Mataram, Gatra.com – Mantan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lombok Utara, dr. Syamsul Hidayat, terdakwa korupsi pengadaan ruang operasi dan ICU tahun 2019 divonis lima tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
"Putusan Majelis Hakim PT Mataram menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama pada PN Tindak Pidana Korupsi Tipikor Mataram," kata Humas PN Mataram, Kelik Trimargo, dalam keterangan resminya diterima pada Senin (23/1).
Baca Juga: Kejagung Tangkap Tersangka Korupsi RSUD Bangkinang Rugikan Negara Rp8 Miliar
Menurut dia, terdakwa dinyatakan tetap terbukti bersalah secara bersama-sama dengan terdakwa lain melakukan tindak pidana korupsi dalam pengerjaan proyek yang masuk dalam masa rehabilitasi pascagempa Lombok di tahun 2018, sesuai Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor: 15/Pid.Sus.Tpk/2022/PN.Mtr, tanggal 24 Oktober 2022.
Terdakwa terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Selain penjara selama 5 tahun, terdakwa juga dapat pidana denda sebesar Rp300 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.
"Terkait upaya hukum lanjutan yang akan ditempuh, haknya penuntut umum dan terdakwa dan sudah ada prosedurnya,” ujarnya.
Menurut dia, dalam kasus korupsi ini, ada empat orang terdakwa di antaranya, E Bakri selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) serta rekanan Darsito dan konsultan pengawas Sulaksono dan dr Syamsul Hidayat selaku kuasa pengguna anggaran (KPA) dalam proyek tersebut.
Vonis untuk terdakwa E Bakri dan Sulaksono sama dengan dr Syamsul Hidayat, yakni pidana penjara 5 tahun dan denda sebesar Rp300 juta subsider 3 bulan. Sedangkan terdakwa Darsito, dijatuhi vonis pidana badan selama 7 tahun dan denda Rp300 juta dengan ketentuan apabila terdakwa tidak mampu membayar denda maka diganti dengan kurungan penjara selama 3 bulan.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menghukum terdakwa untuk membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp1,7 miliar subsider 2 tahun.
Keempat terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) junto Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sebagaimana diketahui, perkara yang ditangani pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB ini berawal dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan NTB. Muncul catatan kekurangan pekerjaan proyek dengan nilai kerugian Rp212 juta. Kerugian itu muncul dalam status pekerjaan yang sudah diserahterimakan 24 Februari 2020.
Baca Juga: Kejagung Tangkap Buronan Korupsi RSUD Aloe Saboe
Pihak kejaksaan pun menindaklanjuti temuan BPK tersebut ke tahap penyelidikan. Sampai pada proses penyidikan, pihak kejaksaan memperoleh hasil audit inspektorat dengan nilai kerugian negara sedikitnya Rp1,57 miliar.
Proyek tahun 2019 ini dikerjakan oleh PT Apro Megatama yang berdomisili di Makassar, Sulawesi Selatan. Pengerjaan proyek tersebut menelan dana APBD Rp6,4 miliar.