Labuhanbatu, Gatra.com- Belum lagi hilang ingatan, pesta demokrasi pemilihan Legislatif, Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 silam. Kini, kembali masyarakat dihadapkan adanya tahapan pelaksanaan Pemilu tahun 2024 mendatang yang jatuh pada tanggal 14 Februari 2024.
Mungkin, terbilang masih segar kabar kala itu banyaknya petugas badan adhock khususnya Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal akibat berbagai faktor.
Mengutip keterangan Ketua KPU RI, Arief Budiman pada beberapa media tahun 2020 lalu, mengungkapkan total 894 petugas meninggal dunia dan 5.175 mengalami sakit. Bayangi, angka yang miris didengar.
Pun begitu, pada perhelatan Pemilu serentak tahun 2024, berduyun-duyun masyarakat masih tetap ingin berpartisipasi menjadi petugas badan adhock.
Sampai-sampai, sistem ujian online perekrutan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan ujian tertulis Petugas Pemungutan Suara (PPS), diikuti dengan jumlah fantastis dari total yang dibutuhkan.
Layaknya, peristiwa kelam pesta demokrasi 'makan korban' Pemilu 2019, tidak patut dicari kambing hitam. Penyelenggara, Pemerintah dan stakeholder sebaiknya mencari hikmah dari semua kejadian.
Berangkat dari sana, penulis mencoba mewawancarai sejumlah petugas KPPS dan PPS Pemilu 2019 dengan waktu berbeda.
Bincang-bincang digelar di lokasi berlainan, sedikit menyimpulkan faktor 'hitam' yang penting dilakukan bersama guna perubahan.
Dengan tidak mengungkap identitas nara sumber, penulis merangkum berbagai dasar banyaknya petugas penyelenggara yang kewalahan bahkan menghembuskan nafas terakhir.
Saat proses pemungutan dan penghitungan suara atau biasa disebut Putungsura, di sanalah masalah timbul. Biasanya, petugas KPPS akan menjadi tumbal.
Tidak hanya debat, bentakan, caci maki, umpat serapah dilontarkan pemilih, saksi maupun pengawas kepada petugas KPPS.
Bahkan, menjadi 'makanan empuk' penyelenggara tingkat bawah tersebut, sehingga berdampak kepada proses pun terkendala.
Apa yang dialami petugas KPPS baik di lokasi pencoblosan hingga di luar Tempat Pemungutan Suara (TPS), terkesan sulit dicerna salah siapa. Kesannya, banyak pihak memiliki kepentingan.
Tidak ingin berlarut-larut, penulis mencoba mengajak semua pihak untuk mencerna berbagai masalah baik di TPS maupun di luar TPS yang dihadapi petugas KPPS.
Menurut pengakuan nara sumber, banyak hal layak diperdebatkan, tetapi ada juga masalah di luar nalar yang disebabkan oleh berbagai pihak.
Misalnya, kecilnya ukuran kolom nama calon legislatif (Caleg) dibanding alat coblos, berpeluang menimbulkan masalah.
Sebab, terkadang pemilih saat mencoblos tidak memperkirakan tepat pada nama, sehingga menyebabkan koyakan ke kolom lainnya. Dampaknya, saling tarik menarik perolehan suara didebatkan.
Terkadang, petugas KPPS sulit menentukan siapa saksi yang berhak berada dalam TPS. Faktornya, masih didapati adanya dua surat keputusan penempatan saksi yang dikeluarkan dari tingkat kabupaten maupun kecamatan.
Faktor kendala lain, akibat lamanya waktu pencoblosan, penghitungan, penulisan berita acara rekapitulasi perolehan suara Caleg, masih terdapat saksi ataupun pengawas meninggalkan lokasi karena kesibukan lainnya. Sehingga, kerja petugas KPPS terkendala.
Hal lainnya, usai mencoblos, pemilih terkadang salah memasukkan surat suara ke dalam kotak antara Caleg DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Rumitnya, saat perhitungan lembar perlembar surat suara, kembali didebatkan.
Petugas KPPS saat ingin memulai proses di TPS, tidak tertutup kemungkinan molor waktu akibat lambannya kehadiran saksi peserta Pemilu. Takut akan masalah, mau tidak mau, petugas menunggu, menelepon bahkan mencarinya.
Keterlambatan hadir saksi yang sempat izin keluar TPS, juga sering dihadapi ketika ingin melakukan penandatanganan berita acara berbagai formulir. Akhirnya, waktu pun molor. Itu, belum lagi cerita perdebatan hal lainnya.
Pengadaan berita acara yang harus ditandatangani hingga 20-an rangkap, merupakan faktor dominan lambannya waktu berjalan. Hal itu layak dijadikan perhatian semua pihak bagaimana cara menyederhanakannya.
Perlunya pemahaman porsi ketersediaan maupun peruntukan jumlah total surat suara dimasing-masing TPS, merupakan hal penting disosialisasikan, khususnya kepada saksi peserta Pemilu. Tujuannya, tidak timbul persepsi lain saat usai perhitungan perolehan suara.
Perlunya penegasan disertai aturan, bahwa tahapan di TPS harus sesuai jadwal, khususnya terhadap pemilih, saksi maupun pengawas jika datang terlambat dari waktu yang ditentukan.
Ketersediaan fasilitas berbeda yang diberikan peserta Pemilu kepada saksinya, ternyata memungkinkan timbul kendala.
Rasa iri sesama saksi, menyebabkan lemahnya kinerja saksi di TPS. Bahkan terkadang, ada oknum saksi yang hanya meminta berita acara, tanpa hadir sesuai jadwal.
Tidak sampai di sana, kendala lain yang dihadapi petugas KPPS juga berkaitan dengan nama pemilih yang tidak lengkap, khususnya bagi masyarakat bermarga.
Berangkat dari berbagai hal yang dialami petugas KPPS di TPS, perlu pencermatan, pemahaman kepemiluan, usia dan kesehatan petugas kepada semua pihak, baik mengenai tahapan hingga regulasi.
Tidak hanya masyarakat pemilih, hemat penulis, KPU dan Bawaslu bahkan partai politik, mencari solusi agar tidak timbul pada Pemilu tahun 2024. Tujuannya, untuk terus menekan tidak terjadinya peristiwa kelam itu.