaan Swedia.
AFP Selasa (24/1) melaporkan, politisi Swedia-Denmark Rasmus Paludan pada hari Sabtu membakar kitab suci Islam di depan kedutaan Ankara di Stockholm, tepat ketika Turki masih menahan aplikasi Swedia untuk memasuki aliansi transatlantik, itu.
"Membakar buku-buku suci bagi banyak orang adalah tindakan yang sangat tidak sopan," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price kepada wartawan.
"Ini menjijikkan keji," katanya.
Baca Juga: Al-Azhar Mesir Kecam Pembiaran Swedia atas Pembakaran Al-Quran
Price mengatakan pembakaran itu adalah ulah seorang provokator yang mungkin sengaja berusaha membuat jarak antara dua mitra dekat -- Turki dan Swedia.
“Dia mungkin sengaja berusaha untuk mempengaruhi diskusi yang sedang berlangsung mengenai aksesi Swedia dan Finlandia ke NATO," kata Price.
Price malah membela sikap Swedia, dengan mengatakan bahwa negara itu menjunjung "kebebasan berserikat" dan bahwa suatu tindakan dapat melanggar hukum dan pada saat yang sama mengerikan.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang memiliki akar politik Islam, menyuarakan sikap kemarahannya atas insiden tersebut, termasuk izin Swedia untuk menggelar unjuk rasa.
Baca Juga: Legislator F-PKS Minta Swedia Tindak Rasmus Paludan terkait Pembakaran Al-Qur'an
Erdogan mengatakan bahwa Swedia seharusnya tidak mengharapkan dukungan untuk bergabung dengan NATO, setelah dia sebelumnya menuntut agar Stockholm mengambil tindakan terhadap militan Kurdi yang dianggap Turki sebagai teroris.
Swedia dan Finlandia tahun lalu mendaftar untuk masuk ke aliansi Barat, ---menghapus keengganan sebelumnya untuk mengganggu Rusia-- setelah tetangga raksasa mereka menginvasi Ukraina, yang gagal masuk NATO.
Baca Juga: Pembakaran Alquran Picu Kerusuhan Hebat, 26 Polisi Terluka
Di bawah aturan aliansi, semua anggota harus menyetujui anggota baru. Hanya Turki dan Hongaria yang belum memberikan lampu hijau, dengan Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban berjanji bahwa parlemen akan melakukannya bulan depan.